Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Cipta Kerja harus diperbaiki dalam batas waktu dua tahun. Jika tidak berhasil diperbaiki, UU ini akan menjadi inkonstitusional permanen.
Oleh
GUNAWAN
·4 menit baca
Pada Kamis, 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan perkara pengujian formil Undang-Undang Cipta Kerja. Di persidangan pengujian formil di MK, yang diuji adalah proses pembentukan UU Cipta Kerja. MK memutuskan bahwa pembentukan UU Cipta bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.
Putusan MK tersebut membuktikan bahwa pertama, omnibus law sebagai metode, tahapan pembentukan UU Cipta Kerja, dan cara pelibatan partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja tidak berlandaskan tertib hukum atau cacat formil. Kedua, MK tidak di bawah bayang-bayang presiden dan DPR sehingga berdasarkan proses persidangan memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Ketiga, pilihan gerakan rakyat untuk membela hak-hak konstitusional rakyat yang dilanggar dalam proses politik legislatif dapat dilakukan melalui MK adalah tepat sehingga momentum konsolidasi demokrasi tetap terjaga. Bahkan, ini dapat menjadi yurisprudensi karena inilah kali pertama uji formil dikabulkan oleh Majelis Hakim MK. Di MK selama ini pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional rakyat, lebih banyak dilakukan melalui pengujian materiil, atau menguji materi yang diatur di dalam undang-undang.
Frasa inkonstitusional secara bersyarat jika meninjau pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim MK seharusnya dimaknai sebagai berikut.
Pertama, UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam batas waktu dua tahun. Jika tidak berhasil diperbaiki, akan menjadi inkonstitusional permanen.
Kedua, meskipun putusan Majelis Hakim MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku, tidak bisa diartikan bahwa perbaikan dan pelaksanaan UU Cipta Kerja bisa dilaksanakan dalam tenggang waktu dua tahun. Hal ini berdasarkan Majelis Hakim MK yang menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Hal ini menunjukkan bahwa fokusnya adalah perbaikan UU Cipta Kerja.
Ketiga, perbaikan UU Cipta kerja juga tidak bisa hanya berupa revisi sederhana. Karena yang diuji di MK adalah formil, ketika pembentukan UU Cipta kerja cacat formil, perbaikan UU Cipta Kerja harus dilakukan pada keseluruhan tahapan pembentukan undang-undang yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Perbaikan UU Cipta kerja juga tidak bisa hanya berupa revisi sederhana.
Hal yang harus digarisbawahi di sini adalah bahwa perbaikan tersebut menyangkut landasan hukum omnibus law, yang berarti harus ada perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Keberadaan Naskah Akademik sebagai landasan perbaikan UU Cipta Kerja; perbaikan materi UU Cipta Kerja dengan mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat, dan keterlibatan partisipasi publik dalam tahapan pembentukan undang-undang.
Keempat, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa keterlibatan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berupa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, yaitu hak rakyat untuk didengar pendapatnya; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Prasyarat partisipasi masyarakat yang lebih bermakna bisa disebut sebagai penemuan hukum dari Majelis Hakim MK sebagaimana sebelumnya Majelis MK telah melakukan penemuan hukum tentang tolok ukur sebesar-sebesar kemakmuran rakyat (putusan perkara pengujian materiil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), dan pengertian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan bagi rakyat (putusan perkara pengujian materiil UU Perjanjian Internasional). Beberapa penemuan hukum tersebut seharusnya dijadikan pedoman dalam pembentukan kebijakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, serta tolok ukur kebijakan strategis pemerintah.
Materi UU Cipta Kerja mengatur permasalahan sumber-sumber agraria atau sumber daya alam, maka pertanggungjawabannya untuk sebesar-besar kemakuran rakyat haruslah merujuk pada tolok ukur atau indikator kemakmuran rakyat diputuskan Majelis Hakim MK, yaitu (1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Meskipun frasa berdampak luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat kaitannya dengan beban keuangan negara dan pembentukan atau perubahan undang-undang lahir dari putusan pengujian UU Perjanjian Internasional, frasa sebagaimana tersebut di atas dapat dijadikan tolok ukur tindakan/kebijakan strategis pemerintah dan berdampak meluas dalam putusan UU Cipta Kerja. Apalagi secara materi UU Cipta Kerja melakukan perubahan UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Pangan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dituntut untuk diubah.
Prosedur demokrasi
Sebelumnya prosedur demokrasi dipergunakan untuk liberalisasi perekonomian, agraria, pertanian, pangan, dan ketenagakerjaan, di mana banyak undang-undang yang melandasi liberalisasi tersebut dinyatakan inkonstitusional lewat uji materi di MK. Dalam kasus pembentukan UU Cipta, prosedur demokrasi sekalian dilanggar.
Putusan MK pengujian formil UU Cipta Kerja dapat menjadi pedoman konstitusionalitas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan demokrasi berkedaulatan rakyat dalam negara hukum.
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, maka hasil dari perjuangan konstitusional gerakan rakyat berupa putusan-putusan MK terkait konstitusionalitas pembentukan peraturan perundang-undangan, dan konstistusionalitas hak-hak rakyat, perekonomian nasional, dan sumber sumber agraria harus menjadi landasan kerja bagi pemerintah/Pemda, DPR/DPRD, dan pengadilan.
Gunawan
Pemohon Uji Formil UU Cipta Kerja, Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) dan KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga), serta Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)