Nama-nama besar narapidana korupsi yang ikut bebas bersyarat antara lain jaksa Pinangki Sirna Malasari, bekas hakim konstitusi Patrialis Akbar, dan bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sebanyak 23 narapidana korupsi telah dibebaskan secara bersyarat oleh pemerintah pada Selasa, 6 September 2022, dari sejumlah penjara.
Nama-nama besar narapidana (napi) korupsi yang ikut bebas bersyarat antara lain jaksa Pinangki Sirna Malasari, bekas hakim konstitusi Patrialis Akbar, bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali. Namun, di antara nama-nama itu, perlakuan terhadap Pinangki istimewa. Pinangki adalah jaksa perantara yang menemui terpidana korupsi Joko S Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia berperan sebagai ”perantara” kasus Joko Tjandra. Ia sempat menyinggung sejumlah nama petinggi hukum negeri. Ia juga terbukti menerima 500.000 dollar AS.
Pinangki divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim pertama, dikurangi menjadi 4 tahun penjara oleh hakim banding. Ia mendapatkan remisi. Pinangki hanya menjalani hukuman penjara 1 tahun 1 bulan. Perlakuan terhadap Pinangki luar biasa! Koruptor perlu belajar kepadanya.
Kaburnya terpidana korupsi Joko Tjandra menjadi sorotan publik karena, sebagai terpidana korupsi, ia bisa mondar-mandir ke Indonesia, mengurus paspor, mengurus peninjauan kembali. Ternyata ada keterlibatan anggota Polri untuk mengurus Joko dan tentunya juga Pinangki.
Atas perintah Presiden Joko Widodo, Joko Tjandra dijemput Kepala Badan Reserse Kriminal—waktu itu—Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama sejumlah perwira tinggi Polri. Sejumlah nama perwira tinggi kepolisian, termasuk Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, pun ditahan dan diadili.
Bebasnya jaksa Pinangki dan sejumlah napi korupsi lain menyakitkan rakyat. Di tengah beratnya beban rakyat, karena kenaikan harga bahan bakar minyak, justru koruptor menikmati kebebasannya.
Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan, Rika Aprianti, mengatakan, pembebasan bersyarat 23 napi korupsi itu sesuai dengan peraturan pemerintah. Namun, kita memandang sesuatu yang normatif belum tentu punya landasan moral. Kita berharap ini bukan tanda awal mengarah pada kebangkrutan moral. Penegak hukum didera masalah. Beban rakyat berat. Situasi kebatinan publik diguncang dengan bebasnya koruptor meski bersyarat.
Niat memperlemah hukuman koruptor terasa sistematis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang isinya memperketat pemberian remisi terhadap koruptor. Namun, Mahkamah Agung membatalkannya.
Pelonggaran remisi koruptor memberikan tempat istimewa bagi koruptor. Bahkan, napi korupsi juga tidak dilarang ikut dalam kontestasi Pemilu 2024. Aturan Komisi Pemilihan Umum yang pernah melarang bekas koruptor menjadi calon anggota legislatif dibatalkan MA.
Bangsa ini seperti tak berdaya melawan korupsi. Awan kegelapan menggelayut dan napi korupsi sedang berpesta. Semoga saja elite bangsa ini tersadarkan bahwa korupsi adalah penyakit komorbid yang bisa menggerogoti fondasi kita berbangsa dan bernegara.