Orang Iban Menurut Orang Iban
Buku ini membawa kita menyelam pada keseharian orang-orang Iban menghayati kemanusiaan mereka, yang ternyata sama saja dengan kemanusiaan orang mana pun di muka bumi ini.
Sam Anyeq, teman saya dari Dayak Kenyah, berkisah tentang percakapannya dengan teman main bulutangkisnya. Suatu malam, teman itu bertanya dengan cukup sopan sambil pendinginan. Seingat saya, kurang lebih begini bunyi percakapan yang Sam ceritakan kembali. “Romo, maaf sebelumnya. Saya mau bertanya. Apakah betul orang Dayak itu makan manusia?”
“Mas, kalau jawabannya betul, tentu saja Anda dari tadi tidak bisa bermain bulutangkis dan sekarang tidak bisa bertanya,” jawab Sam Anyeq. Ia merasa heran dan jengkel juga. Sudah tahun 2011 kok masih ada pertanyaan semacam itu.
Kemudian Sam Anyeq bertanya ke saya pula, “Apakah memang orang-orang di Jakarta ini tidak pernah mengerti bagaimana kehidupan orang Dayak sehari-hari di belantara Kalimantan sana? Belum lagi Dayak itu nama yang umum. Di dalamnya ada orang Kenyah, orang Jangkang, orang Mualang, orang Bidayuh, orang Sungkung dan masih banyak yang lain.”
Banyak orang di republik ini tidak tahu tetapi berprasangka tentang orang Dayak. Prasangka-prasangka serupa juga dialamatkan ke orang Papua dan mungkin juga ke etnis yang lain. Tidak jarang prasangka-prasangka itu lestari dan diperlakukan sebagai ‘pengetahuan yang sah dan teruji’.
Pengenalan saya tentang kehidupan orang-orang Dayak berawal dari pertemuan dengan almarhum J.B. Hari Kustanto, antropolog jebolan Yale University, yang meneliti kehidupan orang-orang Sungkung di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat. Ia menulis disertasi dengan judul The Politics of ethnic identity among the Sungkung of West Kalimantan, Indonesia pada tahun 2002.
Buku ini menyingkapkan sebagian dari kehidupan orang Dayak Iban dan membuat saya semakin mengenal. Seperti dikatakan penulisnya, “Buku ini ditulis dengan semangat sederhana untuk mengenal lebih dalam perikehidupan orang Iban melalui kisah-kisah perjalanan hidup yang diungkapkan oleh mereka sendiri.” (hlm xvii).
Buku ini menyingkapkan sebagian dari kehidupan orang Dayak Iban dan membuat saya semakin mengenal.
Apa pentingnya buku ini?
Anda akan mulai mengenal siapa orang Dayak Iban dengan menyimak cerita dari mereka sendiri. Bahwa mereka sehari-hari memakan nasi hasil dari berladang dan hewan-hewan yang mereka ternak atau hasil berburu. Bukan menyantap daging manusia!
Buku ini membuka kesadaran kita tentang pandangan dunia-hidup orang Iban; tentang ide-ide fundamental yang menjadi pertanyaan eksistensial manusia sepanjang masa. Juga tentang ketakutan-ketakutan menjadi renta tanpa ditemani oleh anak-anak atau generasi yang lebih muda. Anda akan bertemu dengan orang Iban yang percaya bahwa setelah kematian akan berada di surga bersama orang-orang terkasihnya.
Namun, Anda juga akan mendengar suara lirih orang Iban yang tidak tahu kemana kita pergi setelah mati. Kita bisa turut merasakan kebanggaan dan rasa syukur keluarga-keluarga Iban yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka. Sama seperti kita, orang Iban juga menangis dan meratap ketika anaknya meninggal dunia.
Melalui cerita, kita belajar memahami ide di balik praktik perladangan berpindah mereka sehingga bisa menjadi lebih kritis terhadap posisi pemerintah yang mengategorikan pembakaran lahan sebagai tindakan melanggar hukum. Setelah memahami, barangkali kita menjadi semakin arif untuk menduga-duga bagaimana rasanya ditekan untuk mengubah cara hidup. Namun, di saat yang sama, pemerintah memberikan dukungan kepada ekspansi perkebunan sawit.
Barangkali Anda pernah bertanya-tanya mengapa orang Dayak menoreh tato pada badan mereka? Apakah arti tato mereka? Bagaimanakah pemuda-pemudi Iban mendapatkan cintanya? Bagaimana mereka menjalani hidup sebagai suami-isteri? Bagaimana mereka mengorganisasi kehidupan sehari-hari di rumah panjang? Apakah kehidupan mereka tak mengenal kepemilikan pribadi? Bagaimana orang-orang Iban merespon perubahan-perubahan?
