Pembangunan desa dalam jangka panjang memegang kemudi strategis terutama guna menyejahterakan warga negara Indonesia. Namun, ada sejumlah isu penting berkaitan kepedulian desa terhadap perubahan iklim dan isu ekologi.
Oleh
IVANOVICH AGUSTA
·4 menit baca
Menjelang berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, telah disusun studi latar RPJPN 2025-2045. Desa menduduki posisi penting dalam proses ini karena mencakup 91 persen wilayah pemerintahan Indonesia.
Desa hingga kini berperan utama langsung melayani kebutuhan warga negara, membangun infrastruktur sosial dasar, menguatkan ekonomi lokal, dan menjaga budaya gotong royong. Artinya, pembangunan desa dalam jangka panjang memegang kemudi strategis terutama guna menyejahterakan warga negara Indonesia.
Beruntung sejak 2021 tersedia data mikro SDGs Desa yang memuat informasi detail 87 juta warga desa, 24 juta keluarga desa, potensi wilayah 317.000 rukun tetangga, berikut profil 74.961 desa. Perpustakaan desa secara nasional telah dibangun. Di dalamnya dikompilasi kajian akademis ataupun kebijakan desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi, terutama sejak pengundangan UU No 6/2014 tentang Desa.
Desa hingga kini berperan utama langsung melayani kebutuhan warga negara, membangun infrastruktur sosial dasar, menguatkan ekonomi lokal, dan menjaga budaya gotong royong.
SDGs Desa 2021 mengandung pengetahuan baru bahwa pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di desa baru mencapai 45,67 persen. Capaian tertinggi untuk mewujudkan Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan sebesar 97,96 persen poin.
Desa juga unggul mencapai tujuan Desa Damai Berkeadilan, pada 78,60 persen poin. Capaian tak kalah penting pada ikon tujuan SDGs Desa ke-18, yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif, yang merangkum 63,43 persen poin.
Kulminasi tujuan-tujuan SDGs Desa itu menggambarkan keunggulan aspek sosiologi, berupa hubungan sosial yang harmonis, serta kelentingan budaya lokal menyerap sudut pandang baru dari kota dan global. Juga, layanan dasar kelistrikan hampir terpenuhi seutuhnya.
Hingga kini, masyarakat sengaja berlibur ke desa untuk menghirup udara bersih lagi, tanpa kebisingan. Sayang, SDGs Desa 2021 membongkar realitas bahwa upaya warga desa menjaga lingkungan mendekati titik nadir. Tujuan Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan baru mencapai 4,37 persen poin, sementara tujuan Desa Tanggap Perubahan Iklim baru 11,26 persen poin. Terbaca bahwa tantangan utama desa dalam jangka panjang justru harus memastikan upaya lokal melestarikan lingkungan.
Seirama dengan transfer dana desa sejak 2015, jumlah desa yang direkognisi pemerintah pernah melonjak dari 74.093 desa pada 2015 menjadi 74.957 desa pada 2018. Moratorium pembentukan desa baru mampu menahan kenaikan menjadi 74.962 desa saat ini. Tanpa moratorium, diperkirakan transfer dana desa ke rekening kas desa menyusut lantaran dibagikan ke lebih banyak desa.
Mengasumsikan kebijakan moratorium rekognisi desa berlanjut, pada 2045 jumlah desa di Indonesia hanya ada 75.000.
Terbaca bahwa tantangan utama desa dalam jangka panjang justru harus memastikan upaya lokal melestarikan lingkungan.
APB Desa menjadi energi desa membangun. Pada 2021 nilainya Rp 121 triliun dan pada 2045 diperkirakan Rp 381 triliun. Manfaat kapasitas anggaran itu kelak terefleksi dalam penghitungan Indeks Desa Membangun (IDM). Pada 2021, kasta tertinggi desa mandiri baru mencapai 3.269 desa. Jika melaju sebagaimana sewindu terakhir, pada 2045 akan meningkat jadi 52.105 desa.
Dibutuhkan upaya ekstra untuk meluaskan kemandirian desa sekaligus memupus desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Jumlah penduduk desa pada 2021 mencapai 118 juta jiwa dan diprediksi mencapai 135 juta pada 2045. Sementara pendapatan warga desa meningkat dari Rp 971.445 per kapita/bulan ke Rp 2.412.901 per kapita/bulan.
Syukurlah kekuatan gotong royong desa masih bertenaga agar warga ringan berbagi rezeki. Buahnya, ketimpangan ekonomi terjaga rendah. Pada 2021, indeks gini desa 0,315 dan kecenderungannya terus merata menjadi 0,295 pada 2045.
Sayangnya, laju penurunan tingkat kemiskinan yang selama ini sangat lambat bisa menggagalkan hasrat menghapus kemiskinan desa. Pada 2021, tingkat kemiskinan desa 13,10 persen dan tanpa upaya berarti bisa menyisakan 7,77 persen warga miskin desa pada 2045.
Arah kebijakan SDGs Desa yang mematok tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan di 2030 menciptakan periode emas bagi desa-desa guna menggenjot upaya penanganan problematika. Periode delapan tahun ke depan harus digunakan untuk mengerahkan semua upaya menghapus kemiskinan ekstrem, meluaskan fasilitas pendidikan kesehatan bagi semua warga, memenuhi fasilitas air bersih, sanitasi, energi untuk memasak, berikut kelistrikan.
Percepatan peningkatan ekonomi desa harus dikuatkan dengan kebijakan menjaga kumulasi peredaran dana pembangunan selama mungkin di dalam desa. Regulasi mesti mengharuskan porsi dominan transfer uang, konstruksi infrastruktur, ataupun peralatan fisik tersalur kepada warga desa ketimbang porsi biaya manajemen penyelenggara proyek.
Bahkan, kegiatan yang bersumber dari dana utang luar negeri, APBN, dan APBD harus dijalankan sebanyak mungkin melalui mekanisme swakelola. Syaratnya, dikerjakan warga desa sendiri, menggunakan bahan dari wilayah sendiri atau desa- desa sekitarnya. Mirip kampanye penggunaan barang produk dalam negeri, ke depan diharuskan bahan pembangunan berasal dari desa-desa itu sendiri.
Isu yang bakal membesar berkaitan kepedulian desa terhadap perubahan iklim dan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Desa perlu digerojok dukungan informasi perihal lingkungan, terutama berkaitan dengan perubahan iklim, ramalan cuaca setempat, mitigasi bencana, serta informasi geofisika penting lainnya. Jangan lupa pula menghukum perusak lingkungan desa secara adil.
Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi