Menuju Ekonomi Gotong Royong
Praktik ekonomi berbagi dalam berbagai pola yang diklaim sebagai bagian penting dari ekosistem perusahaan rintisan di berbagai sektor terasa sebagai etos gotong royong dalam masyarakat komunal.
Beberapa hari menjelang penyelenggaraan kongres International Council of Societies of Industrial Design (ICSID) di San Francisco pada 2008, Brian Chesky dan Joe Gebbia kesulitan membayar uang sewa apartemen. Namun, kedua anak muda itu yakin acara tersebut akan mendatangkan banyak tamu dan tentu akan menyebabkan hotel-hotel penuh. Para peserta kongres yang belum mendapatkan kamar akan membutuhkan tempat bermalam.
Chesky dan Gebia menawarkan jasa layanan dadakan yang mereka beri nama bed-and-breakfast dengan menyewakan matras atau kasur udara yang digelar di lantai. Mereka membutuhkan waktu tiga hari untuk membangun situs web airbandbreakfast.com dengan memanfaatkan aplikasi gratis wordpress.
Situs baru itu ternyata mendapatkan respons positif. Chesky dan Gebia berhasil mendapatkan tiga penyewa selama kongres berlangsung. Setelah kongres usai, keduanya kembali menjalani rutinitas biasa.
Baca juga: Meneropong Ekonomi Digital 2021
Chesky dan Gebbia biasa dijuluki “orang biasa” karena mereka tamatan sekolah desain tanpa pengalaman serius sebagai pengusaha. Mereka bekerja di kantor yang sama, kemudian menjadi teman sekamar. Beberapa hari setelah mereka membuat situs airbandbreakfast.com yang kelak menjadi platform layanan berbagi kamar kelas dunia bernama Airbnb (Air Mattress Bed and Breakfast), mereka berkunjung ke apartemen seorang teman bernama Nathan Blecharzyk, sosok yang diharapkan lebih memahami bisnis di era digital.
Chesky dan Gebbia memaparkan rencana sederhana yang diperkirakan dapat selesai beberapa minggu sebelum peluang konferensi selanjutnya, dan mengajak Nathan untuk bergabung. Nathan Blecharzyk adalah jebolan Harvard bidang komputer dan pernah bekerja sebagai insinyur di perusahaan piranti lunak.
Sebelumnya mereka bekerja sama dalam berbagai proyek dan merasa sebagai pasangan yang pas karena seorang programmer membutuhkan perancang. Nathan setuju untuk bergabung. Chesky, Gebbia, dan Nathan kemudian menghabiskan beberapa bulan guna merancang ide untuk perusahaan baru mereka. Tujuan awalnya adalah menyediakan layanan pencarian teman sekamar dengan menggabungkan elemen dari Facebook dan Craiglist, dan ternyata sudah ada situs sejenis bernama rommates.com.
Menurut catatan M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah (2020) dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan, perjalanan awal Airbnb ditandai dengan upaya keras mencari dukungan pada Y Combinator, inkubator perusahaan rintisan yang masa itu dipimpin oleh Paul Graham. Semula Paul Graham menentang keras konsep berbagi tempat tinggal ala Airbnb.
Tak lama kemudian, Paul Graham melunak setelah melihat daya tahan para pengusaha muda itu dan menjuluki mereka sebagai "kecoa" (cockroach). Istilah yang mewakili prinsip kewirausahaan rintisan yang mampu bertahan dalam kondisi apapun. Hanya dalam hitungan minggu, Airbnb berhasil masuk dalam program Y Combinator.
Baca juga: Realitas Perusahaan Rintisan
Saat Paul Graham berbicara dengan modal ventura, ia menekankan pentingnya ketahanan mental, kemampuan mengatasi rintangan, bagi pengusaha muda, demi mengupayakan sesuatu yang baru. Karakter itu sangat penting bagi para pendiri untuk melahirkan perusahaan sekelas Google dan Paypal. Ketika Greg McAdoo dari Sequoia Capital bertanya, siapa pengusaha yang seperti cockroach itu, Paul Graham segera menunjuk trio pendiri Airbnb.
