”Pasar Cemangking”, Siasat Cerdas dan Solidaritas Kemanusiaan
Di Pasar Cemangking, siapa pun yang berminat terhadap karya seni rupa yang dipajang dan segera di-”cangking” atau dibawa. Ini semacam plesetan dari jargon ’cash and carry’ menjadi ’cash and cangking’.
Oleh
BUTET KARTAREDJASA
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 ternyata membawa berkah terselubung. Selalu ada siasat kreatif mengolah musibah. Ini seperti menegaskan pameo lama: semakin ditimpa tekanan, seniman malah menjadi cerdas menemukan jalan keluar. Semakin ditindas oleh situasi represif ia semakin inovatif dan kreatif.
Kecerdasan inovatif ini bernama ”Pasar Cemangking”. Sebuah siasat dan gaya pemasaran karya-karya seni rupa, khususnya lukisan, yang mengandung nilai-nilai edukasi dan kemanusiaan. Konsepnya win and win. Semua pihak dalam ekosistem seni lukis—pelukis senior maupun yunior, kolektor, kurator, event organisator, perajin pigura—diuntungkan secara elegan.
Nama brand marketing ”Cemangking” memang bernuansa jenaka. Dipungut dari kata bahasa Jawa ”cangking” yang artinya jinjing. Mudah dibawa. Dimaksudkan ukuran artwork yang dipamerkan melalui bazar ini mudah dibawa alias di-cangking.
Siapa pun yang meminati langsung negosiasi dengan seniman atau panitia. Jika sepakat, karya langsung turun dari display dan segera di-cangking. Ini semacam plesetan dari jargon ’cash and carry’ menjadi ’cash and cangking’. Pencetusnya para pelukis dan pegiat seni seperti Nihil Pakuril, Alit Ambara, Kuart Kuat, Erwin Rustaman, Ampun Sutrisno, Muslihar, Rismanto, dan Heni Matalalang.
Gaya pemasaran artwork seperti ini tentu mengingatkan kepada ”Pasar Seni ITB” di akhir 1970-an hingga 1980-an. Karya-karya para pelukis senior Bandung, terutama dosen dan mahasiswa ITB yang saat itu namanya berkibar—yang biasanya berharga mahal—hanya pada hari bazar itu dijual murah. Saat itu cuma ratusan ribu rupiah. Maka, masyarakat yang dompetnya cekak, tetapi ngebet mengoleksi karya-karya Srihadi Soedarsono, AD Piroes, Sunaryo, Ahmad Sadali, G Sidharta dll, hari itu tumpah ruah berlomba belanja benda seni, sketsa, seni grafis, ataupun lukisan.
Tolong-menolong
Pasar Cemangking agaknya merupakan pengembangan dan kombinasi Pasar Seni ITB, Pasar Seni FKY, dan Pasar Rela ”Omah Petruk”. Harga karya yang dipasarkan dibatasi, paling mahal Rp 5 juta saja, meskipun itu karya pelukis senior yang di market seni rupa—Balai Lelang ataupun pameran—harganya bisa mencapai miliaran rupiah.
Yang membedakan adalah semangat kemanusiaan dan keinginan bergotong royong, saling tolong-menolong sesama pelukis. Pelukis-pelukis primadona yang namanya diuber para art-lovers—misalnya Djoko Pekik, Kartika Affandi, Nasirun, Putu Sutawijaya dll—mengatrol pelukis-pelukis yang nasibnya belum mujur sehingga karya mereka nantinya bisa terjual.
Caranya? Lukisan-lukisan yang diminati lebih dari satu orang harus diundi. Harga satu nomor undian senilai Rp 750.000. Jika seseorang telah belanja artwork karya pelukis lainnya sebesar Rp 3 juta, maka dari kelipatan Rp 750.000 dia akan mendapatkan empat nomor undian.
Harga karya yang dipasarkan dibatasi, paling mahal Rp 5 juta saja, meskipun itu karya pelukis senior yang di market seni rupa—Balai Lelang ataupun pameran— harganya bisa mencapai miliaran rupiah.
