Volatilitas Elektabilitas Parpol
Faktor naik turunnya elektabilitas parpol dari satu pemilu ke pemilu lain menunjukkan pola penyebaran suara pada setiap pemilu yang relatif mulai konsisten.
Hasil survei Litbang Kompas, Oktober 2021, menunjukkan, dari sembilan parpol di DPR, elektabilitas tujuh di antaranya mengalami penurunan dibandingkan survei April 2021 (Kompas, 21/10/2021).
Secara elektoral, gejala tersebut sering disebut sebagai volatilitas (volatility), naik turunnya suara partai dalam rentang dua pemilu, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Tingkat volatilitas elektoral (pemilu DPR) di Indonesia memang cenderung tak ajek.
Angka volatilitas ini cenderung tinggi, 20,08 (Pemilu 1999-2004), 27,035 (Pemilu 2004-2009), 19,5 (Pemilu 2009-2014) dan 13,05 (Pemilu 2014-2019). Median volatilitas dua pemilu terakhir juga cukup tinggi, sekitar 16,2 persen. Volatilitas pemilu sebagian besar akibat penyebaran suara pemilih sebagai dampak bekerjanya kombinasi proporsional terbuka multipartai yang ekstrem.
Sebaran suara pemilih
Faktor naik turunnya elektabilitas parpol dari satu pemilu ke pemilu lain menunjukkan pola penyebaran suara pada setiap pemilu yang relatif mulai konsisten. Ada kecenderungan yang sudah mulai relatif mapan, sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan sudah relatif stabil dalam membentuk basis politik partai.
Baca juga : Survei ”Kompas”: Parpol Baru dan Nonparlemen Belum Dikenal Publik
Kecenderungan itu tampak dari dua pemilu terakhir, Pemilu 2014 dan Pemilu Serentak 2019, di mana ruang elektoral partai hanya mungkin menampung 8-9 partai yang akan memiliki kursi di tingkat nasional (DPR).
Meskipun ada rekayasa—keserentakan pemilu dan/atau penerapan rumus divisor’s Sainte Lague serta ambang batas parlemen nasional 4 persen, kesemuanya kurang mampu mendorong perubahan elektoral untuk menciptakan partai pemenang pemilu mayoritas.
Artinya, praktik pemilu di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan sebaran suara yang fluktuatif dan pemenang pemilu tak akan berhasil meraup suara di atas 25 persen. Kecenderungannya, pemenang pemilu hanya memperoleh dukungan suara nasional di bawah 20 persen, jauh dari syarat mutlak partai yang berhak mengajukan capres/cawapres (presidential threshold).
Kecenderungan naik-turunnya suara parpol pada dua pemilu terakhir menunjukkan ada beberapa kelompok partai.
Sebaran suara dan volatilitas elektoral disebabkan oleh, pertama, gejala stagnasinya suara parpol kategori besar (tiga partai urutan teratas) maupun partai tengah pada Pemilu 2019 dibandingkan Pemilu 2014. Tak terjadinya “lompatan suara” yang signifikan dari dua mainstream partai yang berkompetisi secara sengit, antara kelompok “nasionalis versus agama” yang sama-sama memiliki calon presiden. Efek ekor jas (coattail effect) pemilu serentak tak berkerja.
Stagnasi suara PDI-P dan Gerindra dan beberapa partai tengah seperti NasDem dan PKS pada Pemilu 2019 menyebabkan sebaran suara pemilu, bukan pengerucutan suara pemilu.
Faktor kedua adalah menurunnya suara Golkar yang terus terkikis dari satu pemilu ke pemilu berikutnya dengan kisaran 2,5 hingga 3,5 persen yang justru menambah dampak potensi volatilitas hasil pemilu semakin tinggi. Kecenderungan itu juga disumbang oleh menurunnya suara partai papan tengah seperti Demokrat, PAN, dan PPP.
Faktor ketiga yang turut memengaruhi adalah masih ikutnya partai-partai kecil dan munculnya partai-partai baru di setiap pemilu. Partai kecil dan partai baru ini menyumbang angka penyebaran volatilitas elektoral sekitar 12, 23 per- sen (Pemilu 2019) dari suara PBB, Hanura, PKPI, Berkarya, PSI, Perindo.
Kecenderungan naik-turunnya suara parpol pada dua pemilu terakhir menunjukkan ada beberapa kelompok partai. Kelompok pertama, partai yang relatif sudah stabil secara elektoral, seperti PDI-P, Gerindra, PKB, PKS dan Nasdem. Kelompok kedua diwakili partai yang potensial mengalami tingkat volalititas suara hasil pemilu yang berbeda-beda seperti Golkar, Demokrat, PAN, PPP.
Stagnasi dan penurunan elektoral partai bisa disebabkan oleh multifaktor, mulai dari kinerja dan performa partai yang kurang bagus, tak adanya magnet tokoh sebagai penyedot suara (vote getter), tajamnya faksi dan konflik internal, hingga kurang berfungsinya kinerja elektoral partai akibat hanya partai hadir pada saat pemilu. Kekecewaan publik publik atas kinerja pemerintahan koalisi yang melibatkan banyak partai juga menjadi faktor penyumbang volatilitas.
Baca juga : Susun Strategi Pemenangan, Parpol Mulai Petakan Daerah Pemilihan
Ekspektasi pemilih pada suatu partai tidak hanya didasari oleh faktor ideologis semata, akan tetapi dipengaruhi beberapa pertimbangan. Pemilih yang mulai cerdas secara politik, cenderung menjadi pemilih massa mengambang (floating mass) yang menetapkan preferensi politiknya pada saat-saat menjelang pemberian suara atau bahkan pada saat berada di dalam bilik suara.