Apa yang dibayangkan oleh Paul Graham akhirnya tak terhindarkan. Dalam rentang 2013-2016, data dari 13 pasar besar di dunia (Barcelona, Boston, London, LA, Mexico City, Miami, New Orleans, Paris, San Francisco, Seattle, Sidney, Tokyo, dan Washington DC) mencatat Airbnb memiliki okupasi tertinggi di pasar hotel. Pada 2016, Airbnb memiliki 3 juta kamar yang terdaftar, dibandingkan dengan Marriot International (1,1 juta), Hilton Worldwide (774.000), Intercontinental Hotels Group (717.000), Wyndham Worlwide (677.000), Accor Hotels (519.000) dan lainnya.
Dari data itu terlihat bahwa gabungan Marriot dan Hilton pun tak sanggup menandingi jumlah kamar yang terdaftar di aplikasi Airbnb. Sebagaimana dicatat www.dailymail.co.uk, pada 2018 Airbnb memiliki jasa layanan berbagi kamar penginapan di 34.000 kota di dunia, dengan valuasi modal mencapai 31 miliar dollar AS.
Ekonomi berbagi
Perjalanan panjang Airbnb yang bermula dari keinginan "berbagi kamar" menurut para ahli menjadi bukti yang paling menonjol dari tren kebangkitan sharing economy (ekonomi berbagi). Apabila di masa sebelum web berbasis consumer to consumer (c2c) dapat digunakan secara massif, bisnis hanya digerakkan oleh aset milik korporasi-korporasi besar, kini ia bisa berdenyut oleh kerumunan individu yang saling berbagi.
Menurut Attila Marton, profesor bidang digitalisasi Copenhagen Business School, sebagaimana dikutip Simon Lovick (2020) di www. businessbecause.com, ada tiga prinsip berbagi dalam berbagai platform digital yang bermunculan dalam satu dekade terakhir. Pertama, berbagi dalam bentuk yang paling sederhana, seperti berbagi makanan antarkeluarga atau produk rumah tangga antarteman di satu tempat tinggal. Wikipedia misalnya, muncul sebagai ruang digital tempat para penggunanya secara sukarela berkontribusi dan berbagi pengetahuan.
Kedua, prinsip berbagi hadiah. Dalam keseharian kita biasa memberikan hadiah dalam bentuk kue ulang tahun, dengan harapan orang lain akan membalasnya di masa depan. Prinsip ini tumbuh di masa-masa awal era internet dengan gerakan open source, ketika programmer membuat perangkat lunak dan pengkodean, lalu membagi-bagikannya secara gratis. Napster (layanan streaming paling awal) misalnya, memungkinkan pengguna mengunggah musik mereka sendiri, sebagai imbalan dari aktivitas mengakses musik orang lain.
Baca juga: Sulitnya Ekonomi Berbagi
Ketiga, berbagi jasa, aset, dan produk untuk saling memperoleh keuntungan. Jenis berbagi yang terakhir itulah inti dari sharing economy. Interaksi antarkonsumen yang berlangsung di sebuah platform e-commerce misalnya, memungkinkan seorang konsumen menawarkan jasa pada konsumen lain untuk barang-barang konsumsi, dan ia bertindak seperti agen penyewaan skala kecil, atau konsumen dapat berperan sebagai produsen jasa. Ketika penyewaan itu ditransaksikan melalui platform dan meminta imbalan, maka terjadilah apa yang disebut peer to peer economy.
Dalam situasi seperti itu, konsumen memiliki lebih banyak opsi untuk memperoleh akses yang tidak melulu harus berdasarkan kepemilikan. Kini, ada kecenderungan pengurangan kepemilikan mobil di kelompok konsumen usia muda karena meluasnya akses untuk berbagi kendaraan seperti layanan yang disediakan oleh platform Relayrides, berbagi tujuan yang disediakan BlaBlaCar, penyewaan murah seperti yang dilakukan oleh Zipcar, Car2Go, Sixt, atau taksi panggilan seperti Uber, Lift, dan Didi.
“Masyarakat, terutama anak muda, lebih nyaman mengakses barang daripada memilikinya,” kata Christoph Lutz, profesor komunikasi dan budaya di Norwegian Business School seperti dikutip oleh Simon Lovick (2020) dalam What is The Sharing Economy? "Anda bisa bersepeda ke kantor dengan sepeda dari platform berbagi sepeda Lime, bisa pulang dengan Uber, memesan makanan dari Deliveroo dan dapat membuang makanan lama Anda di Olio," begitu tulis Lovick.
Anda bisa bersepeda ke kantor dengan sepeda dari platform berbagi sepeda Lime, bisa pulang dengan Uber, memesan makanan dari Deliveroo dan dapat membuang makanan lama Anda di Olio.
Arun Sundarajan (2016) dalam The Sharing Economy: The End of Employment and The Rise of Crowd-based Capitalism, menyebut prinsip saling berbagi yang menggerakkan bisnis di ruang digital itu telah mendorong sebuah transformasi dari kapitalisme berbasis korporasi ke kapitalisme orang banyak atau kapitalisme kerumunan (crowd-based capitalism). Sistem ekonomi yang tampak lebih komunal itu, menurut Sundarajan, menyediakan modal dan tenaga kerja melalui jaringan berbasis orang banyak (crowd-based).
Oleh karena itu sharing economy lebih mengandalkan individu-individu ketimbang institusi yang tersentralisasi dan hierarkis seperti korporasi atau negara. Selain itu, sharing economy juga mengaburkan batas antara pekerja personal dengan pekerja profesional. Ia memungkinkan tersedianya pekerja dan jasa komersial untuk aktivitas peer to peer yang biasanya dianggap personal, misalnya memberikan tumpangan atau uang pinjaman.
Dalam sistem ini, batas antara pekerja penuh waktu dengan pekerja harian, pekerja bebas dengan pekerja terikat, kerja, dan kesenangan, tidak terlalu tegas alias kabur. Banyak pekerjaan penuh waktu dalam sharing economy digantikan oleh pekerjaan kontrak dengan fitur yang bervariasi berdasarkan komitmen, rincian tugas, dan ketergantungan ekonomi. Sharing economy biasanya dekat dengan istilah collaborative consumption, peer to peer economy, gig economy, uber economy, yang secara keseluruhan muncul sejak internet menjadi infrastruktur penting penopang berbagai aktivitas keseharian kita.
Sebagian pakar berpendapat bahwa ekonomi jenis ini telah mendisrupsi paradigma ekonomi lama (kapitalisme). Prinsip saling berbagi yang terkandung di dalamnya akan mengurangi biaya produksi, meningkatkan partisipasi (aksesibilitas), mengurangi kebutuhan akan kepemilikan, memaksimalkan pemakaian barang, dan semacamnya.
Oleh karena terbilang baru, sharing economy kerap menimbulkan perdebatan. Sebagian menimbang sharing economy sebagai paradigma baru yang akan memberikan suatu kesempatan ekonomi lebih baik kepada lebih banyak pihak yang terlibat karena sharing economy sejalan dengan tuntutan keselarasan ekonomi dengan lingkungan.
Baca juga: Berbagi Pasar dalam Ekonomi Pancasila
Pakar lain berpendapat, sharing economy hanya kelanjutan dari paradigma ekonomi kapitalistik. Ekonomi ini hanya akan menguntungkan para pemain dominan di sektor teknologi, khususnya ICT. Sampai kini, kedua pandangan itu memang dapat dibuktikan. Sharing economy membawa kebaikan bersamaan dengan masalah-masalah yang dimunculkannya.
Praktik ekonomi berbagi (sharing economy) dalam berbagai pola yang diklaim sebagai bagian penting dari ekosistem perusahaan rintisan (startup) di berbagai sektor (e-commerce, jasa transportasi daring, hingga layanan berbagi lahan parkir) terasa sebagai etos gotong royong dalam masyarakat komunal. Kalau begitu ceritanya, maka para penggiat diklat Pancasila tidak perlu terlalu mencemaskan generasi X, Y, dan Z yang makin tak terjangkau oleh nilai-nilai Pancasila.
Alih-alih seminar atau diklat kepancasilaan yang belakangan tidak terlalu berhasil, mungkin yang perlu dilakukan hanyalah mencemplungkan mereka (dengan dukungan yang terukur dari lembaga terkait) sepenuhnya ke dalam ekosistem kewirausahaan rintisan (startup). Dengan begitu, etos saling membantu, saling meringankan beban sesama, saling meminjamkan, akan kembali menjadi napas dalam hidup keseharian kita di Indonesia....
Damhuri Muhammad, Pekerja Seni, Pengajar Filsafat Fakultas Sastra Universitas Darma Persada Jakarta