Harbuknas Versus Harbolnas
Hari Buku Nasional setiap 17 Mei yang bertujuan mendekatkan masyarakat dengan buku dan meningkatkan minat baca, kalah pamor dengan Harbolnas. Perlu dukungan infrastruktur perbukuan agar masyarakat sadar pentingnya buku.
Kira-kira seberapa akrabkah masyarakat kita dengan Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei? Sebuah penelitian khusus tentu dibutuhkan untuk mendapatkan jawaban berskala nasional. Namun, untuk skala yang lebih kecil, saya bisa memberikan jawabannya.
Bagi masyarakat sekitar tempat tinggal saya, Hari Buku Nasional (Harbuknas) adalah sesuatu yang asing. Sebaliknya, hari peringatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan masyarakat Indonesia dengan buku dan meningkatkan minat baca ini kalah pamor dengan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas). Setidaknya, itulah fakta yang saya temukan dalam acara silaturahmi Lebaran baru-baru ini.
Saya iseng mengajak para tetangga yang bertamu ke rumah untuk sedikit mengobrol tentang buku. Kebetulan, bulan Mei adalah bulannya Hari Buku Nasional dan saya seorang penulis. Kebetulan lainnya, jejeran rak buku yang ada di ruang perpustakaan saya, yang terlihat dari ruang tamu, mesti selalu mendapat komentar dari para tamu.
Dari obrolan itulah saya menyadari bahwa masyarakat di lingkungan saya ternyata lebih mengenal Harbolnas daripada Harbuknas. Fakta yang mengingatkan saya kepada sejarah kelahiran Hari Buku Nasional 20 tahun lalu.
Baca juga: Ekosistem Perbukuan Nasional
Minim infrastruktur perbukuan
Pentingnya buku bagi kehidupan manusia tidak diragukan lagi. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan, album sejarah, pusat impian, imajinasi dan harapan manusia. Ialah monumen kehidupan. Itulah mengapa Sartre, dalam karyanya Kata-kata, menganggap buku sebagai benda sakral. Ia tidak hanya bisa melahirkan perpustakaan, tetapi juga kesadaran manusia, bahkan peradaban dunia.
Pada 17 Mei 1980, Republik Indonesia akhirnya mempunyai sebuah Perpustakaan Nasional. Ironisnya, kesadaran akan pentingnya buku—jika bisa dikatakan demikian—baru mencapai puncaknya dua puluh dua tahun setelah gedung Perpustakaan Nasional itu berdiri atau tepatnya pada tahun 2002.
Berawal dari munculnya sederet angka hasil riset UNESCO yang menunjukkan satu fakta memalukan. Negara ini ternyata mempunyai masalah tingkat literasi rendah. Itulah saat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kala itu menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional.
Tentu saja ada banyak harapan yang tertebar seiring kelahiran Harbuknas. Lewat Harbuknas, Mendiknas berharap bisa mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang akrab dengan budaya lisan menjadi dekat dengan buku. Adapun komunitas pencinta literasi berharap Harbuknas bisa meningkatkan minat baca masyarakat. Sementara itu, para penerbit buku mendambakan bisa menjual buku sebanyak mungkin pada hari peringatan ini serupa larisnya cokelat pada Hari Kasih Sayang. Lantas, bagaimana kabar masyarakat Indonesia setelah 20 tahun diberkahi dengan peringatan Hari Buku Nasional ini?
Ungkap hasil riset UNESCO terbaru dan hasil riset organisasi lainnya, tingkat literasi masyarakat Indonesia belum terdongkrak cukup tinggi alias masih rendah. Saya mengamati, buku masih berjarak sangat jauh dari masyarakatnya. Ia masih tetap dianggap eksklusif, sekalipun sebagai bahan obrolan umum.
Kata tetangga-tetangga saya, lebih baik membicarakan tentang belanja online daripada buku, membahas Harbolnas daripada Harbuknas. Pada titik ini, ujaran Karl Marx bahwa lingkungan seseorang menentukan kesadarannya terbukti benar. Bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat mendadak sadar tentang pentingnya arti buku jika kesadaran atas hal tersebut tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya?
Bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat mendadak sadar tentang pentingnya arti buku jika kesadaran atas hal tersebut tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya?
Saya tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Hanya ada satu toko buku lumayan besar di kota ini. Sayangnya, sebagian besar jualannya adalah buku-buku pelajaran. Jika koleksi buku-buku pelajaran rutin diperbarui, buku-buku fiksi dan nonfiksi yang ada di toko ini dibiarkan telantar lama hingga berdebu.
