Kita memandang pengutipan dana bantuan sosial untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok sungguh keterlaluan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada bekas Menteri Sosial Juliari Batubara.
Vonis hakim itu setahun lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Juliari selama empat tahun dan membayar pidana tambahan uang pengganti Rp 14 miliar.
Sebelumnya, jaksa menuntut 11 tahun penjara. Jika dibandingkan dengan pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri di depan DPR, yang mengatakan KPK tidak akan segan menuntut mati terdakwa koruptor, vonis hakim itu masih jauh.
Majelis hakim dalam pertimbangannya mengatakan, terdakwa telah menderita secara sosial karena berbagai hujatan masyarakat. Sementara pertimbangan yang memberatkan, majelis hakim mengatakan, di tengah pandemi ada tren peningkatan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Kita memandang pengutipan dana bantuan sosial untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok sungguh keterlaluan. Meski demikian, putusan majelis hakim sebagai mekanisme peradilan di era demokrasi haruslah dihormati.
Harus diingat, proses itu belum selesai. Masih ada peradilan banding, masih ada kasasi, masih ada peninjauan kembali. Lalu, setelah kasus itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan terdakwa menjalani hukuman di penjara, masih ada remisi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Proses hukum setelah peradilan pertama lebih tertutup. Sejarah peradilan Indonesia kontemporer bisa dilihat. Pada tingkat banding, vonis terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari bisa didiskon 60 persen, dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra juga mendapat diskon dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Bahkan, pada perayaan ulang tahun kemerdekaan, pemerintah memberikan remisi 2 bulan penjara.
Realitas empiris itu menunjukkan mekanisme peradilan setelah peradilan pertama adalah mekanisme yang relatif tertutup bagi publik, akses media amat sangat terbatas. Akses publik relatif tertutup karena persidangan hanya menyangkut pemeriksaan berkas dan pertimbangan.
Dalam ruang ketertutupan itu, semua transaksi bisa saja terjadi. Pandangan itu didasarkan pada fakta-fakta empiris saat diskon vonis terjadi pada peradilan banding dan remisi setiap perayaan Hari Kemerdekaan.
Remisi yang selama ini dikelola Kementerian Hukum dan HAM juga dipandang sebagai sesuatu yang tertutup. Publik tak bisa mengakses indikator seorang terpidana dinilai berkelakuan baik atau tidak sebagai syarat mendapatkan remisi.
Proses remisi yang selama ini menjadi monopoli Kementerian Hukum dan HAM juga perlu direformasi dengan melibatkan publik. Akan lebih baik jika pemerintah berani mencanangkan tiada remisi untuk terpidana kasus korupsi dan narkoba.