Tantangan Menghadapi ”Gray Zone Operation” China di Laut Natuna Utara
Langkah agresif China untuk mempertahankan klaim Laut China Selatan dengan membangun kekuatan militer dan didukung kekuatan ekonomi melalui program pendanaan Inisiatif Sabuk dan Jalan sungguh tidak dapat dianggap remeh.
Oleh
MARSETIO
·4 menit baca
Dalam beberapa minggu terakhir kapal Penjaga Pantai China kembali diberitakan memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara dan membuat resah nelayan tradisional Natuna yang beroperasi di sana.
Kapal China menampilkan aksi tidak bersahabat, mengusir mereka dengan memotong haluan kapal-kapal nelayan, sebuah aksi berbahaya dan bermusuhan (Kompas, 14/9/2022).
Aksi yang dilakukan kapal-kapal Penjaga Pantai China itu sudah terjadi sejak lama. Mereka bahkan mengawal kapal-kapal ikannya dalam jumlah besar. Akibatnya, terjadi gesekan di lapangan.
Fregat TNI AL pada tahun 2016 pernah menangkap kapal ikan Gui Bei Yu-27088, melalui sebuah aksi yang menegangkan, karena kapal Penjaga Pantai China membayang-bayangi pengejaran dan penangkapannya.
China tidak hanya mengirim kapal ikan dan kapal penjaga pantai, tetapi juga kapal riset dan kapal perang. Kapal perusak Kunning-172 diketahui berada di Laut Natuna Utara pada 13 September 2021 dan kapal riset Haiyang Dizhi-10 berlayar mondar-mandir di sana sepanjang bulan Agustus-Oktober 2021.
Tindakan China mengirimkan kapal ikan, kapal penjaga pantai, kapal riset, ataupun kapal perang ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia merupakan penegasan sikap China dalam mempertahankan klaim sembilan garis putus-putus (nine-dash line) mereka.
China secara sepihak mengklaim hampir 80 persen perairan Laut China Selatan (LCS) berdasarkan alasan traditional fishing ground. Sembilan garis putus-putus itu bersinggungan dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara yang merupakan hak berdaulat Indonesia berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 yang sudah diratifikasi Indonesia dan China.
Tak mengakui
Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus-putus tersebut dan tidak pernah mau merundingkannya dengan China. Namun, China tetap bersikeras untuk mempertahankan klaim dengan terus menghadirkan kapal-kapal ikan di Laut Natuna Utara, bahkan dengan kawalan kapal penjaga pantainya.
Pengerahan kapal ikan dengan kawalan kapal penjaga pantai dikenal sebagai konsep gray zone operation, yakni suatu kegiatan operasi pada masa damai dengan pendekatan koersif yang berada di bawah ambang batas operasi militer terbatas.
Dalam gray zone operation, kapal-kapal perang tidak diikutsertakan, tetapi berada di pangkalan angkatan laut (naval base) untuk digerakkan apabila diperlukan. Gray zone operation sesungguhnya adalah tindakan mengaburkan batas antara aksi militer dan nonmiliter untuk mempertahankan sebuah keputusan politik negara.
Untuk menegaskan klaimnya di Laut China Selatan, China juga mengeluarkan undang-undang penjaga pantai pada Februari 2021 guna memberi wewenang kepada Penjaga Pantai China untuk melakukan tindakan koersif apabila diperlukan.
Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus-putus tersebut dan tidak pernah mau merundingkannya dengan China.
Termasuk di dalamnya menghancurkan bangunan negara lain di atas pulau yang diklaim China. Penjaga Pantai China juga boleh mendeklarasikan zona peringatan luar biasa maritim (maritime extraordinary alert zones) dan membatasi atau melarang kapal-kapal asing masuk ke area tersebut.
Pamer kekuatan
China mengklaim Laut China Selatan sebagai ”kedaulatan (mereka) yang tak terbantahkan atas pulau-pulau dan perairan yang relevan serta dasar laut dan lapisan bawahnya”.
Klaim itu dipetakan dengan sembilan garis putus-putus tanpa koordinat yang mengelilingi sebagian besar Laut China Selatan. Meskipun mendapat protes dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, China terus mempertahankan klaim dan kehadirannya di sana, termasuk mengabaikan keputusan mahkamah internasional yang tidak mengakui klaim China tersebut.
China juga mereklamasi gugusan atol di Fiery Cross untuk dijadikan pangkalan militer yang dilengkapi dengan landasan pacu, fasilitas labuh, dan garnisun militer. Gugusan karang Gaven Reefs yang menjadi salah satu obyek sengketa dengan Filipina, Vietnam, dan Taiwan juga direklamasi sehingga secara taktis kehadiran fisik kekuatan China di sana semakin tidak tergoyahkan.
Langkah agresif China untuk mempertahankan klaim dengan membangun kekuatan militer dan didukung kekuatan ekonomi melalui program pendanaan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) sungguh tidak dapat dianggap remeh.
Pamer kekuatan melalui kapal-kapal ikan dan kapal penjaga pantai serta penguatan fasilitas militer di LCS dapat diartikan sebagai sikap bulat untuk mempertahankan klaim traditional fishing ground dengan mengabaikan ketentuan hukum internasional.
Menghadapi manuver China tersebut, diperlukan langkah yang sama konsistennya, yaitu terus menghalau kapal-kapal mereka dari sana. Indonesia bukan negara pengklaim (claimant) dalam sengketa Laut China Selatan, tetapi sembilan garis putus-putus China beririsan dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara sehingga mau tidak mau Indonesia ”terseret” arus permasalahan di LCS.
Kapal-kapal negara RI harus konsisten hadir di Laut Natuna Utara sepanjang tahun untuk menjamin kedaulatan NKRI.
Indonesia sebagai pihak yang tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus-putus diharapkan mampu menangani persoalan secara elegan: terus melakukan upaya diplomasi sambil menghadirkan kapal-kapal negara berpatroli di sana.
Kapal-kapal negara RI harus konsisten hadir di Laut Natuna Utara sepanjang tahun untuk menjamin kedaulatan NKRI. Selain itu, Pemerintah RI juga diharapkan dapat menghadirkan dan mengerahkan kapal-kapal nelayan di Laut Natuna Utara sebagai bentuk pernyataan bahwa hak berdaulat Indonesia di ZEE Indonesia tidak terbantahkan oleh klaim negara mana pun.
(Marsetio,Guru Besar Universitas Pertahanan, Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2012-2015)