Saya yakin, meskipun tidak selalu memuaskan, pertanyaan-pertanyaan itu mendapatkan jawaban permulaan dalam buku ini. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terselip di antara baris-baris cerita di buku ini.
Buku ini membawa kita menyelam pada keseharian orang-orang Iban menghayati kemanusiaan mereka, yang ternyata sama saja dengan kemanusiaan orang mana pun di muka bumi ini. Mereka berjuang untuk menghayati hidup dalam kemuliaan sekaligus kerapuhannya. Dengan begitu, kita bisa mengkritisi mitos-mitos tentang orang Dayak yang sudah melingkungi atau bahkan sempat kita percayai.
Orang-orang dalam buku ini membawa kita ke masa 25 tahun silam. Seolah-olah kita duduk di hadapannya dan terlarut, seperti daun kering terbawa arus sungai, oleh ungkapan-ungkapan perasaan terdalam mereka.
Bagian pertama berisi pertanggungjawaban penulisnya tentang proses penelitiannya di antara orang-orang Dayak Iban pada permulaan dekade 1990-an dan perjalanan napak tilasnya pada pertengahan 2018. Sekaligus ia memberikan keterangan bahwa kisah-kisah yang tersaji berasal dari obrolan-obrolannya pada tahun 1993. Pada perjalananan 2018, penulis berhasil bertemu dua orang informan penelitiannya dahulu.
Pada bagian kedua, penulis memaparkan informasi-informasi umum tentang orang Iban: populasi dan sebaran, bahasa, sistem kepercayaan, ciri fisik, struktur bangunan rumah panjang, sistem organisasi sosial dan kekerabatan, matapencaharian, dan sistem pengetahuan.
Baca juga : Merasakan Denyut Kehidupan Masyarakat Dayak di Rumah Panjang
Meskipun serba ringkas, bagian membantu kita untuk memahami orientasi bejalai atau merantau, cara berladang, relasinya dengan kelompok etnis lain, termasuk sub-etnis Dayak, hubungan antarkeluarga penghuni rumah panjang, perkawinan dan keluarga, dan beragam keterangan yang lain.
Orang-orang Iban menyebar melintasi batas negara. Mereka berdiam baik di Sarawak, Malaysia maupun Indonesia. Meski demikian, mereka memiliki identitas yang sama, yaitu orang Iban. Orang-orang Iban berlalu-lalang melintasi batas negara—bukan batas suku. Batas negara tidak menjadi batas imajinasi identitas dan solidaritas sebagai kelompok etnis. Orang Iban Indonesia merasa harus ikut gawai yang diselenggarakan oleh kerabat yang tinggal di Sarawak. Begitu juga sebaliknya. Batas negara sama sekali bukan batas ruang gerak atau lanskap kehidupan sehari-hari orang Iban.
Bagian selanjutnya terasa lebih hangat dan renyah, yaitu 13 cerita orang Iban. Saya ‘bertemu’ dengan orang-orang Iban yang berdaulat atas diri mereka. Mereka membagikan kisah hidupnya dengan kata-kata mereka sendiri.
Semula saya sempat menduga dalam hati: Apakah orang Iban yang sudah kehilangan kedaulatan untuk membakar ladang demi bertani karena undang-undang yang dibuat oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya mengenal mereka kini kehilangan kedaulatan juga untuk mengisahkan kepedihan, harapan, keputusasaan, dukacita, ketakutan dan perasaan-perasaan manusiawi terdalamnya karena dirampas oleh seorang antropolog lulusan Leiden?
Kita bisa ikut kesepian bersama Lema dan Pilang yang perkawinannya tidak membuahkan anak (hlm 103). Padahal bagi orang Iban kehadiran anak sangat penting untuk mewarisi bilik, ladang, dan harta benda pusaka yang disimpan di sadau. Setelah pergi dari dukun satu ke dukun yang lain, mereka memutuskan mengangkat anak, Sayung. Ternyata, tidak seperti yang mereka harapkan, Sayung malah membuat hidup mereka lebih susah.
Kita juga bisa turut berdebar-debar bersama para pemuda yang meng-ayap atau pemudi yang di-ayap.
