Ekonomi Pascapandemi
Dalam beberapa tahun ke depan, berbagai sektor berbasis digital akan bermunculan, baik di sektor riil maupun keuangan. Sektor seperti e-health, e-education, dan sektor jasa berbasis digital akan berkembang pesat.
Resesi ekonomi global kali ini memang berbeda. Carmen Reinhart, sekarang Kepala Ekonom Bank Dunia, sudah sejak lama memperingatkan, krisis biasanya terjadi akibat para pelaku ekonomi terlalu percaya diri.
Keyakinan ”this time is different” menjadi penyebab utama perilaku sembrono yang membuat kredit mengalir kencang dan investor terlalu berani mengambil risiko. Akhirnya, terjadi penggelembungan harga aset investasi (asset bubble).
Baca juga: Pandemi dan Investasi Institusi
Pandemi Covid-19 tak diawali dengan gelembung sektor keuangan yang kemudian meletus dan merusak sektor riil. Sebaliknya, kemandekan sektor riil telah membuat sektor keuangan mengalami tekanan. Resesi yang bermula dari guncangan sisi pasokan (supply shock) ini telah menimbulkan tsunami persoalan di hampir semua lini.
Sektor rumah tangga, khususnya kelompok berpenghasilan rendah, serta dunia usaha, terutama mikro-kecil, menjadi kelompok pertama yang tersapu pandemi. Semakin lama pandemi Covid-19, semakin banyak sektor terkena dampak. Pandemi telah menimbulkan kemandekan menyeluruh mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang mampu menggerakkan perekonomian melalui stimulus fiskal.
Pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang mampu menggerakkan perekonomian melalui stimulus fiskal. Akibatnya, defisit anggaran membesar dan utang pemerintah meningkat drastis sejak pandemi. Semakin lama pandemi, semakin berat beban fiskal pemerintah.
Baca juga: Berbagi Beban
Hingga akhir 2020, hampir semua negara fokus pada penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan ekonomi. Paruh pertama 2021 ini, banyak negara masih akan fokus menangani serangan kedua virus korona. Namun, pada paruh kedua, sangat mungkin fokus akan beralih pada bagaimana membiayai defisit fiskal dan bagaimana menggerakkan investasi guna mendorong pemulihan ekonomi.
Membiayai defisit fiskal
Kasus Covid-19 pertama di Amerika Serikat ditemukan pada akhir Januari 2020 dan pemerintah segera membentuk White House Coronavirus Task Force. Pada Maret 2020, Kongres menyetujui paket stimulus senilai 2 triliun dollar AS melalui pengesahan The Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security (CARES) Act. Pada akhir Desember lalu, Kongres kembali menyetujui paket stimulus kedua sebesar 900 miliar dollar AS.
Apa yang dilakukan Pemerintah AS juga dilakukan banyak negara di dunia. Begitu juga Pemerintah Indonesia. Pada Maret 2020 dibentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 yang fokus menangani isu kesehatan. Sementara dalam rangka meningkatkan stimulus ekonomi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang salah satunya membatalkan batas defisit anggaran sebesar 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Pada 2020, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dialokasikan sebesar Rp 686,20 triliun dan defisit anggaran mencapai 6,3 persen. Pada 2021 ini, pemerintah telah mengalokasikan dana PEN sebesar Rp 356,5 triliun dan defisit anggaran 5,7 persen.
Baca juga: Beban APBN akibat Covid-19
Peningkatan beban anggaran akibat pandemi Covid-19 dialami banyak negara di dunia. Defisit fiskal AS akibat pandemi meningkat tiga kali lipat menjadi 3,1 triliun dollar AS pada akhir September 2020. Peningkatan beban fiskal juga mendorong naiknya rasio utang pemerintah terhadap PDB. Pada akhir 2020, utang pemerintah telah mencapai lebih dari 100 persen dari PDB atau terbesar sejak Perang Dunia II.
Pandemi telah membuat semua negara mengalami peningkatan utang.
Pengalaman AS dialami oleh hampir semua negara di dunia. Menurut catatan Institute of International Finance (IIF), terhitung sejak kuartal IV-2019 hingga kuartal III-2020, Kanada mengalami peningkatan utang sebesar 80 persen. Sementara Jepang mengalami peningkatan 55 persen dan AS 50 persen.
Pemerintah Indonesia menghadapi situasi serupa. Pandemi telah mendorong peningkatan jumlah utang pemerintah dari sebelumnya 30 persen dari PDB menjadi sekitar 40 persen.
