Godaan kekuasaan bukan hanya menghantui para pegiat, terutama kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis, melainkan juga organisasi dan institusi masyarakat sipil. Di sini, pendekatan intrinsik penting dikemukakan.
Oleh
ANTONIUS STEVEN UN
·5 menit baca
Kabar baik tentang peran masyarakat sipil dalam konsolidasi demokrasi datang dari Oslo, Norwegia. Dalam pengumuman pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen berkata, ”Ini bukan kecaman bagi Presiden Rusia Vladimir Putin ataupun kepala negara mana pun. Namun, ketiga penerima hadiah membuktikan, di tiga negara bertetangga, masyarakat sipil memercayai nilai-nilai demokrasi universal yang menjunjung tinggi HAM” (Kompas, 10/10/2022).
Nobel Perdamaian tahun 2022 dianugerahkan kepada Ales Bialiatski, pegiat hak asasi manusia dari Belarus; Memorial, lembaga HAM dari Rusia; dan Pusat Kebebasan Sipil Ukraina (CCL). Sekalipun ketiganya berada di dalam negara-negara bertetangga yang sedang dilanda konflik, ketiganya tetap memiliki peran positif dalam konsolidasi demokrasi melalui sejumlah aktivitas (Kompas, 11/10/2022).
Pertama, mereka konsisten mendokumentasikan kejahatan anti-kemanusiaan. Kedua, mereka setia mengingatkan masyarakat untuk tidak menyerah terhadap kekerasan antidemokrasi yang dilakukan oleh negara dan untuk berani bersuara lantang. Ketiga, mereka gigih menuntut negara untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Ketiga entitas penerima Nobel Perdamaian tahun ini tetap menjadi dirinya sendiri sekalipun mereka menghadapi tantangan yang berat. Saat pengumuman hadiah Nobel, Bialiatski sedang ditahan oleh polisi Belarus, lembaga Memorial telah dibubarkan oleh Pemerintah Rusia, dan CCL harus mempertahankan diri tetap adil dan tidak bias terhadap kewarganegaraan pelaku pelanggaran. Saya menyebut gagasan menjadi diri sendiri sebagai pendekatan intrinsik dalam teori masyarakat sipil.
Identitas-identitas tak tereduksi
Pendekatan ini dikemukakan oleh filsuf dari Universitas Cambridge, Inggris, Jonathan Chaplin (2010). Ia mendorong pendekatan intrinsik dalam teori masyarakat sipil melalui apa yang ia sebut sebagai ”identitas-identitas tak tereduksi” (irreducible identities). Gagasan ini bermakna bahwa entitas-entitas masyarakat sipil harus didukung untuk menghidupi dan mengembangkan identitas-identitas tak tereduksi yang cocok ”dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan”.
Pengabaian terhadap identitas-identitas tak tereduksi rupanya menjadi salah satu penyebab stagnasi masyarakat sipil di negeri ini. Menurut Azyumardi Azra, seorang pejuang demokrasi yang baru berpulang sebulan yang lalu, salah satu penyebab stagnasi adalah fakta terjadinya disorientasi di kalangan pegiat masyarakat sipil (Kompas, 5/3/2020).
Daya tarik kekuasaan membuat para pegiat, terutama kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis, meninggalkan panggilan mereka dalam bidang masing-masing lalu terjun ke arena kekuasaan.
Daya tarik kekuasaan membuat para pegiat, terutama kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis, meninggalkan panggilan mereka dalam bidang masing-masing lalu terjun ke arena kekuasaan. Padahal, sebagian besar pegiat masyarakat sipil yang menempuh jalan ini gagal dalam proses politik praktis. Penyebabnya antara lain mereka terlalu naif atau kurang sumber daya di dalam kontestasi yang serba transaksional.
Bagi saya, godaan kekuasaan bukan hanya menghantui para pegiat, melainkan bahkan organisasi dan institusi masyarakat sipil itu sendiri. Bukan rahasia lagi, dalam tahun-tahun politik seperti sekarang ini, kelompok-kelompok besar masyarakat sipil rawan dipolitisasi. Kelompok-kelompok besar itu, menurut Profesor Azra, adalah lembaga swadaya masyarakat, kelompok profesional, sivitas akademika, dan organisasi masyarakat berbasis agama. Akibat politisasi tersebut sudah bisa diramal. Masyarakat sipil makin tak berdaya atau malahan bersekongkol dengan kekuasaan.