Di sinilah orang kemudian terpacu memenangi undian demi mendapatkan, misalnya lukisan Djoko Pekik atau Kartika Affandi. Orang akan cenderung belanja sebanyak-banyaknya artwork lainnya, mungkin karya atau nama-nama yang belum kondang, supaya terkumpul nomor undian yang banyak dan nanti berpotensi mengoleksi lukisan sang maestro hanya dengan membayar Rp 5 juta saja. Tergantung nasib baiknya saja. Bisa terjadi peserta yang memenangi undian hanya bermodal empat atau 12 gelintir nomor undian.
Pada titik inilah, menurut saya, nilai-nilai edukasi dan kemanusiaan jumbuh dalam ikhtiar marketing yang berkeadilan. Pertama, peristiwa ini membelajarkan supaya masyarakat dari lapis sosial apa pun berani memulai mengoleksi karya seni. Akan lahir kolektor-kolektor baru yang nanti memperkuat ekosistem jagad seni rupa.
Kedua, para perupa senior kelas primadona yang karyanya diincar (calon) kolektor, akan menolong mereka yang belum mujur. Yang senior mengubah nasib perupa yang belum mujur. Ini menjadi catatan penting, mengingat dua setengah tahun terakhir ini, secara ekonomi banyak perupa terpuruk rezekinya terdampak pandemi Covid-19. Tempo hari, kita tahu, mengonsumsi produk seni adalah kebutuhan paling akhir karena semua sibuk menyelamatkan kehidupan dengan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier saja.
Contoh konkret di Pasar Cemangking yang kedua di No Body Studio, Mojokerto, Jawa Timur, milik seniman Joni Ramlan, 4 Juni lalu—sebelumnya di Sekolah Sungai Siluk, Bantul—lukisan mungil karya Djoko Pekik seharga Rp 5 juta diperebutkan 143 gelintir/tiket undian atau setara Rp 107.250.000. Lukisan Putu Sutawijaya diserbu 54 tiket undian, Ugo Untoro 27 tiket, Butet Kartaredjasa 27 tiket.
Akibatnya, sungguh di luar dugaan: dari 114 karya dipamerkan, 89 karya ludes terjual. Artinya, para kolektor yang ingin memiliki lukisan favorit itu harus membelanjakan rupiahnya kepada pelukis-pelukis lain. Djoko Pekik diam-diam menjadi katrol, menolong seniman lain menjadi mujur. Sungguh mulia.
Sebuah praktik solidaritas kemanusiaan. Pada momen seperti ini seniman hadir dalam dimensinya yang lain, bukan makhluk yang distigma memanjakan ego personalnya. Dia tampil sebagai manusia dengan M besar.
Berkah terselubung
Semangat solidaritas kemanusiaan serupa Pasar Cemangking akan menjadi pararel event ArtJog awal Juli ini. Berlangsung di Galeri ADA-SaRanG , Jalan Ambarbinangun, Kalipakis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, digelar Artwork Exhibition ”Bangkit Berkarya Lagi”.
Jika biasanya bazar seperti ini hanya satu hari, ”Bangkit Berkarya Lagi” berlangsung dua bulan bersamaan ArtJog, dimulai 8 Juli 2022, dan setiap hari Minggu akan dilakukan undian karya-karya maestro yang diminati lebih dari seorang. Beberapa karya nama seniman papan atas yang siap diperebutkan: Djoko Pekik (akan menyiapkan 8 lukisan), Kartika Affandi, Nasirun, Ivan Sagita, Jumaldi Alfi, Putu Sutawijaya, Goenawan Mohamad, Sigit Santosa, Erica, Katirin, Lucia Hartini, dan lain-lain. Ada sekitar 100 pelukis yang diundang merayakan solidaritas ini.
Jadi, inilah berkah terselubung itu. Dari berbagai model pemasaran benda-benda seni—melalui pameran, balai lelang, art fair, bazar, pasar seni dan sebagainya— tercipta satu ceruk lagi yang unik. Kalau saja ini menjadi inspirasi kawasan-kawasan budaya lain di sekujur Indonesia, niscaya kita akan menemukan kehangatan persaudaraan dan kemanusiaan. Rukun agawe santosa, saling curiga agawe ambyar. Uas****wok!!!