”Kopi Dulu”, Kopi Kemerdekaan
Kopi telah menjadi semacam saripati karakter manusia Indonesia. Ajakan ngopi, ”kopi dulu”, adalah perilaku manusia yang ingin membangun persahabatan, membuka diri kepada setiap tamu. Keramahan ini harus terus dibangun.
Seorang penulis perjalanan (travel writer) Mark Eveleigh menulis di South China Morning Post edisi 31 Juli 2022 tentang kisah perjalanannya selama di Indonesia yang jika ditotal mencapai 15.000 kilometer. Bagi banyak orang asing, Indonesia itu hanya dikenal sebagai Jawa dan Bali. Padahal, tulis dia, ada 13.000 pulau yang tersebar membentang untuk menyebut Indonesia.
Uniknya, papar Eveleigh dalam tulisannya itu, meski semua tempat itu berbeda-beda lokasi, ada satu hal yang menyatukan Indonesia. Apa itu? ”Kopi dulu,” katanya.
Istilah ”kopi dulu”, yang kemudian menjadi judul dari buku dia tersebut, saya kutip penjelasan Eveleigh, ”it’s a common Indonesian catchphrase that epitomises the slow pace of island life and the traditional mood of hospitality you find in communities all over the archipelago”. Arti kalimat tersebut mungkin akan dapat dipahami jika menggambarkan situasinya.
Baca Juga: Persamuhan Kopi
Bayangkan kita berkunjung ke Aceh. Tiba di sana, disambut dengan keramahan. Masyarakat menyambut setiap pengunjung dengan kata-kata, ”Ayo masuk. Ngopi dulu.” Lalu, kita pun duduk bersama mereka, menikmati kopi itu.
Kita melanjutkan perjalanan, begitu tiba di Bengkulu, tamu pun akan diajak duduk, bersantai lalu tuan rumah berkata, ”Ngopi dululah.” Di Maluku, pun demikian. ”Ayo ngopi,” kata penduduk lokal. Di Manado, di Palangkaraya, setiap tamu disambut dengan kata-kata yang kurang lebih seperti itu. Selalu ada kopi, serta kehidupan yang tenang dan lambat.
Begitulah kacamata orang luar memandang kita. Kita adalah bangsa yang penuh dengan keramahan, penuh rasa penerimaan kepada tamu. Kita tidak pernah membiarkan sang tamu pergi terburu-buru. Keramahan seperti itu ada di mana-mana, di seluruh wilayah Indonesia.
Seragam polanya, yaitu sama-sama mengekspresikannya dengan ajakan untuk meminum kopi, ”kopi dulu”. Kopi justru telah menjadi semacam saripati karakter manusia Indonesia, yang menjadi perasa Indonesia, dari barat sampai timur, yang membentang di setiap pulau di sepanjang tiga zona waktu.
Peta genetik
Harusnya itulah yang menjadi kekhasan kita, penciri keindonesiaan kita sebagai bangsa, yaitu keramahan manusia Indonesia. Ajakan untuk meminum kopi merupakan sebuah perilaku manusia yang ingin membangun persahabatan, membuka diri pada setiap tamu yang datang, bahkan membawa mereka untuk berbincang dan bersantai. Setiap tamu, entah dari mana pun itu, dianggap berhak disambut seperti saudara sendiri. Tamu dihormati agar betah dan merasa seperti di rumah sendiri.
Ajakan ngopi, ”kopi dulu” adalah pintu masuk terhadap apa pun yang hendak dilihat oleh tamu-tamu yang datang. Jelas bahwa Indonesia adalah panggung bagi budaya Aceh, Sumatera Utara, Padang, Kalimantan, sampai Papua, entah itu berbentuk bangunan bersejarah, tradisi ribuan tahun, bahkan alam yang indah.
Namun, semua pesona itu tidak akan terasa indahnya jika, ketika tamu tiba untuk pertama sekali, tidak disuguhi keramahan dalam secangkir kopi. Sebaliknya, ketika tamu merasa betah, mereka tidak akan terburu-buru. Mereka akan menikmati waktu demi waktu bersama kita, menjalani keramahan yang membetahkan mereka itu.
Ajakan untuk meminum kopi merupakan sebuah perilaku manusia yang ingin membangun persahabatan, membuka diri pada setiap tamu yang datang.
Maka, kita harus bersyukur menjadi bangsa Indonesia. Bukan tidak mungkin Tuhan memang telah berbaik hati memberikan ”peta genetik” khusus kepada kita, manusia Indonesia, untuk memiliki keramahan ini.
Pergilah ke Pulau Nias yang kisahnya disampaikan juga oleh Eveleigh. Setiap kali kita berjumpa masyarakatnya, sapaan akan dibarengi dengan jabatan tangan dan tawaran untuk singgah ke dalam rumah. Dan, ekspresi ”kopi dulu” pun hadir di situ.
Di Balige, Tapanuli Utara, berkunjunglah ke rumah masyarakat. Anda pasti akan diminta masuk ke rumah, ”kopi dulu” pun siap menyambut kita. Padahal, Nias dan Batak adalah dua suku yang berbeda di Nusantara ini, berbeda tempat dan berbeda tradisi berabad-abad lamanya. Namun, kenapa mereka selalu sama dalam perilaku itu ”kopi dulu”?
Jawabannya karena kedua suku itu sama-sama berdarah Indonesia. Mereka memiliki peta genetik yang diteruskan di seantero Nusantara ini. Inilah yang membuat kita seharusnya berbangga karena kita adalah Indonesia, dengan ciri khas ”kopi dulu” itu.