Di sini, pendekatan intrinsik penting dikemukakan. Lembaga-lembaga pendidikan, misalnya, seharusnya menjadi dirinya sendiri untuk menjawab panggilan kemanusiaan dalam rangka ”mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan UUD 1945) sambil menjaga diri agar tidak terpolitisasi atau terkomersialisasi. Demikian pula para individu mahasiswa dan akademisi dalam lingkup lembaga pendidikan.
Bagi Profesor Azra, di tengah kekayaan entitas masyarakat sipil negeri kita, kehadiran organisasi-organisasi masyarakat berbasis agama merupakan suatu kekuatan yang distingtif (Kompas, 19/11/2020). Pendekatan intrinsik mensyaratkan ormas religius untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan hakikat dan visi-misinya tanpa perlu terpancing untuk naik ke atas ring tinju kekuasaan.
Apabila agama benar-benar menjadi komunitas kebenaran dan kasih, dengan sendirinya agama akan bersumbangsih bagi peningkatan kualitas demokrasi dengan memainkan ”politik moral” dan bukan ”politik kekuasaan”, meminjam istilah YB Mangunwijaya. Bagi Romo Mangun, politik moral diwujudkan dalam tiga elemen: memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah (antaranews.com, 2/11/2014).
Saya memberi dua contoh peran agama dalam politik moral. Dengan kebenaran, agama mengingatkan para politikus agar tak memanfaatkan hoaks untuk mencapai kekuasaan. Dengan kasih, agama menghampiri kaum lemah yang kerap hanya dimanfaatkan oleh para politikus untuk meraup suara di pemilu tetapi diabaikan setelah itu.
Pendekatan intrinsik mensyaratkan ormas religius untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan hakikat dan visi-misinya tanpa perlu terpancing untuk naik ke atas ring tinju kekuasaan.
Kesalingtergantungan institusional
Sekilas, pendekatan intrinsik dalam rupa gagasan identitas-identitas tak tereduksi sepertinya berdampak pada pengutamaan ego sektoral. Namun, bagi Chaplin, pendekatan intrinsik memiliki dimensi keterhubungannya. Ia menguraikan dimensi tersebut dalam ide ”kesalingtergantungan institusional” (institutional interdependencies).
Gagasan ini penting bukan hanya setelah sebuah entitas masyarakat sipil berkembang sesuai hakikatnya, melainkan juga pertama-tama dalam rangka dapat menjadi diri sendiri, ia membutuhkan sokongan institusi atau organisasi yang lain. Lembaga pendidikan, misalnya, dapat menjadi dirinya sendiri, jika para akademisi disokong oleh institusi keluarga atau agama yang sehat pada dirinya sendiri.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi, entitas-entitas masyarakat sipil perlu saling mendukung satu dengan yang lain. Hal ini penting agar entitas-entitas masyarakat sipil tidak terjebak pada ego sektoral, tidak mengalami fragmentasi dan pada gilirannya tidak bergerak secara sporadis. Tiga kelemahan ini akan menghambat peran masyarakat sipil dalam meningkatkan kualitas demokrasi.
Sebaliknya, dengan ide kesalingterhubungan, entitas-entitas masyarakat sipil bukan saja akan bertumbuh pada dirinya sendiri, melainkan juga akan membentuk kekuatan penyeimbang dalam berhadapan dengan tantangan dominasi struktur-struktur makro seperti pemerintah dan pasar.
Masyarakat sipil dapat berperan baik apabila setiap entitas tumbuh dan berkembang sesuai identitas tak tereduksinya untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan entitas-entitas masyarakat sipil saling bergantung tanpa membunuh identitas esensial masing-masing. Dengan begini, entitas-entitas masyarakat sipil dapat beperan positif antara lain bagi konsolidasi demokrasi seperti yang kita saksikan pada ketiga peraih Nobel Perdamaian tahun ini.
Antonius Steven Un, Meraih Gelar Doktor dari Departemen Filsafat, Vrije Universiteit Amsterdam dengan Disertasi tentang Ruang Publik