Menyoal Keberadaan Satgas BLBI dalam Upaya Penegakan Hukum
Satgas BLBI menjalankan tugas atas dasar atribusi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Kewenangan Satgas BLBI yang besar ini diharapkan tetap dalam koridor UU dalam kerangka penegakan hukum yang menghargai HAM.
Presiden Joko Widodo telah membentuk Satgas BLBI melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Tujuan pembentukan keppres ini untuk mengembalikan uang negara yang telah diberikan dan digunakan para obligor dan debitor dana talangan pemerintah, termasuk BLBI. Tak pelak lagi, nama-nama obligor/debitor kakap muncul kembali di permukaan, kepada mereka dimintakan pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajibannya mengembalikan uang negara yang telah diberikan dan digunakan tersebut, masing-masing pihak telah ditetapkan jumlah tertentu sebagai sisa kewajibannya yang harus dibayar kepada negara.
Bagi publik, pembentukan satgas ini, apa pun sosok dan tindakannya, tidak banyak yang mempersoalkannya karena bagi mereka pengembalian uang negara adalah hal prioritas dan positif bagi masyarakat, apalagi negara sedang dalam kesulitan akibat pandemi dengan beban utang negara yang semakin menggila. Bagi publik, para obligor/debitor itu distigmakan sebagai pengemplang dana BLBI yang ”nakal” sehingga sudah sepantasnya bertanggung jawab penuh atas penggunaan uang negara tersebut.
Baca juga: Satgas BLBI Bakal Dibekali Regulasi untuk Batasi Hak Keperdataan Obligor
Kewenangan atributif presiden
Pembentukan Keppres Satgas BLBI didasarkan pada kewenangan atribusi Presiden yang diskretif sebagai kepala pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 dan Tap MPR Nomor X/MPR/2001. Atas dasar atribusi diskretif ini, Satgas BLBI diberikan kewenangan untuk mengambil segala tindakan apa pun, termasuk terobosan-terobosan yang diperlukan untuk menagih sisa piutang negara dari para obligor dan debitor dengan melibatkan seluruh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan instansi pemerintah pusat sampai daerah, termasuk Polri dan kejaksaan.
Tentu saja ini kewenangan yang sangat besar dan ekstensif yang dimiliki Satgas BLBI. Atas nama Presiden, satgas BLBI dapat melakukan tindakan apa pun yang diperlukan.
Dengan kewenangan yang sangat besar ini, semestinya tidak hanya menakutkan bagi para obligor dan debitor BLBI, tetapi juga menakutkan bagi dunia penegakan hukum kita pada umumnya di Tanah Air. Potensi pelanggaran hak-hak sipil, ekonomi, sosial, politik, serta hukum dapat saja terjadi. Hal ini dimungkinkan karena keppres Satgas BLBI ini dibentuk tidak didasarkan pada asas pembentukan keputusan atau peraturan perundang-undangan yang baik, terutama terkait dengan asas kejelasan tujuan dan rumusan, asas keadilan dan kepastian hukum.
Baca juga: Menanti Strategi Satgas BLBI Buru Rp 110 Triliun Dalam 2,5 Tahun
Misalnya, rumusan tidak jelas terkait dengan upaya dan terobosan seperti apa yang bisa diambil oleh Satgas BLBI. Artinya, Satgas BLBI ini hanya diberikan kewenangan yang besar tanpa diberi pijakan hukum dan pedoman operasionalnya sehingga bisa suka-sukanya. Satgas bahkan bisa saja tidak hanya membatasi, tetapi melanggar hak-hak keperdataan warga negara.
Faktanya sudah terjadi, Satgas BLBI bisa bertindak sebagai penyidik, panggil sana panggil sini, siapa pun bisa dipanggil. Jika obligor dan debitor dipanggil tidak datang, anak atau cucunya sekalian bisa dipanggil karena dianggap ikut terlibat atau ikut menikmati hasil kemplangan BLBI.