Faktor teknis kerumitan keserentakan pemilu semakin menyulitkan preferensi politik pemilih sehingga ada gejala pembagian suara pada pemilihan calon presiden dan anggota legislatif yang tidak linear.
Implikasi bagi sistem presidensial
Urusan naik-turunnya suara partai politik dalam pemilu bukan semata-mata menjadi urusan internal partai. Lebih jauh dari itu berhubungan melekat dengan bangunan sistem pemerintahan hasil pemilu. Salah satu dampak nyata dari potensi volatilitas pemilu di Indonesia yang tinggi adalah rentan dan rapuhnya serta kecenderungan kompromi dalam desain pemerintahan koalisi.
Gagasan perubahan desain kepemiluan, melalui kenaikan ambang batas parlemen nasional dan penggunaan rumus divisor’s Sainte Lague disertai oleh penyelenggaraan pemilu yang serentak, ternyata tidak mampu mengubah konfigurasi kekuatan politik di parlemen. Presiden terpilih akhirnya terjebak oleh politik partai sebagai akibat partai utama pengusung pemilu cenderung hanya berhasil menghimpun suara dukungan di bawah 20 persen pada setiap pemilu.
Ramuan pemerintahan koalisi yang dibentuk presiden/wakil presiden terpilih akhirnya dikontrol oleh partai. Meskipun presiden/wakil presiden terpilih memperoleh legitimasi sangat besar dari hasil pemilu, ada ancaman kohabitasi dalam desain sistem politik, apabila presiden terpilih hanya memperoleh dukungan politik yang kecil di parlemen.
Secara alamiah, presiden/wakil presiden terpilih mencoba menyusun pemerintahan koalisi dengan dua pola. Pola pertama, pemerintahan koalisi yang turah, karena semua kekuatan politik akan ditampung, sehingga batas kemampuan wadah jadi tumpah. Koalisi model seperti itu pernah terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), SBY-Boediono, Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Koalisi tumpah menyebabkan posisi presiden dalam sistem presidensial di Indonesia mengalami degradasi. Presiden yang memegang hak penuh kewenangan politik dalam sistem presidensial (hak prerogatif), berhadapan dengan tawar-menawar politik sepanjang masa jabatannya akibat kalkulasi dukungan politik agar pemerintahannya bisa bekerja (governable) secara aman, nyaman dan selamat. Akibatnya, sudah dapat dipastikan berlaku teori politik klasik Laswell, “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana”.
Koalisi tumpah menyebabkan posisi presiden dalam sistem presidensial di Indonesia mengalami degradasi.
Menurut asal-usul teori koalisi, hal di atas berhimpit dengan orientasi memperoleh kekuasaan (office seeking). Berlakulah adagium tidak ada makan gratis dalam politik. Kecenderungan formulasi koalisi akan berulang, presiden terpilih akan membagi-bagi kue kekuasaan eksekutifnya kepada partai yang mendukung. Praktik ini lama-lama bisa menjadi kebiasaan atau tradisi politik dalam pemerintahan presidensial di Indonesia.
Dampaknya, pemerintahan koalisi tak bisa menghindarkan presiden dari kepentingan politik para pendukungnya. Padahal, partai yang tergabung dalam pemerintahan bukanlah entitas tunggal, namun terfragmentasi dalam berbagai friksi dan kepentingan.
Fragmentasi kepentingan memengaruhi pembentukan pemerintahan koalisi akibat peran aktor-aktor kunci (veto players) yang terlalu banyak. Surplus partai politik akibat koalisi tumpah bukan hanya menjerat dan mempersulit presiden terpilih dalam membentuk pemerintahan koalisi, namun juga bisa berdampak pada kesulitan dalam membuat kebijakan.
Situasi itu terjadi jika kepemimpinan presiden lemah, dan aktor-aktor kunci politik (political veto players) jauh lebih mendominasi. Sebaliknya, koalisi tumpah bisa memuluskan semua keinginan presiden (all the president’s men) tanpa adanya pengawasan sehingga cheks and balances dalam sistem politik tak berja -lan. Kalaupun ada pengawasan, sifatnya simbolis dan sekadar gincu politik.
Fragmentasi kepentingan memengaruhi pembentukan pemerintahan koalisi akibat peran aktor-aktor kunci (veto players) yang terlalu banyak.
Pola kedua adanya kecenderungan presiden terpilih tidak memperoleh dukungan politik mayoritas (minoritas di parlemen). Pola ini akan memperumit presiden dalam menyusun pemerintahan koalisi minimalis dan kebijakan-kebijakan politiknya rentan dan rapuh.
Kedua pola ekstrem tersebut sebagai konsekuensi logis dari adopsi model pemerintahan parlementer dalam sistem presidensial yang diwujudkan oleh berlakunya multipartai.
Stabilitas pemerintahan akan terjerembab dan terombang-ambing oleh kerumitan kalkulasi politik yang tidak stabil, sehingga jalannya pemerintahan akan selalu terganggu.
Idealnya, pemerintahan koalisi lebih didorong oleh preferensi kebijakan sehingga bisa terbentuk kabinet kerja (zaken kabinet) dan bukan kabinet bagi-bagi jabatan (office seeking).
Dengan perkembangan dan praktik politik Indonesia selama dua dasawarsa terakhir, ekspektasi preferensi kebijakan dalam koalisi mustahil diwujudkan.
Mengapa demikian? Karena bangunan sistem presidensial kita telah mengalami pergeseran.
Partai yang jumlahnya banyak menyebabkan pergeseran sistem presidensial dalam membentuk pemerintahan ala parlementer, sebab hasil pemilu tidak membuat presiden percaya diri dengan koalisinya. Akibatnya akan ada konfigurasi ulang koalisi politik pasca-pemilu.
Moch Nurhasim Peneliti Pusat Riset Politik-BRIN