Pidana nihil memunculkan kontroversi secara sosiologis. Kenapa vonis tak sama saja dengan hukuman seumur hidup dalam artian sosiologis. Namun, terlepas aspek pidana, pengembalian kerugian negara harus menjadi hal utama.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Vonis hakim Pengadilan Korupsi atas nama terdakwa Heru Hidayat menimbulkan kontroversi. Heru dituntut mati oleh jaksa, tetapi dijatuhi pidana nihil oleh hakim.
Dalam vonis yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu 19 Januari 2022, hakim menjatuhkan pidana nihil terhadap Heru. Ada dua alasan yang disampaikan hakim. Jaksa tidak mencantumkan Pasal 2 Ayat 2 UU Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, majelis menolak tuntutan itu karena jaksa menuntut pasal di luar yang didakwakan. Rasanya jaksa perlu menjelaskan pertimbangan hakim itu.
Alasan kedua, Heru adalah terpidana yang sudah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus Asuransi Jiwasraya. Hukuman itu mencapai hukuman maksimal yang dibolehkan undang-undang sehingga hakim menjatuhkan hukuman nihil. Meski pidana nihil, Heru tetap bersalah dan harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp 12,6 triliun.
Pengertian pidana nihil bisa berbeda. Nihil berarti bebas dari pidana dalam kasus korupsi Asabri terlepas apa pun pertimbangan hukumnya. Atau nihil karena Heru, Presiden Komisaris Trada Alam Minerba, sudah divonis seumur hidup dalam kasus Asuransi Jiwasraya. Putusan kasus Jiwasraya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari kacamata awam, muncul pertanyaan bagaimana mungkin Heru yang dalam kasus Jiwasraya divonis seumur hidup, sementara di Asabri yang juga skala korupsi dan kerusakannya hampir sama divonis pidana nihil. Hakim bisa saja mengaitkan vonis nihil dengan vonis kasus asuransi Jiwasraya. Namun, bagaimana kalau dalam kasus Jiwasraya, terdakwa mengajukan PK setelah konstelasi hukum dan politik berubah, dan kemudian hukumannya berubah pula.
Kita tak ingin mencampuri domain kekuasaan kehakiman yang menurut konstitusi merdeka dari pengaruh kekuasaan apa pun, termasuk kapital. Putusan hakim diambil dengan irah-irah, ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Para hakim mengambil putusan atas nama Tuhan.
Kita berharap hakim itu bisa menangkap rasa keadilan publik yang mungkin terluka karena korupsi yang begitu masif. Hakim adalah officium nobile (profesi yang mulia) yang seyogianya bisa menyelami rasa keadilan masyarakat atas maraknya korupsi elite. Palu hakim bisa digunakan untuk membantu negeri ini agar tidak terperosok dalam sumur korupsi. Gurita korupsi bahkan telah menyentuh anak-anak muda seperti terjadi dalam kasus Bupati Penajam Paser Utara.
Ketika hakim hanya memeriksa berkas perkara, hakim bisa saja gagal menangkap jeritan publik beratap korupsi telah menyengsarakan bangsa. Perlu hukuman berat bagi pelaku korupsi. Hukuman mati dibenarkan secara undang-undang, tetapi keyakinan hakimlah yang menentukan.
Pidana nihil memang memunculkan kontroversi secara sosiologis. Kenapa vonisnya tidak sama saja dengan hukuman seumur hidup dalam artian sosiologis. Namun, terlepas aspek pidana, pengembalian kerugian negara harus menjadi yang utama.