Membumikan Nilai-nilai Multikulturalisme dengan Toleransi
Klaim-klaim superioritas dalam kemajemukan yang terus terjadi meringkihkan sendi-sendi keutuhan bangsa. Mahasiswa perlu menggaungkan pentingnya toleransi, terutama toleransi dalam ranah beragama di ruang sosial.
Oleh
INDAH YULIA AGUSTINA
·5 menit baca
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya, ras, dan agama. Keanekaragaman tersebut menjadikan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Ketika perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat dipadukan dalam suatu ruang integritas, akan membentuk solidaritas yang kuat.
Akan tetapi, apabila perbedaan-perbedaan tersebut tidak terkondisikan dengan baik, akan terjadi berbagai persoalan di kalangan masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut dapat berpotensi mencerai-beraikan keutuhan dalam masyarakat.
Persoalan yang kerap muncul adalah ketimpangan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dianggap lebih superior daripada kelompok minoritas, tak terkecuali dalam tataran preferensi beragama. Hal ini tak jarang berujung pada konflik bernuansa agama.
Persoalan mutakhir yang mencuat baru-baru ini adalah penolakan pembangunan rumah ibadah di Cilegon. Rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranantha ini ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat. Dalam sejarah panjang, ini bukan kali pertama ada penolakan pendirian rumah ibadah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di negara kita dapat memantik bara permusuhan.
Potret fenomena tersebut bertentangan dengan peraturan yang telah lama ditetapkan oleh negara. Negara menjamin kebebasan setiap warga negara dalam memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing, termasuk menjamin kenyamanan dalam beribadah. Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Ayat 2 pasal ini menyebutkan, negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak beragama adalah hak yang bersifat kodrati sebagai manusia.
Berkaca dari persoalan yang ada, kesadaran akan toleransi beragama di kalangan masyarakat kita perlu ditingkatkan lagi. Meski Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia sudah termasuk tinggi, yakni mencapai angka 72,39 pada 2021, realitas di lapangan masih terdapat riak-riak kecil yang berpotensi memicu tindakan intoleransi terhadap pemeluk agama lain.
Loyalitas pada identitas tertentu membuat seseorang ”alergi” terhadap identitas lain. Sering kali seseorang menganggap dirinya dan kelompoknya sebagai golongan terbaik, lalu menafikan kelompok lain yang berbeda.
Tahun 2022 ini dicanangkan sebagai tahun toleransi oleh Menteri Agama Indonesia. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan moderasi beragama sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Hakikat moderasi adalah menjunjung tinggi ajaran agama untuk kesejahteraan hidup. Perlu juga dialog agama untuk menghindari ketidakselarasan dalam konteks fundalisme agama. Salah satu pilar penting dalam moderasi beragama adalah toleransi. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai hidup berdampingan secara harmonis di tengah perbedaan yang ada.
Loyalitas pada identitas tertentu membuat seseorang ”alergi ” terhadap identitas lain.
Peran mahasiswa
Mendengar kata ”mahasiswa”, apa yang ada di pikiran masyarakat? Ya, masyarakat pasti akan menganggap bahwa mahasiswa adalah kaum muda intelektual yang digadang-gadang menjadi ujung tombak perubahan peradaban.
Di tengah gempuran tugas-tugas dari para dosen, mahasiswa dituntut untuk berperan dalam mendampingi masyarakat menghadapi sederet problematika kehidupan. Terdengar jenaka, tetapi itulah kenyataannya. Barangkali ekspektasi semacam itu tak perlu dianggap sebagai beban berlebih. Cukup dijalani saja sembari sambat mengejar deadline tugas hari ini.
Mahasiswa dengan segudang ilmu dan pengetahuannya dapat memberikan kontribusi nyata untuk menghadapi persoalan kemajemukan bernuansa agama tersebut. Tidak perlu muluk-muluk.
Pertama-tama, kita perlu mengurai persoalan kemajemukan, seperti fenomena penolakan pendirian gereja di Cilegon dengan menggunakan perspektif keilmuan yang ada. Ekspresi kebencian yang mewarnai ruang-ruang sosial memproyeksikan adanya indikasi kontestasi antar-agama. Klaim subyektif terhadap salah satu agama memunculkan wajah-wajah garang dalam melihat agama lain yang dianggap sebagai saingan dalam kontestasi tersebut.
Keniscayaan keanekaragaman kultural yang ada di Indonesia menjadi tantangan tersendiri untuk bangsa ini. Paham pluralisme yang selama ini kita pahami agaknya tak lagi dapat meng-cover persoalan kemajemukan kultural ini.
Kita sering kali lupa bahwa kebudayaan merupakan suatu hasil dari pengaruh dan penafsiran yang berbeda sehingga output yang dihasilkan pun pasti berbeda. Dengan demikian, kecurigaan terhadap kebudayaan, termasuk agama, sudah semestinya disudahi. Kita tidak bisa selalu memaksakan ukuran ”sepatu” kita kepada orang lain sekalipun itu teman karib.
Dalam buku Rethinking Multiculturalism, Bhikhu Parekh memberikan counter untuk menghadapi persoalan keanekaragaman kultural. Baginya, keanekaragaman kultural menjadi suatu kebaikan moral yang penting. Ketika pluralisme menghendaki penyatuan antar-entitas yang plural, multikulturalisme berupaya mewujudkan persatuan di antara berbagai entitas budaya (termasuk agama) yang berbeda-beda.
Paham pluralisme yang selama ini kita pahami agaknya tak lagi dapat meng- cover persoalan kemajemukan kultural ini.
Multikulturalisme bukanlah sebuah kumpulan pikiran yang homogen. Multikulturalisme mengakui dan mendorong eksistensi ”kemajemukan” secara sederajat (equality) dalam ruang-ruang sosial. Dalam ranah politik, negara harus memperlakukan semua warga negara dengan setara, yakni secara seragam, serta memberi wadah hak-hak hukum, politik, sosial, dan sebagainya.
Konsep equality inilah yang perlu digarisbawahi karena heterogenitas perlu didudukkan dalam tataran yang sederajat. Tak bisa dimungkiri bahwa pasti selalu ada klaim superioritas dalam kemajemukan itu. Klaim-klaim semacam ini akan meringkihkan sendi-sendi keutuhan bangsa. Dengan demikian, kita sebagai mahasiswa perlu menggaungkan pentingnya toleransi, terutama toleransi dalam ranah beragama di ruang sosial.
Dalam hal ini, mahasiswa tidak hanya menjadi penonton yang pasif dan membisu, tetapi juga harus berpartisipasi atau terlibat aktif dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut. Kita tidak butuh jargon toleransi semu yang sering kali hanya bersifat seremonial.
Implementasi dari toleransi dapat dimulai dari hal-hal kecil di lingkungan kampus, seperti menghormati dan menghargai pendapat mahasiswa lain dan mengakui perbedaan latar belakang. Itulah implementasi sikap toleransi di lingkungan kampus sebagai manifestasi dari nilai-nilai multikultural.