Pandemi telah membuat semua negara mengalami peningkatan utang. Kelompok negara maju mengalami peningkatan utang rumah tangga sebesar 6 persen, sektor swasta nonkeuangan naik 11 persen, sementara utang pemerintah melonjak 21 persen. Rata-rata negara maju memiliki rasio utang sebesar 131 persen terhadap PDB.
Baca juga: Utang dan Pertumbuhan
Bandingkan dengan negara berkembang yang mengalami kenaikan utang rumah tangga sebesar 4 persen, sektor swasta 11 persen, dan pemerintah hanya naik 7 persen. Rata-rata utang pemerintah di negara berkembang sebesar 60 persen dari perekonomian mereka.
Negara maju, selain memiliki profil utang lebih tinggi daripada negara berkembang, peningkatannya juga lebih cepat. Dan lagi, di negara maju, pertumbuhan utang pemerintah jauh melebihi utang rumah tangga dan swasta daripada di negara berkembang.
Bagaimana membiayai stimulus ekonomi akibat pandemi? Negara maju sudah punya pengalaman bergulat dengan krisis keuangan global 2008. Sebagian besar negara maju membiayai krisis dengan cara mencetak uang. Di AS, bank sentral melakukan pembelian surat uang pemerintah dengan cara mencetak uang atau disebut quantitative easing.
Di negara maju, stimulus fiskal dengan cara mencetak uang (money-financed fiscal stimulus) lazim dilakukan. Di satu sisi, ada inovasi kebijakan moneter konvensional dan di sisi lain terjadi sinergi otoritas moneter dengan otoritas fiskal (pemerintah).
Baca juga: Akselerasi lewat Stimulus PEN 2021
The Fed tidak beruntung karena setelah fase quantitative easing, pada 2016 AS dipimpin presiden populis Donald Trump. Majalah The Economist (April 2019) menurunkan laporan utama berjudul ”Interference Day: Central Banks in the Age of Populism” yang mengulas bagaimana bank sentral mengalami tekanan sejak krisis global yang kemudian diperparah dengan munculnya pemimpin populis di banyak negara.
Menghadapi pandemi Covid-19, Bank Indonesia juga turut mendanai beban fiskal melalui pembelian surat berharga yang dikeluarkan Kementerian Keuangan di pasar perdana (burden sharing) sejak April 2020. Hingga akhir tahun, BI sudah melakukan pembelian surat berharga negara senilai Rp 473,42 triliun. Komitmen burden sharing ini masih akan berlanjut hingga 2023.
BI tak bisa mencetak uang seperti The Fed risiko inflasi cukup tinggi.
Berbagai inovasi bank sentral dalam menopang defisit fiskal serta mendorong kebangkitan investasi perlu terus dilakukan meskipun pilihan kebijakan di negara berkembang tak sebanyak di negara maju. BI tak bisa mencetak uang seperti The Fed karena risiko inflasi cukup tinggi.
Selain itu, bank sentral di negara berkembang selalu menghadapi trilema yang tak mungkin dikompromikan (impossible trinity), antara menjaga stabilitas nilai tukar, mempertahankan sistem devisa bebas, serta menjalankan kebijakan moneter yang independen. Perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada pembiayaan asing sehingga stabilitas nilai tukar tetap harus menjadi fokus penting otoritas moneter.
Baca juga: Mengurangi Ketergantungan pada Asing
Menghadapi kompleksitas persoalan ekonomi di tengah pandemi, BI juga dihantui rencana perubahan Undang-Undang Bank Indonesia yang akan mengganti UU Nomor 3 Tahun 2004. RUU yang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun ini tersebut berpotensi menghilangkan pasal independensi BI. Jika itu terjadi, daftar dilema BI akan makin panjang lagi.
Menggerakkan investasi
Bagaimana defisit fiskal harus dibiayai memang perlu dipikirkan. Namun, bagaimana menggerakkan investasi, urgensinya juga tinggi. Harus diakui, sulit sekali membuat kalkulasi kapan investasi bisa bergerak lagi. Jika pandemi belum usai, kegiatan ekonomi tak akan kembali.
Berbeda dengan krisis sebelumnya, kelompok masyarakat menengah-atas tak mengalami penurunan pendapatan. Namun, mereka tak berani melakukan konsumsi, khususnya di sektor jasa (leisure), akibat wabah korona. Kelas menengah yang menjadi motor penggerak sektor pariwisata mengalihkan ekses anggaran ke instrumen investasi atau tabungan di bank. Itulah mengapa di tengah pandemi, likuiditas perbankan justru meningkat.