“Kini saya sudah kian tua. Mungkin, tak lama lagi saya akan mati. Saya selalu berpikir, betapa sedihnya jika saya mati nanti karena tidak ada lagi orang muda, tak ada anak-anak, yang tinggal di bilik ini. Sekarang saja tak ada orang yang membantu kami bekerja di rumah maupun di ladang. Kalau saya mati, Pilang tentu harus melakukan semuanya sendiri. Hidupnya akan lebih merana. Seharusnya, Sayunglah yang tinggal di sini. Ialah yang sesungguhnya wajib mengurus kami sampai saya dan Pilang mati,” kata Lema, yang memperkirakan umurnya ketika itu 45 tahun. (hlm 113)
Kita juga bisa turut berdebar-debar bersama para pemuda yang meng-ayap atau pemudi yang di-ayap. Mengayap merupakan aktivitas pemuda untuk menyusup ke dalam kelambu pemudi di dalam bilik di rumah panjai untuk berkenalan ketika seluruh penghuninya sudah tidur. Pemudi bisa saja menolaknya seperti yang dilakukan Madu (hlm 182). Atau, orangtua pemudi melarang anaknya di-ayap dan menombak pemuda yang menyelinap ke biliknya. Itu berarti si pemuda masih harus berjuang lebih lagi agar berhasil. Sementara pemudi barangkali masih menanti laki-laki yang cocok bagi dirinya.
Epilog dari Iwan Pirous menyiratkan pesan yang sangat kuat. Sebagian pembaca tentu ingin tahu bagaimana tanggapan orang Dayak, termasuk orang Iban, terhadap bentang alam Kalimantan yang secara dramatis beralih fungsi menjadi perkebunan.
Korporasi-korporasi bisnis merentangkan lengan guritanya di antara lanskap orang Iban. Orang-orang Iban, jauh berbeda daripada masa sebelum pemerintah, kini menjadi subjek pengaturan aparat pemerintah. Praktik perladangan mereka yang melibatkan pembakaran lahan secara terbatas dicap merusak hutan.
Penulis epilog mengingatkan bahwa orang-orang Iban, juga orang-orang Dayak yang lain, menghadapi ancaman-ancaman dari perubahan dewasa ini. Memang ada contoh baik dari Dusun Sungai Utik yang berhasil mempertahankan hutan mereka seluas 10.000 hektar sehingga mendapatkan pengakuan negara. Akan tetapi, tidak semua komunitas Iban mampu berjuang sampai sejauh itu. Pertanyaan penting yang muncul: Bagaimana orang-orang Iban menyiasati perubahan ini?
Selesai membaca buku ini, saya teringat seorang teman yang menjadi pejabat di sebuah kementerian. Ia risau dengan nasionalisme orang-orang Indonesia di wilayah perbatasan. Ia berpandangan bahwa nasionalisme orang-orang di perbatasan harus diperkuat agar tetap merasa dirinya bagian dari Indonesia. Tidak hanya itu, mereka juga harus lebih bangga dengan Indonesia daripada Malaysia. Penduduk Indonesia di perbatasan merupakan pintu pertama yang tidak boleh bobol.
Lebih jauh lagi, ia berujar bahwa rasa nasionalisme itu dimanifestasikan dengan mengakses layanan-layanan umum di wilayah Indonesia. Bagaimana jika itu lebih jauh dan lebih sulit daripada ke Sarawak? Belum lagi kalau ternyata kualitas layanannya malah lebih buruk. Bagaimana jika layanan yang diperlukan itu kesehatan dalam situasi darurat? Bisa-bisa nyawa melayang demi memperlihatkan nasionalisme.
Baca juga : Keutuhan Hidup di Rumah Panjang
Entah bagaimana ia membayangkan relasi orang-orang Iban Indonesia di perbatasan dengan sanak saudara dan kerabat mereka di Sarawak. Batas negara bukanlah batas pemisah hubungan kekerabatan. Orang-orang di perbatasan hidup bersama sebagaimana kita hidup bersebelahan dan saling menolong dengan tetangga kita. Batas negara juga bukan batas identitas etnis.
Ruang hidup orang Iban, dimana ingatan dan kesejarahan mereka hayati, rasa memiliki (belongings) bertaut, dan identitas mereka bersatu, melampaui batas negara. Kebijakan pengelolaan daerah perbatasan yang keliru malah bisa bermakna membatasi ruang hidup dan mempersulit mobilitas mereka.
Perlakukanlah buku ini sebagai buku pemanasan untuk mengenal Dayak lebih jauh. Ini bukan menu utama kalau kita sungguh-sungguh ingin ‘kenyang’ dengan pengetahuan tentang suku Dayak Iban. Jika Anda berharap buku ini menjadi bacaan yang menyeluruh tentang orang Iban, Anda akan kecewa. Buku ini adalah bacaan ringan serba sekilas dan cukup populer, untuk Anda habiskan dalam masa pandemi ini.
Johanes Supriyono, Alumnus STF Driyarkara dan Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia
Data Buku
Judul: Di Rumah Panjang, Pergulatan Hidup dan Cinta Orang Dayak Iban
Penulis: Mulyawan Karim
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, 2021
Tebal : xxiv+280 hlm
ISBN :978-623-346-216-7