Vonis inkonstitusional bersyarat yang memperbolehkan UU Cipta Kerja berlaku selama dua tahun sampai ada perubahan dan disahkan menunjukkan Mahkamah Konstitusi belum berani memaksimalkan penggunaan yudisialisasi politik.
Oleh
AZEEM MARHENDRA AMEDI
·5 menit baca
Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang menuai kontroversi di kalangan masyarakat, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari hasil pengujian formal undang-undang tersebut. Terlepas dari bagaimana hasil yang diputuskan, MK semestinya dapat lebih berani dan memiliki pendirian lebih teguh ketika berhadapan dengan perkara yang sarat akan unsur politik ini.
Mengapa perkara pengujian formal UU Cipta Kerja ini sarat akan politik? Pertama, pengujian formal ini tidak hanya berkaitan dengan prosedur hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan saja, tetapi proses politik dalam merancang undang-undang itu.
Oleh karena itu, perkara pengujian formal UU Cipta Kerja ini dapat dikategorikan sebagai perkara judicialization of politics (yudisialisasi politik). Menurut Ran Hirschl, yudisialisasi politik adalah masuknya kekuasaan hukum untuk mengatur proses politik, yang dalam hal ini pengadilan memiliki kekuatan untuk menata proses politik tersebut.
Kedua, perkara ini dimaksudkan untuk menata ulang pembuatan kebijakan publik, yang dalam konteks ini adalah pada rangka perancangan UU Cipta Kerja. Prosedur pembentukan undang-undang yang melalui proses politik di DPR ditata ulang oleh MK untuk menjamin dipatuhinya UUD 1945, terlebih soal keadilan prosedural masyarakat yang kurang dilibatkan dalam pembahasan dan minimnya transparansi selama perumusan. Penataan proses pembuatan kebijakan ini adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari yudisialisasi politik, dan MK berwenang untuk memastikan proses yang dijalankan sesuai dengan konstitusi.
Ketiga, karena UU Cipta Kerja sangat berpengaruh bagi banyak elemen di skala nasional, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat secara umum, maka perlu ada jaminan konstitusional pada setiap prosesnya. Tidak hanya dalam konteks materi undang-undang saja, tetapi bagaimana undang-undang itu dibentuk dan dilaksanakan. Pada tahap pengujian formal UU Cipta Kerja lalu, MK belum melihat secara penuh implikasi konstitusional ketika pembentukan undang-undang tersebut.
Belum maksimal
Jatuhnya vonis inkonstitusional bersyarat yang masih tetap memperbolehkan UU Cipta Kerja berlaku selama dua tahun sampai ada perubahan yang dilakukan dan disahkan menunjukkan MK belum berani untuk memaksimalkan penggunaan yudisialisasi politik. Putusan tersebut telah dibuktikan bahwa terdapat inkonstitusionalitas pada tahap perancangan dan pembahasan undang-undang itu, seperti minimnya partisipasi masyarakat dan transparansi dari proses pembahasan UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tentang kedaulatan di tangan rakyat. Sayangnya, MK belum dapat melihat benang merah korelasi antara proses pembentukan dan materi muatan suatu undang-undang.
Seharusnya, MK memberikan ketegasan berupa membebankan kewajiban untuk DPR dan Presiden membuka partisipasi seluas-luasnya atau menata ulang kembali proses pembentukan undang-undang di DPR yang dinilai paling konstitusional menurut MK. Sebab jika MK tidak memberikan arahan seperti apa tahap yang konstitusional, maka undang-undang yang nanti dibentuk dan disahkan tidak bernapaskan konstitusi.
Seharusnya, MK memberikan ketegasan berupa membebankan kewajiban untuk DPR dan Presiden membuka partisipasi seluas-luasnya.
