Berkaca ke Amerika
Kita perlu berdoa agar partai-partai politik kita segera mencampakkan aneka kepicikannya serta membenahi demokratisasi internal dan prinsip-politik idealnya agar bangsa kita dijauhkan dari pejabat publik berakhlak buruk.
Percobaan pemberontakan yang ditonton langsung bagai mimpi oleh masyarakat dunia, 6 Januari 2021, di Gedung Capitol AS telah dirujuk sebagai akibat ”kegagalan keamanan yang masif” (a massive security failure).
Chris Cuomo, seorang penampil utama CNN berkomentar, ”This country could not be in a more dire situation (Negeri ini sudah tiba pada situasi tergenting).” Wartawan kawakan AS, Dan Rather, menyebutnya ”suatu ancaman nyata terhadap demokrasi kita”. Dan Liz Cheney, tokoh unggulan ketiga Partai Republik pada Senat AS, menandaskan bahwa ”belum pernah ada pengkhianatan sebesar ini oleh seorang presiden Amerika Serikat terhadap kedudukan dan sumpahnya pada Konstitusi”.
AS pasti bukanlah suatu negeri tanpa seikat cacat, dosa, dan kekurangan besar. Toh sulit untuk tidak turut bersedih menyaksikan bagaimana keagungan dan rangkaian jasa serta teladan panjang historisnya diinjak-injak dan hendak dicampakkan begitu saja oleh sebagian rakyatnya sendiri dengan kebodohan puncak dan kehampaan rasa syukur.
Baca juga: Joe Biden dan Kembalinya Demokrasi
Apakah yang membuat sepuluh ribuan perusuh, umumnya supremasi kulit putih, bisa begitu mudah menyerbu masuk ke Gedung Capitol dengan segenap teriakan ancaman, kebuasan, perusakan, dan penistaan atas simbol-simbol agung bangsa dan Konstitusi Amerika—negara terkuat sekaligus demokrasi tertua dan terbesar di dunia?
Mungkinkah itu sekadar akibat kelalaian atau komplisitas sejumlah anggota polisi, veteran militer, lembaga-lembaga tinggi penegakan hukum dan keamanan di AS, bahkan beberapa anggota Kongres sendiri?
Ataukah semua ini harus ditimpakan terutama pada ulah Donald J Trump yang sejak dari masa kampanye pemilihan presiden AS pada 1915 dan di sepanjang empat tahun pemerintahannya tiada henti mencekoki rakyat dan ranah politik Amerika dengan tak terhitung laku buruk, kebohongan, retorika kebencian, dan, paling berbahaya, tuduhan yang sama sekali tak berdasar akan kecurangan masif dalam pemilu AS lalu?
Pada tayangan khusus Al Jazeera (8/1/2021), ”The Take: The Ignored Warnings of the U.S. Capitol Insurrection” ditampilkan suara presiden terpilih AS, Joe Biden, ”Pemandangan chaos di Capitol tidaklah menggambarkan Amerika sejati, tidak mewakili siapa kita. Yang kita saksikan adalah segelintir ekstremis pemuja hukum rimba.”
Di situ, Andrew Perry, Senior Fellow dari Brookings Institution menukas, ”Kita sudah menempuh jalan ini cukup lama .... Memang inilah diri kita atau bagian dari diri kita.” Jawaban Perry diperkuat oleh antropolog Steven Gardner bahwa ribuan perusuh itu berasal dari kalangan luas yang telah dijejali retorika kekerasan dan retorika konspirasi oleh Trump dan media sayap kanan. ”Kita punya presiden yang menjangkau dan memikat pelbagai faksi yang meromantisasikan kekerasan dan memandang diri mereka sebagai berhimpun di dalam aksi revolusioner, dalam suatu perang saudara yang baru ...”
Baca juga: Tantangan Biden Menata Amerika dan Dunia
Akan tetapi, jawaban lebih tajam diberikan oleh Glenn Carle, mantan pejabat CIA, ”Selama lebih dari 25 tahun, FBI dan CIA setiap tahun telah memberikan penilaian bahwa bahaya utama terhadap segenap institusi dan warga negara Amerika adalah ’kalangan milisia dan organisasi-organisasi sayap kanan’ [dalam negeri]. Tetapi, setiap kali itu dinyatakan, para pemimpin Partai Republik melarangnya, dan memaksakan bahwa hanya ada teroris Islam... yang merupakan ancaman utama.”
Dan Carle menegaskan, ”Jika kalian menolak realitas dan mendukung perilaku mereka, inilah yang kalian dapatkan.” Dia sudah memperkirakan ini akan terjadi. ”Kata-kata berdampak” —kata-kata hasut dan laku khianat bersambung. ”Ini sudah terjadi di Amerika sebelumnya pada 1861, kala bangsa kita terbelah dua dan kita saling bantai selama empat tahun penuh. Kita belum sampai titik itu. Namun, sedari awal sudah sangat jelas dari gejala Trump bahwa dia menumbuhkan penolakan populis atas akal budi.”
