Keluar dari Stimulus Ekonomi
Pemerintah dan BI perlu mengomunikasikan ”exit strategy” dengan baik sehingga dunia usaha, pasar keuangan, dan masyarakat dapat mempersiapkan diri agar kepanikan bisa dicegah.
Ini mungkin sebuah risalah yang kikuk. Ia terlalu pagi untuk dibahas saat ini, tetapi akan terlambat apabila kita tak mempersiapkannya sekarang.
Yang saya percakapkan di sini adalah strategi keluar (exit strategy) dari stimulus yang telah digelontorkan selama ini apabila saatnya tiba nanti. Kita tahu krisis ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19 memaksa pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia menggelontorkan kebijakan stimulus. Lakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa dan perekonomian! Barangkali itulah tema kebijakan ekonomi di dunia saat ini.
Di Indonesia, lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), defisit anggaran dinaikkan sampai 6 persen pada 2020, Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga dan giro wajib minimum (GWM), berbagi beban (burden sharing) antara pemerintah dan BI, Otoritas Jasa Keuangan merelaksasi kredit. Di AS, Singapura, dan Australia, defisit anggaran bahkan dinaikkan sampai 10 persen atau lebih. Di beberapa negara, fokus diberikan pada kesehatan, perlindungan sosial, dan bantuan bagi UMKM.
Kapan harus berakhir?
Stimulus amat penting. Namun, ia tak bisa selamanya. Saya teringat ucapan mantan Menteri Keuangan AS yang juga guru besar di Harvard Kennedy School, Larry Sumers: kebijakan stimulus, khususnya fiskal, memiliki karakteristik triple T (timely, temporary, and targeted). Karena itu, semua kebijakan stimulus ini ada kerangka waktunya. Yang jadi isu, kapan ia harus berakhir? Bagaimana strateginya agar ia tak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian?
Stimulus amat penting. Namun, ia tak bisa selamanya.
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah hanya mungkin mengurangi stimulus fiskal jika konsumsi masyarakat dan investasi swasta mulai pulih. Sayangnya, seperti saya tulis di harian ini (16/12/2020), saya tak yakin konsumsi dan investasi swasta sudah sepenuhnya pulih pada 2021. Alasannya: selama pandemi belum teratasi, konsumsi kelas menengah atas—yang merupakan bagian terbesar dari konsumsi rumah tangga—belum akan kembali.
Baca Juga: Tahun 2021: Antara Pandemi dan Pemulihan Ekonomi
Keranjang konsumsi mereka didominasi belanja hiburan, perjalanan, dan barang tahan lama, seperti mobil atau rumah. Kita tahu pembelian barang tahan lama bersifat siklus. Tak mungkin orang membeli mobil atau rumah setiap bulan. Adapun aktivitas hiburan dan perjalanan praktis terhenti atau terganggu akibat pandemi.
Dari sisi investasi, terbatasnya mobilitas akibat pandemi membuat terbatasnya skala ekonomi. Selama ekonomi tak bisa beroperasi penuh, investasi swasta tak akan meningkat tajam. Memang ada harapan dari ekspor karena perbaikan harga batubara dan kelapa sawit. Namun, itu pun agak terbatas. Dalam situasi seperti ini, peran anggaran pemerintah tetap menjadi andalan.
Jika masalah kesehatan bisa diatasi, memang ada harapan stimulus fiskal bisa dikurangi di 2022. Persoalannya, ini tak bisa dilakukan secara drastis. Kita tahu, mulai pertengahan tahun ini, pemerintah sudah harus duduk bersama dengan DPR untuk membahas RAPBN 2022. Dan kita tahu, UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan defisit APBN harus kembali berada di bawah 3 persen pada 2023.
Proyeksi pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2021 menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan akan berada pada kisaran 8,4-9,1 persen terhadap PDB tahun 2023. Di satu sisi, rasio utang terhadap PDB akan berkisar 36,5-37,4 persen. Implikasinya beban bunga utang akan naik.
Di sisi lain, ada anggaran wajib (mandatory spending) yang harus dilakukan pemerintah, seperti dana pendidikan (20 persen) dari total belanja dan dana transfer ke daerah (sekitar 30 persen dari total belanja). Implikasinya: ruang untuk belanja yang bisa dipotong amat terbatas.
Jika penerimaan pajak belum dapat dinaikkan pada 2023, agar defisit anggaran berada di bawah 3 persen, pemerintah harus memotong berbagai belanja, termasuk belanja produktif dan bansos. Jika ini dilakukan secara drastis, akan terjadi kontraksi ekonomi. Jika swasta belum pulih dan kebijakan pemerintah justru pro-cyclical (mengikuti siklus ekonomi), pemulihan ekonomi akan berjalan lambat. Akibatnya: rasio utang terhadap PDB akan meningkat karena pertumbuhan PDB-nya lemah.
