Efektivitas Vaksin dan Integritas Ilmiah
Selain soal efektivitas atau kemanjuran suatu vaksin, pemerintah perlu menginformasikan secara terbuka dan bertanggung jawaban tahapan dan prosedur pembuatan vaksin, manfaat, serta efek sampingnya kepada masayarakat.
If we abandon scientific principles, then we can’t deal with the real problems we face. (Arnold Relman, Professor of Medicine at Harvard University)
Akhir-akhir ini, pro dan kontra terkait vaksin Covid-19 mengemuka di masyarakat. Silang pendapat perihalnya pun ramai. Bahkan, ada perseorangan atau kelompok orang yang secara tegas menolak divaksinasi.
Penyebabnya, antara lain, kekurangtahuan sebagian masyarakat perihal vaksin dan vaksinasi, termasuk soal kemanjurannya serta kurangnya informasi yang pas terkait vaksin dan vaksinasi ini. Silang pendapat kian ruwet ketika pendapat miring soal vaksin itu berasal dari tokoh publik, dan itu beredar luas di medsos.
Karena proses penemuan vaksin hingga penggunaannya (vaksinasi) adalah prosedur ilmiah, kesimpangsiuran pendapat ini harus diluruskan oleh penjelasan dan klarifikasi ilmiah dari pihak yang kompeten dan tepat. Penjelasan soal prosedur pembuatan vaksin dan kemanjurannya, misalnya, harus disampaikan secara jelas, jujur, dan terbuka karena itu menyangkut integritas ilmiah.
Dalam persoalan vaksin ini, kita tak boleh tunduk pada pendapat umum, tokoh publik, atau siapa pun yang tak memiliki otoritas ilmiah mengenainya.
Dalam persoalan vaksin ini, kita tak boleh tunduk pada pendapat umum, tokoh publik, atau siapa pun yang tak memiliki otoritas ilmiah mengenainya. Norma, kaidah, bukti, dan integritas ilmiah harus menjadi pijakan utama dalam mengambil keputusan perihal vaksin ini.
Dalam konteks proses penemuan vaksin sebagai penelitian ilmiah, kredibilitas penelitian, dan karenanya kredibilitas data yang melaluinya dikumpulkan dan dianalisis, bermakna kemampuan penelitian atau data untuk meyakinkan orang, khususnya kalangan ilmuwan sebidang, bahwa simpulan atau klaim ilmiah yang ditarik dari analisis data itu adalah kokoh.
Baca juga: Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Tentu saja itu dimungkinkan kalau kaidah dan prosedur penelitian dijalankan secara padu dan utuh. Inilah yang dikenal sebagai integritas ilmiah (scientific integrity). Cara peneliti melakoni penelitian seperti itu disebut integritas ilmuwan.
Terkait integritas ilmiah itu, saya teringat skandal Lancet- gate yang melibatkan salah seorang ilmuwan kedokteran yang amat disegani dari Harvard Medical School. The Lancet, salah satu jurnal ilmiah kedokteran bergengsi di dunia mengaku kecolongan atas sebuah artikel yang mereka publikasikan pada 22 Mei 2020.
Artikel itu menyimpulkan bahwa penggunaan hidroksiklorokuin untuk Covid-19 berisiko signifikan menyebabkan kematian pada penderita.
Tak pelak lagi, hasil penelitian itu mengundang reaksi dari berbagai kalangan ilmuwan kesehatan, termasuk WHO. Ratusan ilmuwan menyurati The Lancet dan ketua tim peneliti, Mandeep Rajinder Mehra. Mereka mempertanyakan validitas pangkalan data dan ketepatan metode analisis yang digunakan peneliti. Akhirnya, setelah 15 hari dipublikasikan, The Lancet mencabut artikel itu. Alasan utama: data kurang kredibel. Integritas ilmiahnya rapuh.
Prosedur penemuan vaksin
Secara umum, proses penemuan atau pengembangan vaksin melalui tiga tahap pengujian. Setelah vaksin diuji coba pada hewan untuk mengetahui apakah vaksin aman dan membangkitkan respons imunitas, selanjutnya vaksin itu diuji coba pada sekelompok kecil (kurang dari 100 orang) subyek manusia atau relawan (tahap 1).
Baca juga: Epidemiolog: Indonesia Perlu Evaluasi Cakupan Vaksin
Kembali, uji ini masih menilai keamanan dan kemampuan vaksin menghasilkan respons imunitas pada manusia. Kalau hasilnya terbukti aman dan membangkitkan respons imunitas, pengujian dilanjutkan pada tahap kedua (tahap 2) pada subyek manusia yang lebih luas yang lebih mewakili populasi manusia, antara lain, berdasarkan umur dan jenis kelamin. Jumlah subyek pada fase ini ratusan orang (100-300 orang). Sekali lagi, tujuannya adalah menguji kemampuan vaksin untuk merangsang respons imunitas.
