Sumpah Palapa, Gajah Mada, dan Pahlawan Lainnya
Sejarah harus memiliki ikon visual, pun para pahlawan nasional yang pada masa hidupnya tidak terdokumentasi sosok figurnya. Sosok figur mereka dibuat berdasar interpretasi atas karakter kepahlawanannya.
Tanggal 9 Juli oleh bangsa Indonesia ditetapkan sebagai Hari Satelit Palapa. Hari penting ini merujuk kepada momentum bersejarah, yakni peluncuran Satelit Palapa pertama Indonesia, yang dilakukan di Florida, Amerika Serikat, pada 8 Juli 1976, yang di Indonesia jatuh pada 9 Juli.
Tentu masih diingat orang, sebutan Palapa bermula dari Sumpah Palapa, yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada ketika ia atas nama Kerajaan Majapahit bertekat menyatukan Nusantara, pada abad ke-14. Sejarah menulis bahwa tekat itu kesampaian sehingga Gajah Mada lantas dijunjung sebagai Pahlawan Nasional. Lalu, wajah Gajah Mada pun diabadikan dalam gambar, patung, relief dan lukisan.
Wajahnya pun jadi lambang dan legenda dari zaman ke zaman. Seperti yang acap kita saksikan, wajah Gajah Mada yang sudah terlembaga itu adalah tinggi besar, cenderung gemuk, bertulang dagu dan pipi menonjol, dengan mata sipit yang memicing. Seraut tipe yang menurut ahli fisionomi mengesankan manusia kukuh, kuat, arif, suka berpikir dan bertindak. Kita pun setuju.
Wajah Gajah Mada yang sudah terlembaga itu adalah tinggi besar, cenderung gemuk, bertulang dagu dan pipi menonjol, dengan mata sipit yang memicing.
Namun di balik himpunan kesetujuan banyak orang, tak sedikit yang mempertanyakan, sejauh manakah kebenaran wajah Gajah Mada yang sekarang kita kenali. Atas hal itu, sejumlah fakta bisa mengungkap.
Orang yang pertama kali meyakini wajah Gajah Mada adalah Muhammad Yamin. Keyakinan sastrawan dan ahli sejarah itu terbit ketika ia menemukan sebuah pecahan keramik kuno peninggalan Majapahit berbentuk celengan. Di dinding celengan pecah itu terukir wajah seorang lelaki kuat, berwajah membulat, dengan rambut ikal panjang.
Oleh karena ditemukan di wilayah Wringin Lawang yang merupakan pintu gerbang kerajaan Majapahit, Yamin meyakini itu wajah Gajah Mada. Atas klaimnya itu ternyata tidak ada ahli yang menggugat secara resmi. Termasuk para arkeolog dari Belanda, yang memang belum memiliki data dan fakta untuk mengoreksi itu.
Ketika ia membuat buku Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (terbit 1945), wajah Gajah Mada menurut versinya dicantumkan sebagai penanda. Dan itu berketerusan sampai sekarang. Di berbagai buku sejarah, baik buku sekolah sampai kitab kajian ilmiah, wajah Gajah Mada versi Yamin itulah yang tertera.
Lalu, andai pun ada gambar atau arca baru yang mempresentasikan Gajah Mada, pecahan keramik itulah yang jadi acuan. Itu sebabnya di Pendopo Agung Trowulan di Mojokerto, ”pusat pandang” Majapahit dan Gajah Mada, terdapat sebuah arca yang menggambarkan wajah Gajah Mada ala Yamin itu.
Menjelang 1950 para pelukis Indonesia mendapat dorongan dari Presiden Soekarno untuk melukis para pahlawan Indonesia. Henk Ngantung—pelukis yang akhirnya jadi Gubernur Jakarta 1964—memilih melukis Gajah Mada. Lukisan Henk merujuk kepada pecahan keramik temuan Yamin itu. Sehingga di kanvasnya ia menulis ”Menurut sebuah patung terracotta”. Lukisan tersebut lantas dipersembahkan untuk Presiden Soekarno. Yakinkah Henk Ngantung atas wajah Gajah Mada yang dilukisnya?