Fareed Zakaria (GPS, 10/1) di CNN mengutarakan, ”Kita telah mengalami ancaman-ancaman tergawat atas republik [kita] sepanjang 150 tahun dan itu belum selesai. Bagi mereka yang tak percaya bahwa Donald Trump adalah ancaman atas demokrasi Amerika, minggu ini akhirnya membuktikannya.”
Juga dikatakannya bahwa setelah pemilihan presiden 2020, sebagian besar pimpinan Partai Republik tetap diam kala Trump menyebarkan aneka teori konspirasi dan kebohongan yang menjadi kanker. Dan penolakan enam senator beserta 139 anggota Dewan Perwakilan AS pada acara pengesahan bobot elektoral pilpres 2020 yang bebas beberapa jam setelah percobaan pemberontakan itu, “”etiap bagiannya adalah sekhianat penodaan atas Capitol.”
Dalam acara GPS itu, juga tampil Anne Applebaum, sejarawan pemenang Pulitzer Prize, yang menyatakan Partai Republik sudah terbagi dua. Satu masih berkepentingan dengan politik sebagai kegiatan mulia ”untuk menyelesaikan persoalan.”
Baca juga: Era Joe Biden dan Indonesia
Satunya lagi telah ”bersepakat dengan iblis dan memutuskan bahwa politik adalah kerja berbohong dan menciptakan realitas alihan yang dibutuhkan kalangan-kalangan pemilih tertentu, khususnya yang mudah dibohongi...dan para politisi [mereka] tak lagi tertarik pada politik [dalam arti luhur].... [Mereka] tertarik semata untuk berkuasa dan mengejar tujuan-tujuan anti demokrasi.”
Sepakat dengan Zakaria, dia menegaskan bahwa demokrasi membutuhkan ”tak hanya rangkaian pemilihan umum, juga tak hanya lembaga-lembaga, melainkan juga norma-norma dan moralitas. Ia memerlukan aneka macam ketentuan, juga realitas berbasis fakta yang bisa dirundingkan. Tanpa itu kita mustahil berdemokrasi.” Thomas L Pangle benar kala dia menulis bahwa demokrasi memerlukan upaya peluhuran terus-menerus.
Dengan penguasaan tiga lembaga kenegaraan oleh Partai Demokrat—kepresidenan, Senat, dan DPR— Zakaria menambahkan bahwa kaum Republikan ”akan merasa bahwa dunia mereka sedang berlalu”. Dia mempertanyakan kemungkinan ”politik keputusasaan kultural”. Ini dijawab Ezra Klein, penulis buku Why We Are Polarized: ”Yang ada bukan hanya bahaya. Itu hampir pasti sehingga kita perlu mengamati momen ini sebagai paling berbahaya di depan kita.”
Kegetiran yang dirasakan oleh kaum Republikan sudah disuarakan lantang oleh Peter Brimelow dalam bukunya yang lumayan mengguncang, Alien Nation (1995), lebih seperempat abad lampau, bertepatan dengan garis waktu yang ditarik oleh Carle untuk merujuk pada mulainya ancaman aneka milisia dan organisasi sayap kanan di AS. Brimelow mungkin adalah pengecam terdepan dari kebijakan imigrasi AS.
Berikut adalah runtun kegetirannya. ”Betulkah bijak membuka pintu imigrasi bagi kalangan yang merasa begitu sulit dan menyakitkan untuk berasimilasi ke dalam mayoritas bangsa Amerika?”
”Perdebatan tentang imigrasi di AS selama ini merupakan jalan satu arah. Kritik terhadap imigrasi, dan berita-berita pendukungnya, cenderung tak lolos publikasi.” ”Amerika Serikat sedang berada di tengah-tengah epidemik kejahatan yang serius. Toh hampir tak ada orang Amerika yang menyadari bahwa orang asing mengisi seperempat dari penjara-penjara federal—hampir tiga kali lipat dari proporsi penduduknya.”
Baca juga: Dunia Menyambut Era Baru Amerika
”Bangsa Amerika selamanya memiliki inti etnik. Dan inti itu adalah penduduk kulit putih.”
Sudah pasti inilah pendahulu dari retorika kebencian Trump dan penanda utama dari ideologi supremasi kulit putih.
Kita dapat menyatakan bahwa Brimelow telah dilanda oleh apa yang dengan tepat disebut Clifford Geertz sebagai ”pergulatan demi yang nyata”—”the struggle for the real.” Tentu setiap warga negara berhak membayangkan bangsanya menurut versi yang diakrabi dan/atau yang menumbuhkannya. Namun, setiap warga negara juga dituntut untuk berendah hati bahwa bangsa akan terus berubah dan berevolusi menurut kompleksitas aneka dialektika kimiawinya sendiri.
