Pertemuan dua pemimpin rival Barat, Xi Jinping-Vladimir Putin, tak hanya dimaknai dalam perspektif kepentingan masing-masing. Ada penegasan wajah dunia multipolar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pekan ini, untuk pertama kali dalam lebih dari dua tahun atau sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, Presiden China Xi Jinping mengadakan lawatan luar negeri. Negara pertama yang dikunjungi adalah Kazakhstan, Rabu (14/9/2022). Namun, perhatian dunia terfokus pada lawatannya ke negara Asia tengah lain, Uzbekistan, selama dua hari, mulai Kamis (15/9/2022). Dua peristiwa itu menjadi sorotan, yakni Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) dan pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Keputusan Xi memilih dua negara itu sebagai tujuan awal lawatan luar negeri, setelah pandemi, memperlihatkan pentingnya Asia Tengah bagi China. Negara di Asia Tengah itu tak hanya melimpah dengan sumber daya alam, seperti gas, minyak, dan mineral, tetapi juga posisinya strategis bagi China. Sebagian dari negara itu berbatasan langsung dengan China. Hubungan erat dengan mereka penting guna menangani berbagai isu, termasuk keamanan lintas perbatasan dan suplai ekonomi.
Tak mengherankan, ketika mengumumkan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI)—dulu One Belt One Road (OBOR)—tahun 2013, Xi memilih Kazakhstan sebagai tempatnya, yang lalu diumumkan lagi di Indonesia. Setelah hampir 10 tahun prakarsa itu berjalan, April lalu di Forum Boao, Xi mengumumkan prakarsa lain di bidang keamanan, Prakarsa Keamanan Global (Global Security Initiative/GSI).
Posisi SCO sebagai organisasi kawasan belum terlalu diperhitungkan, terutama oleh Barat. Perhatian dunia lebih terfokus pada pertemuan bilateral antara Xi dan Putin. Sebagian pengamat memaknai pertemuan itu dari perspektif kepentingan masing-masing.
Bagi Xi, lawatan dan pertemuan itu jadi ajang unjuk kredensialnya selaku pemimpin global. Ini penting baginya menjelang kongres Partai Komunis China (PKC), saat ia berharap bisa mengokohkan posisi sebagai pemimpin terkuat China setelah Mao Zedong, Oktober 2022. Bagi Putin, pertemuan itu tak kalah penting guna memperlihatkan Rusia tidak terisolasi pascainvasi ke Ukraina.
Namun, lebih dari itu, menguatnya kemitraan Xi-Putin juga mempertegas wajah dan tata dunia kini multipolar. Era setelah pasca-Perang Dingin, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan dominan dalam tata unipolar, sudah berakhir. Xi-Putin disatukan oleh pandangan: hegemoni AS mengalami dekadensi. Dalam pertemuan itu, Xi lugas menyatakan tekad China bergandengan tangan dengan Rusia menjalankan peran kekuatan besar ”menyuntikkan stabilitas dan energi positif” dunia.
Hadirnya kutub kekuatan dunia, selain AS, tak bisa dihindari. Seperti ditulis Dani Rodrik dan Stephen M Walt dari Harvard Kennedy School dalam jurnal Foreign Affairs (September/Oktober 2022), pendekatan berorientasi Barat kini tak lagi memadai untuk menangani banyak kekuatan yang mengatur hubungan internasional.
Tata dunia masa depan perlu mengakomodasi kekuatan non-Barat dan menoleransi keberagaman yang lebih besar dalam pengaturan dan praktik kelembagaan nasional.