Bahkan, pemanggilan bisa dilakukan melalui media massa dan diumumkan kepada publik. Apabila tidak datang dengan alasan dan/atau tanpa alasan, dianggap tidak koperatif, aset-asetnya akan disita (sebagaimana yang sudah terjadi dengan penyitaan aset Tommy Soeharto, Texmaco, dll).
Bagi obligor/debitor mungkin sudah terbiasa karena sudah kenyang dengan tekanan sejak BPPN dulu. Namun bagi anak cucu obligor/debitor yang memiliki hidup dan membangun bisnis sendiri, bahkan yang tidak tahu-menahu soal kemplangan BLBI, tentu saja sangat tidak nyaman, bahkan bisa melanggar hak asasi mereka, hak sipil, hak hidup, hak sosial ekonomi, dan hukumnya.
Menurut hemat penulis, kewenangan atribusi Presiden menurut Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 cenderung menjadi kewenangan diskresi Presiden. Kenapa demikian, karena kewenangan atributif yang diberikan ini lebih bersifat diskretif dari Presiden sebagai kepala pemerintahan ketimbang kewenangan terikatnya (gebonden bevoegdheid).
Baca juga: Tantangan Pengembalian Aset Luar Negeri Perkara BLBI
Sifat dari kewenangan bebas Presiden ini memang lebih mengedepankan tujuan (doelstelling) dan kebijakan (beleid) ketimbang sekadar melaksanakan undang-undang (wetmatigheid van bestuur). Namun, pelaksanaan kewenangan bebas ini harus dilandasi dalam koridor kepentingan umum yang menghormati supremasi hukum dan prinsip-prinsip negara hukum.
Untuk itulah kenapa Presiden dan juga para pejabat pemerintahan di bawahnya diharapkan tidak menggunakan kewenangan bebasnya apabila kewenangan terikat masih ada melalui atribusi, delegasi, dan mandat untuk melaksanakan undang-undang, kecuali untuk hal yang tidak atau belum diatur. Artinya, apabila kewenangan terikat masih mampu mencapai tujuan, tidak perlu menggunakan kewenangan bebasnya.
Apabila kewenangan terikat masih mampu mencapai tujuan, tidak perlu menggunakan kewenangan bebasnya.
Bagaimana dengan Keppres Satgas BLBI? Menurut penulis, penanganan hal tagih negara atas dana talangan, termasuk dana BLBI, masih dapat menggunakan upaya hukum keperdataan dan pidana yang sudah ada peraturan perundang-undangannya. Tidak perlu menggunakan kewenangan atribusi Presiden yang diskretif dan berpotensi abuse of power dan sewenang-wenang (willekeur).
Tanggung jawab negara
Dalam konsiderans ”menimbang” dari Keppres Satgas BLBI, disebutkan bahwa akibat krisis keuangan 1997, pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan dana talangan kepada korporasi dan perseorangan untuk mengatasi krisis keuangan saat itu. Alhasil, kebijakan pemberian dana talangan, termasuk BLBI tersebut, paling tidak telah menyelamatkan perekonomian dan keuangan negara saat itu.
Selanjutnya, upaya pengembalian atau pemulihan Dana BLBI dari para obligor dan debitor telah dilaksanakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Setelah BPPN berakhir tugasnya, segala harta kekayaan BPPN diserahkan pengelolaannya kepada Kementerian Keuangan.
Kinerja BPPN meninggalkan banyak persoalan karena banyak aset obligor dan debitor yang saat itu dinilai sangat rendah sehingga tidak cukup untuk mengembalikan uang negara.
Kinerja BPPN meninggalkan banyak persoalan karena banyak aset obligor dan debitur yang saat itu dinilai sangat rendah sehingga tidak cukup untuk mengembalikan uang negara. Itulah yang menimbulkan hak tagih negara atas sisa piutang negara yang menjadi tugas Satgas BLBI saat ini. Sejak Tugas BPPN berakhir 2004 kemudian dialihkan ke Kementerian Keuangan cq Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), penanganan sisa piutang negara ini tidak kunjung selesai.
