Histeria Keramaian dan Jurang Kemiskinan
Pelonggaran pembatasan sosial memperlihatkan jurang antara si miskin dan si kaya. Jika bagi warga miskin, ini saatnya bisa keluar rumah lagi untuk mencari nafkah. Bagi warga kaya, ini saatnya bersukaria di luar rumah.
”Sebenarnya saya enggakmau (mencuri), tetapi kasihan sama anak istri belum makan. Anak ada empat,” begitu pengakuan Oma (30 tahun) sebagaimana dikutip kompas.com (21/4/2020), salah satu karyawan korban PHK di masa pandemi Covid-19, yang babak belur dihajar massa setelah nekat mencuri tabung gas di sebuah warung kelontong.
Tiga minggu setelah ia kehilangan pekerjaan, sering terjadi cekcok ringan antara Oma dan istrinya. Oma terus-menerus didesak untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan dapur. Apabila Oma pulang dengan tangan hampa, istrinya mencak-mencak. Itulah yang membuat ia nekat.
Peristiwa yang terjadi Kampung Cimanglit, Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 17 April 2020 itu satu dari sekian banyak cerita tentang kepayahan hidup di masa pandemi Covid-19, di mana berbagai pembatasan aktivitas keramaian telah membuat pabrik sandal tempat Oma bekerja gulung tikar.
Baca juga: Kemiskinan di Masa Pandemi
Lain Oma lain lagi kisah tragis seorang ibu rumah tangga bernama Yuli Nur Amelia di Serang, Banten. Ibu empat anak yang tinggal di Kelurahan Lontarbaru, Serang itu meninggal pada 20 April 2020. Dua hari sebelum meninggal, Yuli dikabarkan hanya minum air putih. Keluarga kecil yang dihidupi oleh Khalil (petugas pemungut sampah perumahan) itu kelaparan akibat pendapatan harian yang minim.
Petaka Yuli itu mengingatkan kita pada laporan penelitian tentang kemiskinan di wilayah utara Kolombia, bertajuk ”If The Coronavirus Doesn’t Kill Us, Hunger Will”, yang ditulis oleh Claudia Puerta Silva dkk, sebagaimana tersiar di www.berghahnjournals.com (1/12/2020). Inti dari artikel tersebut adalah, jika virus berbahaya itu tidak membunuh mereka (kaum miskin), kelaparan suatu saat akan melakukannya. Tidak saja di kawasan pinggiran Kolombia seperti yang mereka teliti, tetapi juga bisa terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia.
Jika virus berbahaya itu tidak membunuh mereka (kaum miskin), kelaparan suatu saat akan melakukannya.
Oma dan Yuli adalah dua dari 26,4 juta orang miskin di Indonesia sebagaimana tercatat dalam data Badan Pusat Statistik Maret 2020. Pada angka dua digit tersebut, sudah termasuk peningkatan sebesar 1,6 juta orang miskin sejak September 2019. Adapun yang menarik dari angka-angka itu adalah melebarnya jurang ketimpangan miskin dan kaya.
Pada Juli 2021, Credit Suisse, sebuah lembaga keuangan global, menyiarkan data bertajuk ”Global Wealth Databook 2021”, yang menyebut jumlah orang kaya di Indonesia naik sebesar 61,69 persen pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya, sebagaimana dilansir oleh www.katadata.co.id (19/7/2021). Termasuk dalam kategori itu penduduk dengan kekayaan bersih lebih dari 1 juta dollar AS atau Rp 14,5 miliar, yang jumlahnya mencapai 171.740 orang pada tahun 2020. Laporan itu juga menunjukkan jumlah miliuner dunia yang diperkirakan mencapai 56,1 juta orang pada akhir 2020. Angkanya naik 5,2 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketimpangan
Berbeda dengan peruntungan tak mujur Oma dan Yuli, bagi warga kelas menengah di Republik ini, dampak pandemi tidak signifikan. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, penghasilan orang kaya tidak terpengaruh signifikan selama pandemi karena memiliki passive income.
”Mereka terus mengakumulasi kekayaan, mau diam di rumah saja uangnya tetap mengalir. Sementara orang miskin tidak punya aset yang menghasilkan, penerimaan utamanya dari bekerja ke luar rumah,” kata Piter pada www.katadata.co.id (19/7/2020).
Kelas menengah punya kemampuan untuk melindungi aset mereka. Sementara warga miskin, untuk bertahan hidup saja mereka sudah susah.
Ketimpangan yang serius itu juga dibenarkan oleh ekonom Bhima Yudhistira. Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) itu, kelas menengah punya kemampuan untuk melindungi aset mereka. Sementara warga miskin, untuk bertahan hidup saja mereka sudah susah.
Alih-alih punya aset pasif, seorang ayah bernama Ason Sopian di Batam hanya memiliki ponsel rusak yang lantaran terdesak kebutuhan beras guna menghidupi keluarganya mesti ia jual dengan harga sekenanya. Upaya terakhir Ason Sopian, yang tertatih-tatih mencari pembeli ponsel rusak, itu menjadi kabar viral pada awal April 2020 dan karena itu ia mendapatkan banyak simpati.
”Terkadang sedih, tetapi mau gimana lagi. Jangankan untuk biaya sekolah, bisa makan saja sudah sangat beruntung,” kata Ason, ayah lima anak, seperti dikutip oleh kompas.com (17/4/2020).
Bagi orang-orang seperti Oma dan Ason, situasi selepas pelonggaran rupa-rupa pembatasan keramaian dimaklumatkan, barangkali seperti pintu keleluasaan yang telah disingkapkan, agar mereka kembali bertebaran di luar rumah, bekerja serabutan tanpa halangan yang berarti, lalu pulang membawa sedikit harapan guna meredakan cekcok-cekcok ringan lantaran penghasilan yang tak pernah memadai. Itu pun belum tentu bakal menyelamatkan mereka dari kepungan kepayahan hidup yang tak berkesudahan.
Peluang yang tak mudah di masa-masa bebenah (sementara tuntutan dapur tak bisa menunggu) akan menjadi pertaruhan hidup-mati bagi Oma dan Ason. Situasi yang tak memberi banyak pilihan itu setali tiga uang dengan hipotesis sejumlah peneliti dari University of Antioquia, Medellin, Kolombia di atas; If The Coronavirus Doesn’t Kill Us, Hunger Will.
Bagi kelas menengah, maklumat pelonggaran itu seperti pertanda ‘masuknya waktu berbuka’ dari kesuntukan karena dua tahun lebih mengurung diri di rumah.
Sementara bagi kelas menengah, maklumat pelonggaran itu seperti pertanda ”masuknya waktu berbuka” dari kesuntukan karena dua tahun lebih mengurung diri di rumah untuk kembali bergentayangan di alam terbuka. Tengok saja linimasa media sosial. Pose-pose makan siang di restoran mewah, antrean sesak kendaraan pribadi di pintu-pintu tol menuju luar kota, selfie di cafe atau ballroom hotel berbintang, bahkan di kerumunan konser musik, telah kembali cetar membahana, membanjiri dunia maya. Pose-pose penuh kegembiraan itu ditegaskan pula dengan kalimat seperti; hari pertama ke luar kota, hari pertama meeting di mal, hari pertama penerbangan internasional, hari pertama pesta belanja, dan seterusnya.
Komunalisme sebagai basis kultural kita memang telah dikembalikan kepada syarat mula-mulanya, yakni perjumpaan fisik. Nongkrong di pos ronda, pengajian rutin di mushala, arisan keluarga, ramai-ramai di pesta pernikahan, bahkan nonton bareng pertandingan sepak bola, tidak lagi dibatasi sebagaimana beberapa bulan lalu.
Namun, bagaimana dengan lingkaran kecurigaan yang kita rawat selama dua tahun lebih? Pada abang-abang ojol (ojek online) tumpangan saban petang, sejawat-sejawat kantor, bakul sayur di depan rumah, petugas catat tagihan listrik, tukang sol sepatu, kita telah memendam curiga dalam waktu lama (jangan-jangan mereka pembawa virus).
Baca juga: Kemiskinan dan Ketimpangan
Cara janggal untuk selamat dari maut itu sudah menjadi bagian dari keseharian dan tak akan mudah luntur, sebagaimana kita membasuh tangan dengan cairan pembersih tangan (handsanitizer). Begitu pula dengan solidaritas yang saban hari diteriakkan dari kamar tidur, atau yang pernah dipaksakan bekerja dengan individualitas, mungkin dapat memperbesar nganga jurang antara Oma-Ason dengan kaum kelas menengah, seperti para penikmat konten pamer kemewahan di kanal youtuber ternama Indonesia. Betapa tidak? Hampir semua orang yang selamat dari bencana besar ini telah terindividuasi secara tak sengaja.
Masa panjang mengurung diri di rumah jangan-jangan telah membuat kita terbiasa dan nyaman dalam kesendirian, bahkan saat berada di lingkar keramaian. Maka, ketika video pendek tentang orang-orang yang gemetar (karena menahan lapar) melintas di linimasa, daya tariknya kian menipis, kepekaaan minim, atau kita bisa menonton derita saudara-saudara sebangsa itu seperti menikmati tragisnya kisah-kisah dalam drama Korea saja.
Damhuri Muhammad, Kolumnis; Pekerja Seni; Pengajar Filsafat di Fakultas Sastra Universitas Darma Persada Jakarta