Setiap warga negara juga senantiasa dituntut untuk mengindahkan aneka versi dari ”yang nyata” di tengah pelbagai kelompok bangsa. Kegetiran kekulit-putihan Brimelow akan mendapatkan sanggah-taranya begitu dia diperhadapkan pada ”rasisme sistemik”, ”prasangka rasial”, ”ketidakadilan sistemik” yang menimpa terutama penduduk kulit hitam, yang beratus tahun masih terus dizalimi kalangan kulit putih sebagai kaum budak hingga kini.
Kenyataan itulah yang diangkat David A Love ketika menulis ”The capitol riot exposed police double standard” (Al Jazeera, 14/1). ”Respons polisi yang lunak dan tak efisien serta dukungan diam-diam pada kerusuhan di Capitol, bukanlah kejadian tersendiri”.
Ditambahkan, ”Polisi Amerika sudah lama memperlakukan para ’vigilante’ kulit putih pengguna kekerasan untuk mempertahankan supremasi kulit putih dan menindas gerakan keadilan rasial dengan sarung tangan empuk. Itulah sebabnya para vigilante ekstrem kanan merasa cukup berani dan ratusan kali mengancam serta menyerang para demonstran Black Lives Matter tahun lalu.....”
Dukungan polisi bagi para perusuh pemberang yang menyasar orang-orang kulit berwarna Amerika juga tak bermula pada kepresidenan Trump. Di sepanjang sejarah AS, polisi diam-diam menyetujui atau berpartisipasi aktif dalam kekerasan kerusuhan rasis terhadap kalangan kulit hitam Amerika. Maka tidaklah tepat menyebut tragedi di Gedung Capitol ”a massive security failure”, melainkan ”a massive justice failure.”
Amerika pada hari-hari ini atau di sepanjang empat tahun tahun terakhir memberi kita pelajaran atau peringatan yang sangat berharga, termasuk optimisme.
Pelajaran untuk Indonesia
Amerika pada hari-hari ini atau di sepanjang empat tahun terakhir memberi kita pelajaran atau peringatan yang sangat berharga, termasuk optimisme. Pelajaran terbesar tentu saja harus bertolak dari kritik berani Presiden Iran Hasan Rouhani. Jangan sekali-kali memilih pejabat publik, terutama kepala negara yang tak berakal budi, tak memiliki moralitas, apalagi seorang narsis petaruh Tanah Air, peleceh kaum wanita dan ”difabel".
Baca juga: Era Joe Biden dan Indonesia
Kita perlu berdoa agar partai-partai politik kita segera serius mencampakkan aneka kepicikannya serta membenahi demokratisasi internal dan prinsip-prinsip politik idealnya agar terjauhlah negara-bangsa kita tercinta dari pejabat-pejabat publik dengan tumpukan laku dan akhlak buruk.
Harus diakui, di balik ”Tragedi Capitol”, AS juga menunjukkan progresi demokrasi yang nyata.
Warta gembira tak hanya datang dari prestasi Partai Demokrat yang kini mengungguli lembaga eksekutif dan kedua sayap lembaga legislatif, tetapi juga dari runtuhnya supremasi politik alot kulit putih di Negara Bagian Georgia dengan terpilihnya dua anggota Senat dari Partai Demokrat (seorang Yahudi dan seorang Afro-Amerika). Ini berpuncak pada tampilnya untuk pertama kali seorang wakil presiden perempuan berkulit hitam dan berdarah Asia Selatan — prestasi historis akbar kedua setelah Barack Obama menjadi presiden kulit hitam pertama.
Jika Amerika runtuh, ia bisa menyeret keruntuhan global.
Presiden terpilih yang sekarang sebelumnya adalah wakil Presiden Obama selama dua periode. Kabinet yang dibentuk Biden juga terdiri atas komposisi ras yang paling beragam di sepanjang sejarah Amerika —suatu pengukuhan mantap dari Amerika, sebagai suatu ”melting pot.” Keenam perkembangan positif dalam demokrasi AS ini seurut dan serangkai dalam waktu.
Mari turut berdoa pada pelantikan Presiden ke-46 AS Joseph Robinette Biden Jr yang dengan kredibilitas pribadinya bertekad mengembalikan ”jiwa Amerika" (the soul of America). Negara-bangsa besar ini, terlepas dari sejumlah maha-blunder politiknya dari waktu ke waktu, pada umumnya mampu mengoreksi diri untuk tetap menjadi pasak peradaban politik sejagat di sepanjang rentang delapan dekade terakhir. Jika Amerika runtuh, ia bisa menyeret keruntuhan global.
Mochtar Pabottingi, Profesor Riset LIPI 2000-2010.