Pada Agustus 2020, dana pihak ketiga di perbankan tumbuh 11,64 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan mengalami kenaikan dari Juli dengan pertumbuhan 8,53 persen. Sebaliknya, menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit hingga Agustus 2020 hanya tumbuh 1,04 persen.
Baca juga: Pertumbuhan Kredit Terperosok Semakin Dalam
Masih ditambah dengan berbagai program stimulus pemerintah, sektor perbankan dan pasar keuangan praktis tak mengalami persoalan likuiditas. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan masalah credit crunch atau likuiditas yang tak mengalir pada perekonomian. Kredit menggeliat jika kegiatan investasi mulai bergerak kembali. Namun, pandemi telah membuat berbagai sektor unggulan dalam ekonomi mengalami stagnasi.
Menghadapi pandemi ini, adopsi teknologi dan implementasi Industri 4.0 akan semakin intensif.
Bank Dunia dalam laporan semesteran Indonesia Economic Prospect edisi Desember 2020 memilah sektor yang akan bangkit cepat dan sektor yang masih akan stagnan. Sektor ekonomi yang membutuhkan kontak fisik secara intensif dan mengandalkan interaksi tatap muka dengan konsumen akan mengalami stagnasi panjang. Contohnya, sektor transportasi, perhotelan, pergudangan grosir dan eceran, konstruksi, dan manufaktur.
Sementara sektor yang tak memerlukan kontak fisik akan pulih lebih cepat, seperti sektor keuangan, pendidikan, komunikasi, dan telekomunikasi.
Baca juga: Memulihkan Sektor Pariwisata
Di masa depan, sektor berbasis teknologi akan mengalami kemajuan pesat. Sudah sejak krisis finansial global 2008 inovasi di bidang teknologi terakselerasi. Munculnya revolusi industri gelombang keempat telah mendorong disrupsi di hampir semua sektor ekonomi. Menghadapi pandemi ini, adopsi teknologi dan implementasi Industri 4.0 akan semakin intensif.
Jika kredit perbankan konvensional mengalami kemerosotan tajam akhir-akhir ini, penyaluran pinjaman teknologi finansial berbasis peer to peer (P2P) justru meningkat. Statistik OJK mencatat, hingga Oktober 2020, total penyaluran pinjaman P2P lending mencapai Rp 137,65 triliun atau naik 102 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski porsinya masih kecil, pertumbuhannya pesat. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) meyakini, peningkatan penyaluran pinjaman masih akan terus terjadi di 2021.
Menghadapi pandemi, banyak perusahaan rintisan (start up) berinovasi merambah lebih banyak sektor, selain inovasi dalam pembiayaannya. Itulah mengapa di saat sulit seperti ini beberapa perusahaan berbasis teknologi justru akan masuk bursa sehingga akan menambah kapasitas investasi mereka.
Beberapa yang sudah berencana melantai di bursa saham adalah Gojek dengan perkiraan nilai sebesar 10 miliar dollar AS, disusul Tokopedia (7,6 miliar dollar AS), Traveloka (3 miliar dollar AS), Ovo (2,9 miliar dollar AS), serta Halodoc dan Tiket.com masing-masing 1 miliar dollar AS. Mereka akan menjadi penggerak investasi yang mendorong pemulihan ekonomi.
Baca juga: Tokopedia dan Gojek Dipastikan Merger
Tentu saja skala industrinya tak akan menggantikan sektor besar, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan turisme, yang masih mengalami stagnasi. Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dalam banyak hal. Karena itu, melakukan pemetaan sektor unggulan pascapandemi menjadi salah satu kunci pemulihan ekonomi.
Dalam beberapa tahun ke depan, berbagai sektor berbasis digital akan bermunculan, baik di sektor riil maupun keuangan. Sektor seperti e-health, e-education, dan sektor jasa lain berbasis digital akan berkembang pesat.
Sementara berbagai start up di bidang teknologi finansial akan terus bermunculan. Untuk itu, diperlukan peta jalan transformasi ekonomi menyeluruh. Diskusi RUU BI ataupun omnibus law sektor keuangan perlu ditempatkan dalam konteks menyiapkan transformasi ekonomi berbasis digital di masa depan.
A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya; Pendiri Indonesia Fintech Society.