Baca Juga: Memaknai Toleransi
Harusnya kita memeliharanya karena itu menjadi darah dan tulang kita, lekat pada diri kita, bawaan kita sejak Indonesia ada. Dan, senyuman, keramahan, dan ajakan untuk bercengkrama yang ditemukan di seluruh wilayah Indonesia itu membuat kita dikenal sebagai negeri yang sangat menghormati orang lain.
Jika diurut dari sejarahnya, perilaku ”kopi dulu” memang adalah warisan dari nenek moyang kita. Sejak tiba di Tanah Air, nenek moyang kita mungkin menyadari bahwa mereka pun hanya ”tamu” di negeri yang membentang luas ini. Kesadaran diri itu kemudian membuat mereka menjadi tuan rumah yang baik kepada setiap orang, yang selalu membuka diri untuk menyediakan ”kopi dulu” kepada setiap orang yang datang, siapa pun dia dan dari mana pun dia berasal.
Namun, di balik semua itu, nenek moyang kita hanyalah manusia biasa. Ada keajaiban genetik yang Tuhan berikan kepada nenek moyang kita sehingga sampai saat ini kita pun memiliki keramahan yang sama.
Tantangan
Sayangnya, dalam satu dekade terakhir, kita cenderung menonjolkan perilaku yang kita adopsi dari tempat lain, bahkan dari budaya yang sama sekali berbeda dari kita.
Kita lebih menyukai sesuatu yang asing. Seolah dengan begitu kita setara dengan mereka. Kita menamai bangunan kita dengan bahasa asing. Kita menyebut istilah dengan bahasa asing. Kita berbicara pun dengan bahasa asing.
Mengapa kita menganggap bahwa kedudukan yang asing itu lebih tinggi hanya karena mereka berasal dari luar Indonesia? Pergilah ke desa-desa dan dusun pedalaman, apakah mereka kurang keindonesiaannya karena mereka sama sekali tidak bisa berbahasa asing? Pasti tidak. Justru mereka sering memiliki kesantunan yang jauh lebih polos daripada mereka yang mengaku berbahasa asing.
Pergilah ke desa-desa dan dusun pedalaman, apakah mereka kurang keindonesiaannya karena mereka sama sekali tidak bisa berbahasa asing?
Pakaian, tradisi, bahkan ornamen asing kini seolah dianggap jauh lebih bernilai dibandingkan apa yang sudah lama kita miliki. Pakaian tradisional kita sendiri kini kerap kita anggap tak sesuai zaman. Tradisi yang lama kita pegang, kita anggap tak patut dipelihara. Segala-galanya kini berbau asing dan ke-Barat-baratan. Kalau tak berasa asing, kita merasa tak sempurna.
Menyedihkan. Orang dari Barat memandang kita begitu bernilai, sementara kita memandang diri seolah tak sempurna.
Ini yang perlu segera kita perbaiki. Bagaimana caranya? Marilah kita memperbaikinya dari dunia pendidikan. Sekolah-sekolah kita harus kita jadikan tempat mempertahankan ”kopi dulu” ini. Kita harus menyelamatkan anak-anak kita dari paksaan keasing-asingan dan keimpor-imporan, dalam hal apa pun.
Di sekolah, biarkanlah anak-anak merasakan Indonesia yang sesungguhnya, yang hatinya luhur dan terbuka. Jangan rusak warisan genetika ini karena pemahaman agama, suku, dan kepentingan politik tertentu. Sekolah harus dijadikan melting point dini supaya setiap anak merasakan betapa indahnya menjadi pribadi yang ramah dan terbuka kepada setiap orang. Anak-anak kita harus menjadi pribadi yang kaya dalam keramahan terhadap setiap orang, bukan pribadi yang jiwanya sempit sekali.
Lalu, bagaimana lagi upaya mempertahankan keramahan ini? Kantor-kantor, baik swasta maupun pemerintah, seharusnya menjadi tempat yang mengekespresikan keramahan ini. Setiap yang datang dan berkunjung disambut. Tersenyum kepada setiap tamu bukan karena paksaan, bukan karena gaji, melainkan karena karakter. Maka, keramahan ini harus dibangun agar menjadi budaya di perkantoran.
Setiap pagi, daripada bersalam-salaman satu sama lain yang di era pandemi Covid-19 masih belum bebas kita lakukan, kenapa kita tidak membuat tradisi tersenyum kepada setiap orang? Mengapa tidak menyediakan tempat menyeduh dan meminum kopi secara gratis supaya kantor-kantor kita menjadi lambang keramahan Indonesia, sekaligus menaikkan citra dan produksi kopi kita.
Baca Juga: Kepingan Keindonesiaan
Pemerintah juga seharusnya tidak perlu mengeluarkan kebijakan untuk merusak keramahan manusia Indonesia yang telah terjadi secara alami. Tak perlu memopulerkan label-label tertentu di sebuah tempat seolah tempat tersebut layak bagi kelompok ini, sementara tidak layak bagi kelompok itu.
Label-label ala halal dan haram demikian rasanya berlebihan sekali. Sedari dulu setiap orang yang datang berkunjung ke rumah kita tidak pernah ditanyakan terlebih dahulu siapa dia. ”Kopi dulu” serta-merta disuguhkan tanpa pertanyaan penuh label. Ini harus mati-matian kita pertahankan.
Ayo, kita semarakkan suasana kemerdekaan ini dengan keramahan ”kopi dulu”. Saya bayangkan, sesudah ini, kopi Indonesia akan berada di mana-mana, dibungkus kalimat indah menyejukkan: ”kopi dulu”.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara; Penggiat di Perkamen