Ini artinya negara ikut bertanggung jawab atas krisis keuangan tahun 1997, baik dampak positif maupun negatifnya. Positifnya jelas kebijakan pemberian dana BLBI sebagai sebuah kebijakan telah berhasil menyelamatkan perekonomian dan keuangan negara saat itu. Negatifnya, pemberian dana BLBI tersebut penggunaannya sebagian tidak sesuai dengan peruntukkannya sehingga terindikasi pelanggaran terhadap undang-undang perbankan dan peraturan perundang-udangan lainnya.
Namun, di balik itu semua para obligor dan debitor tersebut harus diakui ikut andil di dalam menyelamatkan perekonomian dan keuangan negara saat itu. Persoalan penyalahgunaan dana BLBI tersebut tentu saja bukan hanya para obligor dan debitor yang bertanggung jawab, melainkan negara harus ikut juga bertanggung jawab karena tidak adanya kontrol kuat negara atas penggunaan dana talangan termasuk dana BLBI saat itu.
Baca juga: Satgas BLBI Telah Sita 1.312 Hektar Lahan dan Bukukan Rp 313,9 Miliar
Mengenai penggunaan dana talangan yang sebagian menyimpang dari peruntukannya telah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah diajukan ke Pengadilan Tipikor atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung eks Ketua BPPN. Sementara kasus BLBI yang melibatkan salah satu obligor BLBI, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, telah dihentikan KPK sebagai imbas dari putusan lepas Syafrudin Tumenggung.
Dalam putusan lepas Syafrudin Tumenggung dinyatakan, perbuatan terbukti tetapi bukan perbuatan pidana. Ini artinya negara kita menghargai dan menghormati due process of law yang berjalan dengan segala hasil-hasilnya tidak terkecuali KPK yang telah menggunakan haknya untuk menghentikan sebuah proses penyidikan terhadap salah satu obligor sebagaimana dijelaskan di atas.
Negara melalui Kementerian Keuangan saat ini menyatakan berhasil mengembalikan uang negara sekian ratus miliar berupa aset dari para obligor/debitor. Masih ada sekian triliunan rupiah lagi yang mesti dikejar padahal waktu yang diberikan kepada Satgas BLBI tinggal dua tahun lagi ke depan.
Dalam waktu yang demikian singkat, Satgas BLBI diberi tanggung jawab yang begitu berat untuk mengembalikan sekian triliunan uang negara dari para obligor/debitor. Bagaimana tidak kelabakan, tanpa pijakan hukum dan operasional yang jelas, seperti belum adanya UU Perampasan Aset, tentu saja segala macam cara bisa dilakukan, termasuk potensi pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca juga: Menyelesaikan Skandal BLBI
Tanggung jawab negara sebenarmya yang diinginkan publik adalah pemberian keadilan kepada masyarakat, tidak saja tindakan tegas kepada para obligor/debitor yang tidak koperatif, tetapi juga Satgas tetap mengedepankan penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena negara ikut andil dalam pemberian dan penggunaan dana BLBI tersebut. Keadilan yang ditunggu dari negara bukan melalui diskresi yang ”berlebihan”, melainkan melalui tindakan yang terukur, adil, dan tidak melanggar hukum, juga tegas dan beradab.
Apa pun yang terjadi, Keppres Satgas BLBI telah terbit dan Satgas BLBI telah menjalankan tugas-tugas atas dasar atribusi Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tugas masyarakat dan para pemerhati hukum saat ini adalah melakukan kontrol publik atas segala upaya/langkah dan terobosan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh Satgas BLBI ke depan.
Kita berharap pelaksanaan kewenangan yang besar dari Satgas BLBI tetap dalam koridor undang-undang dalam kerangka penegakan hukum yang menghargai hak-hak asasi manusia dari semua pihak yang terlibat dalam urusan penanganan hak tagih negara dari sisa piutang negara akibat pemberian dana BLBI ini.
Amir Syamsudin, Mantan Menteri Hukum dan HAM RI