Baca Juga: Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi
Chan-Lau dan Zhao (2020) dalam risalahnya di IMF Working Paper menunjukkan bahwa pasar keuangan justru akan bereaksi negatif jika pemerintah menarik stimulusnya terlalu cepat, yaitu ketika jumlah kasus harian Covid-19 masih tinggi. Bahkan, walau pandemi sudah bisa diatasi, perlu diantisipasi dampak trauma yang mungkin membuat proses pemulihan agak lambat. Selain itu, jika stimulus ditarik terlalu awal, akan ada dampak negatif terhadap kelas menengah bawah dan UMKM. Analoginya: jangan menarik stimulus ketika perekonomian belum keluar dari hutan (out of the woods).
Saya menyarankan agar pemerintah merancang kebijakan fiskalnya dengan melihat perkembangan situasi atau data dependence.
Saya menyarankan agar pemerintah merancang kebijakan fiskalnya dengan melihat perkembangan situasi atau data dependence. Penurunan defisit anggaran dilakukan sesuai kondisi ekonomi. Dalam kondisi ini, upaya untuk perbaikan penerimaan pajak dengan melakukan reformasi dalam hal administrasi perpajakan menjadi penting. Saya sedikit melihat peluang kenaikan penerimaan pajak di 2021 akibat kenaikan harga batubara dan kelapa sawit.
Selain itu, perbaikan kualitas belanja ke sektor produktif menjadi amat penting. Penting sekali buat pemerintah menentukan prioritas yang tajam.
Buat saya, fokus alokasi anggaran harus lebih berpihak pada pemerataan, misalnya dengan memberikan prioritas pada infrastruktur dan literasi digital untuk mengatasi ketimpangan digital; investasi dalam pendidikan dan vokasi untuk meningkatkan keterampilan dan melatih ulang keterampilan; akses kesehatan, terutama yang berkaitan dengan vaksin Covid-19; serta perbaikan sistem perlindungan sosial.
Kedua, peraih Nobel ekonomi Milton Friedman pernah menulis: inflation is caused by too much money chasing after too few goods (inflasi disebabkan oleh lebih banyak uang daripada barang). Lalu, mengapa pembiayaan defisit anggaran melalui burden sharing oleh BI, yang akan meningkatkan uang beredar, tak menimbulkan inflasi? Argumen Friedman benar dalam asumsi ekonomi tak dalam resesi dan orang membelanjakan uangnya.
Mantan Deputi Gubernur Bank Sentral Australia Stephen Grenville mengingatkan saya: saat ini, orang justru menyimpan uang di bank. Begini mudahnya: pembelian SUN oleh BI memang akan meningkatkan uang primer (base money). Uangnya kemudian digunakan pemerintah untuk program PEN dan sebagainya. Ini akan meningkatkan uang beredar dan mendorong perekonomian. Namun, jangan lupa, ada bagian yang tak dibelanjakan. Bagian yang tak dibelanjakan ini disimpan di bank. Karena situasi ekonomi masih lemah, kebutuhan orang, termasuk perusahaan, terbatas. Akibatnya, uang ini tidak digunakan dan malah ditabung.
Karena itu, dana pihak ketiga justru meningkat sehingga surplus kas yang dihasilkan akibat defisit anggaran kembali ke sektor perbankan dalam bentuk deposit. Dalam kondisi ini, pembiayaan sebagian defisit anggaran oleh BI tak menimbulkan inflasi.
Data menunjukkan pertumbuhan uang primer (base money atau M0) justru negatif sejak minggu keempat Mei 2020 akibat tagihan bersih pemerintah yang negatif. Penyebabnya: sampai dengan Juni 2020, pemerintah belum banyak membelanjakan uangnya. Tagihan bersih kepada pemerintah mulai kembali positif ketika pemerintah mulai membelanjakan uangnya pada awal Juli 2020, tetapi sampai minggu kedua Desember 2020, pertumbuhan M0 masih negatif.
Dari sisi ini, memang kita tak perlu mengkhawatirkan inflasi.
Normalisasi kebijakan moneter
Dari sisi ini, memang kita tak perlu mengkhawatirkan inflasi. Namun, ketika permintaan mulai pulih, BI juga harus mempersiapkan exit strategy-nya. Inflasi akan muncul dalam beberapa tahun lagi apabila tak hati-hati. Burden sharing BI merupakan langkah yang tepat apabila dilakukan dalam kerangka waktu yang pasti dan terbatas.