Hal ini bukan melakukan intervensi kekuasaan, melainkan untuk menjamin checks and balances serta memastikan proses politik tetap pada jalur yang konstitusional. Menurut Hans Kelsen, ketika tindakan atau kebijakan yang dihasilkan oleh pejabat negara tidak bernapaskan hukum, maka hasilnya tidak akan bernapaskan hukum, sehingga dengan tidak adanya karakter tersebut harus menjadi batal demi hukum.
Apabila MK juga lebih berani dalam memutus perkara yudisialisasi politik, MK dapat menggunakan judicial activism lebih baik ketimbang judicial restraint, terutama pada perkara-perkara yang sarat akan unsur sosial-politik seperti UU Cipta Kerja lalu. Kembali lagi pada fakta-fakta yang telah dinyatakan pada paragraf-paragraf sebelumnya, bahwa proses pembentukan undang-undang adalah proses politik dan belum tentu produk dari proses politik memiliki karakter yang demokratis dan sesuai dengan konstitusionalisme. Pada tahap inilah semestinya MK dapat memaksimalkan judicial activism demi menjamin penggunaan kekuasaan legislasi dimanfaatkan secara demokratis pula.
Keberadaan empat hakim konstitusi yang menjadi suara terbanyak pada pengambilan keputusan terhadap perkara pengujian UU Cipta Kerja–Hakim Saldi Isra, Hakim Enny Nurbaningsih, Hakim Suhartoyo, dan Hakim Wahiduddin Adams–dapat menjadi secercah harapan untuk digunakannya judicial activism secara tepat pada konteks yang tepat pula. Mereka berhasil melihat bahwa kekuasaan politik pembentukan undang-undang dimanfaatkan tak sesuai UUD, tetapi belum dapat menghasilkan keputusan yang konsisten dan tegas terhadap pelanggaran itu.
Meski para hakim konstitusi tersebut belum secara penuh menggunakan aktivisme tersebut dan pendekatan mereka masih legalistik, diharapkan pada perkara yudisialisasi politik selanjutnya empat hakim tersebut mampu menjadi breakthrough di masa mendatang. Karena persoalan ketatanegaraan tidak hanya dapat diselesaikan dengan pengetahuan akan hukum saja sebab aspek-aspek sosial-politik lainnya akan sangat berkelindan dengan setiap isu ketatanegaraan.
Korelasi kuat antara aspek hukum serta aspek-aspek sosial-politik lainnya pada suatu persoalan ketatanegaraan inilah yang mendorong MK secara lembaga harus dapat melihat sebuah isu melebihi pandangan legalistik saja. Setiap pengujian undang-undang, terutama yang berkaitan dengan formalitas sebuah undang-undang, tidak berhenti pada apa yang telah tersedia di meja pengadilan, tetapi harus ada keaktifan dari para hakim konstitusi untuk menelisik permasalahan hingga ke akar-akarnya. Dalam hal ini berarti harus diselidiki apakah kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan sudah benar-benar sesuai dengan konstitusi atau belum. Kepatuhan terhadap prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dan terwakilinya kedaulatan rakyat harus menjadi indikator dalam pengujian perkara yudisialisasi politik ke depan.
Perkara pengujian UU Cipta Kerja lalu wajib menjadi bahan pelajaran tidak hanya kepada DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang yang konstitusional, tetapi juga pada MK untuk lebih tegas dan tak ragu menjalankan judicial activism pada kasus yang kental akan unsur politik. Adanya hakim-hakim yang mulai menjadi legalist heroes dalam hal ini harus dapat lebih berani menggunakan secara penuh kekuatan mereka sebagai penjaga UUD 1945, yang berarti wajib memastikan pelaksanaan prinsip demokrasi konstitusional dipatuhi pada segala aspek bernegara, terutama dalam politik hukum. MK tidak akan pernah lepas dari persoalan politik, maka tidak boleh ragu dalam mengatur kekuasaan politik untuk kembali pada jalur konstitusi.
Azeem Marhendra Amedi, Department of Politics and Social Change, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia