Dilema Etika dan Performa Dokter
Di mana peran etika dalam perubahan teknologi yang begitu hebat ini? Pada saat teknologi terus berubah, terasa etika lambat beranjak dari tempatnya. Industri kesehatan tampak sering tergagap menjawab tantangan zaman.
”Dokter Minus Etika”, tulisan dr Zaenal Abidin (Kompas, 7/6/2022) menjadi pesan moral yang seharusnya dipahami setiap dokter dan masyarakat. Fakta lapangan; mendeteksi, melihat, dan menyelesaikan masalah etika sungguh bukan hal mudah.
Diperlukan kepekaan rasa, pengetahuan yang cukup, dan panduan praktis untuk membuka tabir etika.
Di sisi lain, banyak hal penting yang masih perlu kejelasan: apakah ruang etika mampu menjawab tantangan zaman yang kian tak menentu? Apakah etika dokter cukup kuat untuk menjaga keselamatan manusia di era teknologi yang penuh perubahan ini?
Dialog Plato mengawali pemahaman tentang profesi, yaitu seseorang yang bekerja tidak hanya mengandalkan keterampilan teknik semata, tetapi dia terikat disiplin moral yang tinggi. Di awal perjalanannya, ada satu sebutan Classical Ethic, yaitu batasan perilaku yang ditujukan untuk tiga bidang kerja: hukum, medis, dan penganjur kebenaran (baca: agama), mengapa?
Ketiga bidang kerja itu selalu bersinggungan dengan posisi asymmetric information. Jarak pemahaman yang begitu besar membuat ”konsumen atau klien” tak berdaya menentukan pilihan terbaik bagi dirinya. Dia menyerahkan keputusan penting hidupnya pada ahli yang dia percaya. Bila sekadar membeli baju, makanan, buku, sepatu atau mobil, tak soal. Ketelitian Andalah yang menjaga Anda.
Khusus di bidang kesehatan, Shortell mengingatkan: toleransi terhadap kesalahan medik itu mendekati nol, artinya tidak boleh ada kesalahan sedikit pun.
Tetapi, bila dihadapkan pada pilihan kesehatan atau hukum, Anda butuh seorang yang betul-betul ahli dan tepercaya mendampingi Anda. Khusus di bidang kesehatan, Shortell mengingatkan: toleransi terhadap kesalahan medik itu mendekati nol, artinya tidak boleh ada kesalahan sedikit pun.
Dokter adalah satu-satunya profesi yang diberi hak luar biasa untuk mengeksplorasi tubuh manusia (baca: pasien) tanpa batas. Dialah profesi yang amat dibutuhkan di saat paling kritis dalam hidup Anda. Dokter adalah profesi yang memiliki peluang terbesar untuk menjadi sosok yang paling luhur. Tetapi, sebaliknya, dia juga berpotensi besar untuk menyalahgunakan kepercayaan.
Oleh karena itu, di samping dia dituntut memiliki tingkat keahlian yang ”terjaminkan”, setiap dokter diharapkan juga memiliki standar moral yang amat sangat tinggi.
Baca Juga: Dokter Minus Etika
Ribuan tahun lalu, Socrates meninggalkan pesan penting: ”Nurani yang baik mengarahkan untuk berbuat baik. Nurani yang jahat, sebaliknya. Batas benar dan salah ada di nurani, bukan di nalar. Bukan berarti orang yang nuraninya baik tidak pernah berbuat salah. Pernah, manakala dia tidak tahu mana yang lebih benar. Oleh karena itu, janganlah pernah berhenti belajar”.
Tentang nalar? Herbert A Simon menulis, ”nalar adalah alat belaka. Nalar tidak menentukan jalan hidup kita. Paling banter, ia hanya membantu bagaimana cara sampai ke sana. Ibarat senjata sewaan, nalar dapat digunakan untuk mencapai tujuan apa saja, apakah itu hal baik atau hal paling buruk.”
Kelahiran ilmu kedokteran di bumi ini didorong oleh nurani yang luhur, panggilan ”rasa iba” untuk menolong sesama. Ilmu pengetahuan dan teknologi medik menyusul kemudian. Kodrat manusia, yang selalu ingin tahu dan ingin berbuat lebih baik, mendorong nalar manusia untuk terus mengejar ilmu dan teknologi. Kemampuan otak manusia memang luar biasa, seakan tidak berbatas.
Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang dari masa ke masa, begitu majunya sampai melampaui batas tak terbayangkan. Kini, penguasaan ilmu dan teknologi medis adalah hal yang mutlak harus dimiliki setiap dokter. Tanpa menguasai ilmu dan teknologi terkini, seorang dokter tidak layak lagi menjalankan profesinya.
Problem di lapangan
Tahun 2012, Dr Marty Makary menulis buku berjudul Accountable. Buku yang berkisah tentang hospital horror, lengkap dengan data otentik. Apabila kesalahan medik dianggap penyakit, dia menempati urutan keenam penyebab kematian di Amerika Serikat (AS).
Makary mengusung angka fantastis, lebih dari 100.000 kematian per tahun akibat kesalahan medik dan kerugian materi puluhan miliar dollar AS. Melihat begitu besarnya kerugian, tentu ujaran to err is human tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan. Dibutuhkan sistem pengawasan yang terandalkan untuk mengawal keselamatan pasien.
Pertanyaannya, apakah pengawasan etika yang ketat dapat diandalkan untuk menurunkan catatan buruk di atas? Atau, ada masalah lain yang lebih besar? John Brickmeyer, profesor bedah dari Michigan University memberi catatan khusus: di era ultramodern ini, masalah terbesar yang dihadapi industri kesehatan adalah inkompetensi para dokter. Performa buruk dokter telah membawa kerugian tak ternilai.
Baca Juga: Mengamalkan Etika, Menjaga Marwah Profesi Kedokteran
Kapan kita bicara soal nurani dan kapan kita bicara tentang nalar? Philip Howard telah memudahkan kita: Medical Science adalah tentang ”how” to treat, sedangkan Medical Ethic tentang ”why” to treat. Kisah nyata, sepasang lesbian yang berkecukupan ingin punya anak. Pasangan itu memilih seorang pemuda tampan, sehat dan cerdas untuk jadi calon sang ayah.
Singkat cerita, teknologi bayi tabung menyelesaikan masalah itu dengan sangat baik. Kini, pasangan lesbian itu hidup bahagia dengan dua anak yang amat tampan, cantik, dan pintar hasil donor sperma. Sang pemilik sperma pun dikenalkan kepada dua anak manis ini sebagai ayah kandung mereka. Semua bahagia, apanya yang salah?
Pengguguran kandungan jelas melanggar etika. Pada saat teknologi mampu mendeteksi kecacatan bayi di dalam kandungan, aborsi menjadi pilihan yang rasional. Kian terasa dilema etik terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi.
Kian terasa dilema etik terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi.
Tantangan berat
McKinsey mengingatkan, sektor paling terpengaruh oleh perkembangan teknologi adalah keuangan dan kesehatan. Kehadiran teknologi telah mengubah dasar berpikir dan tata kerja sistem layanan medik yang mendasar. James Canton tahun 2007 mengingatkan: ”good bye primitive medicine”.
Begitu banyak hal baru yang hadir di dunia layanan kesehatan. Namun, tidak mungkin lagi sektor medik menghindar dari tantangan teknologi. Sebab, kehadiran teknologi baru membawa harapan baru bagi umat manusia. Seluruh proses layanan menjadi transparan, setiap tindakan medik terpantau dengan detail, real time, efisien dan Total Quality Management (TQM) terjadi optimal. Keselamatan pasien kian terjamin.
Dengan kata lain, rumah sakit yang tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi akan kehilangan kemampuannya menghadirkan harapan baru bagi pasien. Prosedur medik jadi tak transparan, banyak langkah yang tidak termonitor. Hal ini jelas membawa risiko besar pada keselamatan pasien.
Kini, kemampuan mengikuti teknologi merupakan urusan hidup mati setiap rumah sakit. Sungguh beban luar biasa, pengembangan teknologi membutuhkan biaya yang teramat besar. Prosedur medik berubah total dan semakin kompleks, dampaknya besar di sektor tenaga kerja. Dibutuhkan kehadiran tenaga kesehatan baru yang sama sekali berbeda.
Klaus Schwab, dalam The Future of Job, 2020, menulis: perubahan drastis pasti terjadi di peta tenaga kerja industri medik di era ini. Banyak pekerjaan yang hilang dan banyak jenis pekerjaan baru yang akan muncul. Dibutuhkan kehadiran tenaga kesehatan (nakes) baru yang memiliki keterampilan berbeda dan itu terus akan berubah. Schwab menekankan, tersedianya pusat pelatihan teknologi mutakhir yang mampu terus-menerus melakukan reskilling dan upskilling bagi nakes adalah suatu kemutlakan.
Negara yang tak memiliki pusat pelatihan akan menghadapi masalah besar di sektor tenaga kerja. Apalagi pekerja medis, di mana keselamatan pasien jadi pertimbangan utama setiap kehadiran teknologi baru. Seleksi dokter makin ketat.
Patient safety sepenuhnya soal ukuran performa individu. Tak ada kaitannya dengan isu-isu heroic romantism, seperti kebangsaan, nasionalisme, patriotik, pengabdian, mulia, dan bela negara. Artinya, nakes dari mana saja silakan melamar kerja, asal persyaratan kompetensinya terpenuhi.
Sementara para dokter kita, walaupun hadir dengan semangat bela negara tinggi, bila syarat kompetensi tak terpenuhi, mohon minggir. Kompetisi hebat di pasar kerja nakes tak terhindarkan. Membuka ruang kompetisi tanpa mempersiapkan tenaga kerja anak bangsa, berarti mengundang petaka.
Masalah besar lain, benarkah setiap teknologi yang hadir akan membawa manfaat bagi umat manusia? Atau, masyarakat hanya akan menjadi obyek bisnis semata? Posisi asymmetric information membuat masyarakat mudah menjadi ”bulan-bulanan” bisnis.
Thomas Lee, 2010, mengingatkan, bila kehadiran teknologi tinggi tidak dijalankan dalam sistem layanan yang terstruktur dengan baik (well structured), akan terjadi kekacauan (chaos). Sistem yang sangat terintegrasi (high level integration system), team work yang solid, standar prosedur yang transparan dan terukur sangat penting.
Lee menekankan, kehadiran penilai luar (external peer group) di setiap rumah sakit amat diperlukan untuk memantau performa setiap tenaga kesehatan dan rumah sakit secara keseluruhan.
Cara pandang baru etika
Di mana peran etika dalam perubahan teknologi yang begitu hebat ini? Di saat teknologi terus berubah, terasa etika lambat beranjak dari tempatnya.
Akibatnya, industri kesehatan tampak sering tergagap menjawab tantangan zaman. Beberapa contoh di atas menunjukkan ada perubahan cara pandang etika.
Lambat dan tanpa terasa, paham postmo Ethic mulai diterima. Pertama, garis tegas benar/salah dalam menentukan etika kian kabur. Kedua, rambu etika dibangun konstruktif mempertimbangkan kebutuhan situasional dan bukti ilmiah yang ada. Ketiga, peranan kontrol internal (baca: etika) semakin menurun, sementara kontrol eksternal (transparansi, audit medik dan hukum) semakin dibutuhkan.
”Nurani yang baik bisa berbuat salah mana kala dia tidak tahu mana yang lebih baik. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti belajar,” pesan Socrates, kini kian relevan.
Pertanyaannya, siapkah tenaga medik kita memasuki era perubahan dahsyat ini? Apakah pusat pelatihan teknologi mutakhir yang terandalkan telah tersedia untuk terus melakukan reskilling dan upskilling? Apakah layanan medik negeri ini telah terintegrasi sepenuhnya (highly integrated)? Apakah perangkat external peer group telah siap menjamin keselamatan pasien dan manfaat setiap kehadiran teknologi baru? Semua pertanyaan ini harus dijawab!
(Ario Djatmiko, Dewan Pengawas Pusat Kanker Nasional RS Kanker Dharmais)