Selain itu, ketika sebagian besar negara melakukan ”cetak uang”, kebijakan ini akan bisa diterima pasar keuangan. Namun, situasi akan berbeda saat ekonomi mulai pulih. BI satu saat harus melakukan konsolidasi neracanya. Implikasinya, normalisasi dengan cara pengetatan moneter akan terjadi. Apabila ini terjadi bersamaan dengan penurunan defisit anggaran, ekonomi akan terpukul justru pada saat ia mulai pulih.
Kita juga tahu, pada saat defisit anggaran meningkat, BI dan perbankan membeli obligasi pemerintah. Pada saat normalisasi dilakukan, BI dan perbankan harus melakukan pembalikan atau unwind strategy yang ada. Saat ini, memang tidak terjadi crowding out karena likuiditas yang berlimpah. Rasio pinjaman terhadap deposit malah turun karena lemahnya permintaan kredit. Namun, saat pembalikan terjadi, dan ekspansi kredit mulai dilakukan, risiko likuiditas ketat mungkin akan terjadi.
Baca Juga: Dana Berlimpah, Lambat Tumpah
Ketiga, kita juga perlu mengantisipasi exit strategy yang dilakukan negara lain, terutama AS. Selama negara-negara lain masih melakukan quantitative easing (QE), arus modal masih akan mengalir ke Indonesia dan nilai tukar terjaga. Namun, satu hari AS juga harus mengakhiri QE-nya. Mungkin dalam tiga tahun. Di sini, kita berkejaran dengan waktu. Pemerintah harus mampu mengatasi pandemi ini sebelum sebagian besar negara lain pulih dan melakukan normalisasi kebijakannya. Apabila kita terlambat, ruang kebijakan pemerintah dan BI akan sangat terbatas.
Tengok pengalaman ketika The Fed memutuskan mengakhiri QE tahun 2013 dengan cara mengurangi pembelian obligasi pemerintah dan aset keuangan. Akibatnya, terjadilah kepanikan yang dikenal dengan taper tantrum, di mana arus modal kembali mengalir ke AS. Emerging economies (EM), termasuk Indonesia, India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil, terkena dampaknya.
Indonesia dan India berhasil mengatasi situasi ini dengan relatif baik dengan kombinasi expenditure reducing policy (menurunkan defisit anggaran melalui pengurangan subsidi BBM dan menaikkan tingkat bunga untuk menurunkan investasi) serta melakukan expenditure switching policy dengan membiarkan nilai tukar mengikuti pasar. Hal sama juga dilakukan Indonesia pada 2018 ketika The Fed mulai menaikkan tingkat suku bunga.
Baca Juga: Resesi dan Pembalikan Ekonomi
Tiga tahun dari sekarang mungkin kita harus mengantisipasi keluarnya arus modal—terutama dari pasar obligasi—dan tekanan nilai tukar apabila The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Sayangnya, saya tak melihat resep lama 2013 dan 2018 akan cocok. Alasannya: kita butuh ekspansi fiskal dan moneter ketika ekonomi baru mulai pulih dan bukan stabilisasi. Ironisnya, tanpa pasar keuangan, khususnya nilai tukar, akan terpukul.
Keempat, komunikasi. Exit strategy ini harus dikomunikasikan dengan baik oleh pemerintah, BI, dan OJK. Pengalaman dengan taper tantrum mengingatkan betapa penting komunikasi. Saya ingat, pada pertemuan terbatas soal early warning (peringatan dini) di IMF dan G-20, saya bersama Raghuram Rajan—Gubernur Bank Sentral India saat itu—diminta menyampaikan pengalaman dan pandangan kami soal taper tantrum dan dampaknya untuk EM. Salah satu hal yang disampaikan adalah pentingnya kejelasan dan bagaimana The Fed mengomunikasikan rencana normalisasinya sehingga EM bisa mengantisipasinya.
Dalam skala nasional, pemerintah dan BI perlu mengomunikasikan ini dengan baik sehingga dunia usaha, pasar keuangan, dan masyarakat dapat mempersiapkan diri agar kepanikan bisa dicegah. Tulisan ini mungkin terlalu cepat. Namun, kita memang harus bersiap dari sekarang. Itu sebabnya tulisan ini seperti sebuah risalah yang kikuk. Ia muncul terlalu cepat, pada saat hampir terlambat. Saya jadi teringat, penulis Austria, Frans Werfel, pernah menulis, ”Between too early and too late, there is never more than a moment”.
Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.