Kendati minim toko buku, kota tempat tinggal saya mempunyai sebuah perpustakaan besar kebanggaan. Perpustakaan ini bertempat di sebuah gedung megah di pusat kota. Sayangnya, perpustakaan ini berjarak lumayan jauh dari tempat tinggal saya. Namun, jika pun berkesempatan mengunjunginya, perpustakaan ini tidak menawarkan suasana yang kondusif untuk membaca buku. Perpustakaan ini lebih sering dijadikan sebagai obyek wisata turis dan tempat berfoto bagi pengunjung yang gemar mengobrol.
Sebenarnya pula, ada sebuah perpustakaan yang berdiri tidak terlalu jauh dari lingkungan tempat tinggal saya. Koleksi buku perpustakaan itu hanya seluas gedungnya yang selebar peti kemas ukuran truk, berbanding terbalik dengan halamannya yang luas. Terlepas dari posisinya yang terletak di tepi jalan besar, perpustakaan kecil yang tidak menarik ini selalu sepi. Tidak hanya sepi dari pengunjung, tetapi juga sepi dari penanda atau hiasan eksterior pemikat mata. Meniru minimarket, pintu perpustakaan berpendingin ini mestilah tertutup rapat. Sebuah kondisi yang membuatnya kian terasa eksklusif.
Eksklusivitas buku dan merakyatnya internet
Eksklusivitas buku, yang menulari perpustakaan, adalah sesuatu yang tidak terlalu banyak berubah sejak dahulu. Kondisi ini diperparah ketika kemajuan teknologi membawa internet ke dalam kehidupan manusia. Di hadapan internet yang selalu bergerak, penuh warna dan suara, barisan huruf dan rumpun kata-kata dalam lembar demi lembar halaman buku seakan hanya menawarkan kebosanan ala televisi hitam putih.
Seolah mendapat dukungan semesta, pandemi Covid-19 kemudian datang berkunjung. Sejak itu, orang-orang mesti menjalani kehidupan baru yang lebih terbatas di dalam rumah, tetapi memiliki lebih banyak waktu luang. Alih-alih membaca buku, banyaknya waktu luang yang ada justru lebih sering digunakan untuk menonton televisi, bermain internet, atau berbelanja online.
Alih-alih membaca buku, banyaknya waktu luang yang ada justru lebih sering digunakan untuk menonton televisi, bermain internet, atau berbelanja online.
Inilah alasan mengapa para tetangga saya lebih mengenal Hari Belanja Online Nasional yang lahir belakangan daripada Hari Buku Nasional. Hanya bermodal ponsel dan sinyal internet, entah sambil rebahan di tempat tidur atau bersandar di sofa, mereka bisa mengakrabkan diri dengan pusat-pusat pertokoan online yang menjamur. Toko-toko modern yang lebih banyak menawarkan perabot kebutuhan rumah tangga dan kosmetik, makanan dan minuman, pakaian dan mainan, hingga perangkat teknologi, dibandingkan buku.
Lihat pula betapa semangat toko-toko online tersebut berbagi tawaran menarik demi menyambut perayaan belanja virtual akbar nasional. Iklan-iklan mereka tidak hanya ada di tepi jalan, tetapi tersebar pula di berbagai media massa dan mondar-mandir di beranda-beranda sosial media. Perayaan Harbolnas yang sedemikian meriah tidak pernah terjadi pada Harbuknas.
Jadi, bukan salah tetangga-tetangga saya yang kaget saat mendengar bahwa ternyata ada hari peringatan di Indonesia yang disebut Hari Buku Nasional. Bukan pula salah mereka yang tidak habis pikir mengapa buku mesti diperingati sedemikian rupa, padahal ia hanya sebuah benda yang terbuat dari kertas.
Baca juga: Kecakapan Membaca dan Implikasinya di Era Informasi
Dengan kesadaran semacam ini, jelas sudah mengapa masalah literasi masyarakat kita sulit terpecahkan. Program-program gerakan membaca yang berujung pada suatu target pencapaian yang ketat atau tidak dilakukan secara berkesinambungan tidak akan banyak membantu. Program-program semacam itu malah tampak serupa penjejalan yang justru membuat kegiatan membaca lebih serupa tugas yang mesti dikerjakan dan buku adalah sumber beban.
Untuk membuat seseorang mau membaca, buatlah dia memahami mengapa dia harus melakukannya. Untuk membuat seseorang suka membaca, buatlah dia menyukai apa yang dibacanya. ”Jika tak kenal maka tak sayang,” demikian ujar seorang bijak.
Buku pun ingin diperlakukan demikian agar aktivitas membaca tidak lagi terasa berat sebagaimana saat begadang semalam suntuk demi berebut promo belanja murah online jelang Harbolnas. Jika sudah begitu, peringatan Hari Buku Nasional mestilah akan terasa berbeda.
Anindita S Thayf, Novelis dan Esais