”Tidak terlalu yakin,” ujarnya dalam sebuah wawancara tahun 1991. Apalagi ketika Henk pernah melihat arca batu Brajanata, yang oleh sejumlah sejarawan juga diklaim sebagai perwujudan dari Gajah Mada. Wajah Brajanata ini sangat berbeda dengan Gajah Mada versi Yamin.
Ketidakyakinan itu semakin mengembang tatkala Henk dekat Presiden Soekarno. Sebuah kedekatan yang menyebabkan ia juga semakin mengenal Yamin, yang diangkat sebagai Menteri. Di situ Henk menanyakan kebenaran wajah Gajah Mada. Yamin hanya menjawab bahwa sejarah harus memiliki ikon visual, yang akhirnya ditetapkan sebagai lambang. Honos alit artes, katanya. Artinya, kehormatan bagi Gajah Mada akan melahirkan seni. Interpretasi wajah itu anggaplah sebagai seni penghormatan.
Honos alit artes, katanya. Artinya, kehormatan bagi Gajah Mada akan melahirkan seni. Interpretasi wajah itu anggaplah sebagai seni penghormatan.
Selanjutnya, dalam banyak percakapan di kalangan budayawan dan elite pemerintahan tersimpul bahwa wajah Gajah Mada itu dipilih Yamin lantaran mirip dengan wajah Yamin sendiri. Ada yang percaya, banyak yang tidak. Tapi hal itu ”semakin terbuktikan” ketika Yamin merilis gambar Gajah Mada goresannya sendiri, yang sangat dekat dengan wajahnya, sebagaimana disiarkan oleh tirto.id, edisi 17 Oktober 2019.
Sosok figur
Apakah hanya pahlawan Gajah Mada yang wajahnya diragukan? Ternyata ada banyak. Namun, oleh karena sang pahlawan tetap membutuhkan sosok figur, keraguan itu dibiarkan saja. Apalagi tidak ada referensi visual seperti gambar awal dan fotografi yang bisa mendukung keraguan itu.
Wajah Sisingamangaja XII, misalnya, seorang pejuang Tapanuli yang gigih melawan Belanda. Tokoh Batak ini berjuang melawan penjajahan Belanda sejak 1878. Setelah lama bertempur, ia gugur pada 1907. Dan ia pun digadang-gadang sebagai Pahlawan Nasional.
Terdengar kabar bahwa Sisingamangaraja XII memang tak mau difoto, bahkan, tidak bisa difoto!
Sebelum dinobatkan, Pemerintah Indonesia memerlukan gambaran visual sosok legendaris itu. Foto-foto dirinya tidak diketemukan. Padahal, foto wajah pendahulunya, Sisingamangaraja XI ada. Terdengar kabar bahwa Sisingamangaraja XII memang tak mau difoto, bahkan tidak bisa difoto! Konon mereka yang mencoba memotretnya, badannya akan kaku, gemetar, untuk kemudian lunglai tak berdaya.
Augustin Sibarani, yang terkenal sebagai karikaturis, mendengar upaya pemerintah itu. Ia lalu ingat peristiwa pada 1954, saat hadir dalam pertemuan besar warga Tapanuli di Jakarta. Di situ oleh Paguruban Pane (ayah pengarang ternama Sanusi Pane dan Armijn Pane) ia diminta melukis wajah Sisingamangaraja XII.
Sibarani lalu melakukan penelitian, sampai akhirnya lukisan itu terwujud. Gambar wajah itulah yang kemudian oleh pemerintah dianggap sebagai ”wajah resmi”. Sehingga dicantumkan sebagai gambar dari mata uang Rp 1.000, keluaran 1987.
Akuratkah wajah itu? Sibarani mengatakan bahwa itu adalah hasil pemahaman dan penafsiran saja atas cerita-cerita orang tua. ”Persisnya, manalah aku tahu!”
Wajah pahlawan lain yang juga dikerjakan dengan setengah imajinasi adalah Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessi. Ia adalah pahlawan perang Maluku yang lahir di Saparua pada 1783 dan gugur di Ambon pada 1817. Ia marah ketika Belanda berupaya menguasai Maluku demi memonopoli perdagangan rempah-rempah. Salah satu jasa Pattimura yang paling diingat adalah ketika ia dan pasukannya berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Namun, pasukannya akhir takluk dan Pattimutra ditangkap, untuk kemudian digantung di Benteng Victoria, Ambon.