Tahap pertama dan kedua, masing-masing berlangsung sekitar tiga bulan. Tahap selanjutnya (tahap 3) adalah pengujian efektivitas vaksin. Ini butuh waktu jauh lebih lama daripada dua tahap sebelumnya minimal enam bulan). Subyeknya pun jauh lebih banyak, 2.500-10.000 orang, untuk mewakili populasi manusia, tepatnya populasi manusia calon penerima vaksin itu, dengan baik.
Efektivitas vaksin dapat diuji melalui dua cara.
Efektivitas vaksin dapat diuji melalui dua cara. Yang pertama melalui uji klinis (clinical trial), yaitu pengujian yang dilakukan pada kondisi yang dianggap ideal. Dalam epidemiologi, kondisi ini disebut terkendali secara sempurna. Untuk pengujian inilah digunakan terma kemanjuran vaksin (vaccine efficacy).
Cara kedua, melalui uji komunitas, yaitu menguji coba vaksin pada kelompok masyarakat yang luas dan lebih banyak jumlahnya. Pada kondisi ini, proses infeksi Covid-19 terjadi secara alamiah di masyarakat. Inilah yang dikenal sebagai community trial, yaitu uji coba pada kondisi riil pada masyarakat. Untuk pengujian inilah digunakan terma efektivitas vaksin (vaccine effectiveness).
Baca juga: Vaksin Bukan Akhir Melawan Pandemi Covid-19
Terkait kemanjuran dan efektivitas sebagai ukuran dampak kesehatan masyarakat, menurut Principle of Epidemiology in Public Health Practice yang diterbitkan Center for Disease Control AS, ada dua ukuran dampak kesehatan masyarakat yang lazim digunakan: (1) proporsi yang bisa diatribusikan (attributable proportion) dan (2) kemanjuran atau efektivitas (efficacy and effectiveness).
Kemanjuran atau efektivitas vaksin, misalnya, dimaknai sebagai pengurangan secara proporsional kasus/kejadian penyakit pada kelompok orang yang divaksinasi. Karena itu, kalau disebut kemanjuran atau efektivitas vaksin 65,3 persen, misalnya vaksin untuk Covid-19, itu mengindikasikan pengurangan 65,3 persen kasus/kejadian Covid-19 pada kelompok orang yang divaksinasi.
Kalau kita sudah memperoleh ukuran efektivitas (EV), kita juga bisa mengukur rasio risikonya (risk ratio/RR) dengan rumus 1/EV. Dengan menggunakan rumus ini, kita memperoleh RR 34,7 persen (0,347). Karena RR lebih kecil dari 1,0, itu mengindikasikan penurunan risiko terkena Covid-19 karena vaksinasi. Itu bermakna bahwa vaksinasi memiliki efek pelindungan (protective effect) bagi Covid-19. Rasio risiko 34,7 persen mengindikasikan kemungkinan orang yang divaksinasi untuk menderita Covid-19 adalah 34,7 persen.
Baca juga: Efikasi Vaksin 65,5 Persen, Butuh Cakupan Minimal 80 Persen
Berdasarkan penilaian dari aspek efektivitas (65,3 persen) dan rasio risiko (34,7 persen), vaksin ini dinilai memadai untuk digunakan sebagai upaya pencegahan Covid-19.
Ukuran efektivitas vaksin ini sudah cukup jauh di atas ambang batas (threshold) yang ditetapkan WHO (50,0 persen) untuk efektivitas atau kemanjuran suatu vaksin. Hal-hal yang penting dilakukan, kemudian, adalah menginformasikan kepada masyarakat secara terbuka, jujur, dan bertanggung jawab tahapan dan prosedur pembuatan vaksin, kemanfaatannya, serta efek sampingnya.
Selain itu, kemungkinan perbedaan efektivitas vaksin pada tingkat uji coba dengan implementasinya kepada masyarakat akibat persoalan teknis (misalnya, transportasi dan penyimpanan) harus dipertimbangkan atau diberitahukan kepada masyarakat. Semuanya itu bermuara pada integritas ilmiah, tanggung jawab sosial ilmuwan (peneliti), dan efektivitas riil vaksin.
Albiner Siagian, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Pengajar Epidemiologi Terapan dan Epidemiologi Gizi.