Sejauh ini, dari dalam ataupun luar negeri, kita belum mendengar ada kluster angkutan umum sebagaimana ada kluster perkantoran, kluster panti jompo, ataupun kluster keluarga. Syukurlah. Namun, waspada itu perlu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Petunjuk pelaksanaan dari Menteri Perhubungan terkait bertransportasi dalam era pandemi Covid-19 telah memantik diskusi di masyarakat.
Sudah tepatkah jika Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 2021 memberikan lampu hijau atas keterisian tempat duduk maksimal 100 persen di angkutan udara?
Tentu kita paham dengan keberadaan high efficiency particulate air (HEPA) filter sebagai salah satu wujud kecanggihan angkutan udara dibandingkan dengan moda transportasi lain. Penyaring udara itu diyakini dapat meminimalkan penyebaran virus SARS-CoV-2.
Namun, HEPA filter hanya dikenal pada angkutan udara. Pada angkutan kereta dan angkutan bus, misalnya, penyaring seperti HEPA tidak dikenal. Sudah begitu, seiring dengan transformasi perkeretaapian, semua kereta penumpang, termasuk KA ekonomi, kini dilengkapi dengan penyejuk ruangan. Sebagian besar bus kelas ekonomi juga dilengkapi penjeyuk ruangan sehingga sirkulasi udaranya kurang optimal.
Selain tidak semua moda transportasi dilengkapi HEPA, regulasinya juga tidak seragam. Sebelum menggantungkan kesehatan diri pada HEPA, ”penyaring” sesungguhnya dari angkutan udara adalah kewajiban memperlihatkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR atau nonreaktif tes cepat antigen.
Sementara faktanya, penumpang bus, misalnya, tidak harus memperlihatkan surat keterangan negatif Covid-19 sebelum naik bus AKAP. Kalaupun ada tes acak di terminal, misalnya, sesuai dengan SE Menhub Nomor 1 Tahun 2021, sesering dan seefektif apa tes itu dilakukan?
Apalagi tidak semua penumpang bus naik di terminal. Dapat saja mereka naik di pul atau bahkan di pinggir jalan tol.
Daripada melakukan pengawasan yang bahkan terkadang kurang awas, kiranya lebih baik jika diterapkan pembatasan keterisian penumpang sehingga tercipta jarak cukup antarpenumpang untuk menekan penyebaran Covid-19. Bukankah selama 10,5 bulan ini kita diajarkan jaga jarak?
Lebih baik jika diterapkan pembatasan keterisian penumpang sehingga tercipta jarak cukup antarpenumpang untuk menekan penyebaran Covid-19.
Tentu idealnya ada subsidi dari pemerintah untuk menutup biaya operasional jika tingkat keterisian angkutan di bawah nilai impasnya. Subsidi itu idealnya pula diberikan kepada operator swasta, tak hanya operator transportasi BUMN.
Tanpa subsidi, operator angkutan umum boleh jadi mencari celah untuk mengangkut sebanyak mungkin penumpang agar tidak rugi. Target untuk jaga jarak antarpenumpang menjadi sulit tercapai.
Di sisi lain, tanpa subsidi, jangan sampai operator yang tidak ”kreatif” mengakali regulasi jaga jarak justru menekan kerugian dengan menekan biaya perawatan. Hal ini merusak kualitas armada operator itu dalam jangka panjang dan akhirnya membahayakan keselamatan penumpang.
Sejauh ini, dari dalam ataupun luar negeri, kita belum mendengar ada kluster angkutan umum sebagaimana kita dengar ada kluster perkantoran, kluster panti jompo, ataupun kluster keluarga. Syukurlah. Namun, waspada itu perlu.