Wajah Pattimura yang resmi diakui pemerintah adalah ciptaan Christian Luluputy, bikinan 1951. Christian adalah pelukis yang tak tahu benar wajah Pattimura. Referensinya adalah ”arsip tutur” para sejarawan dan tetua di Ambon dan Saparua.
Wajah Pattimura yang resmi diakui pemerintah adalah ciptaan Christian Luluputy, bikinan 1951.
Apakah tidak ada referensi visual yang dibikin penggambar Belanda, yang biasanya rajin merekam tokoh-tokoh musuhnya? Tentu ada, seperti karya Quirijn Maurits Rudolph Ver Huell, yang menurut sejarawan Des Alwi adalah komandan pasukan Marinir Belanda.
Akan tetapi, Christian sangat tidak memercayai gambar Ver Huell itu, yang dituduh cenderung suka menjelekkan wajah bumiputera. Christian pun melukiskan Pattimura menurut versinya sendiri, yaitu sosok gagah dengan kumis yang melintang, seperti Gatotkaca, dengan tangan kanan memegang golok panjang. Ini sangat jauh berbeda dengan gambar Ver Huell yang menggambarkan Pattimura dalam wajah penurut dan culun. Sejauh mana presisi wajah versi Christian? Ia tak pernah mau menjawab pertanyaan ini.
Hasil interpretasi
Dede Eri Supria adalah seniman neo-realis yang banyak dipesan melukis pahlawan perang dan tokoh bangsa. Salah satu serialnya adalah pahlawan dan wanita unggulan Kerajaan Aceh abad ke-18-19. Ismail Sofjan, pengusaha Aceh yang dikenal sebagai kolektor, bertindak sebagai sponsor dan pengarah.
Berkaitan dengan itu Sofjan lantas banyak memberikan referensi berbagai kitab, serta cerita ihwal sosok, tipikal wajah dan gestur wanita-wanita Aceh. Untuk busana yang digunakan ia memberi contoh lewat foto-foto kuno. Untuk karakter dan raut, diceritakan bahwa orang Aceh itu ada darah Turki, Gujarat dan lain-lain. Lantas terlukislah sosok Laksamana Keumalahayati sang pendekar perang laut, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah, sampai Ratu Inayat Zakiatuddin Syah.
Akuratkah presisi wajah dalam lukisan-lukisan itu? Dede tidak bisa menjawab, karena lukisannya ia anggap hanya hasil interpretasi dari mitos, dan wajah tokoh hanya hasil rekonstruksi cerita diimbuh khayalannya saja. Ia juga tidak menolak apabila ada yang mengatakan bahwa wajah dalam beberapa lukisan itu mirip satu sama lain. ”Ya begitulah. Apa yang diceritakan tentang tipikal sosok perempuan Aceh memang selalu bermuara sama, yakni berair muka tenang dan bersih, kuat, teguh pendirian, alim dan pintar,” katanya.
Dede tidak bisa menjawab karena lukisannya ia anggap hanya hasil interpretasi dari mitos, dan wajah tokoh hanya hasil rekonstruksi cerita diimbuh khayalannya saja.
Dede juga diminta untuk melukis Tjut Nyak Dhien. Tapi Dede menolak untuk melukis panglima ulet yang berjuang di hutan di akhir abad ke-19 itu. Masalahnya, menurut Dede, Tjut Nyak adalah tokoh yang sangat populer. Orang sudah memiliki persepsi bahwa wajah Tjut Nyak itu cantik, muda, dengan rambut diikat model konde, seperti yang tertera di buku dan poster yang ditempel di dinding sekolah. Walaupun gambar Tjut Nyak versi sekolah itu dianggap imajiner karena tidak memiliki referensi visual yang meyakinkan sehingga sangat berbeda karakter dan putus korelasi jika dibanding dengan wajah Tjut Nyak di kala tua, yang terekam dalam foto.
”Sampai sekarang saya belum berani melukis Tjut Nyak Dhien. Saya kalah dengan Eros Djarot yang berani memasang Christine Hakim dalam film Tjoet Nja Dhien tahun 1988. Dan rasanya saya juga tidak berani melukis Gajah Mada,” kata Dede.
(Agus Dermawan T, Pengamat Seni Rupa, Penulis Buku Karnaval Sahibulhikayat)