Hari Nusantara dan Tantangan Mewujudkan Poros Maritim Dunia
Melalui peringatan Hari Nusantara, pemerintah Indonesia perlu menunjukkan komitmen dan menjaga optimisme agar visi sebagai poros maritim dunia dapat terwujud karena kita punya pengalaman historis dari kerajaan Nusantara.
Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 adalah tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Kebijakan tersebut bukan hanya menegaskan sebagai negara kepulauan yang utuh, tetapi juga mampu menerjemahkan makna gagasan kesatuan Indonesia secara konkret.
Dalam analisis Robert E Elson (2008), Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, dari kalangan profesional, berhasil menyatukan kedaulatan wilayah secara fisik, yakni tanah (daratan) dan air (laut). Sementara itu, banyak pemimpin politik Indonesia pada 1950-an, kerap berdiri di podium dan menyerukan Indonesia perlu bersatu, tetapi belum menemukan contoh yang jelas tentang makna kata tersebut.
Deklarasi tersebut muncul saat Indonesia sedang menghadapi hantaman berbagai krisis seperti polarisasi yang tajam antara berbagai kekuatan partai politik, hubungan pusat-daerah yang memanas, ekonomi dan keuangan yang melemah serta konflik dengan Belanda terkait status Papua.
Di tengah situasi kritis, Djuanda mampu berpikir jernih bahwa ada peraturan yang usang seperti masih berlakunya warisan hukum pada masa Hindia-Belanda yang mengatur bahwa lebar wilayah laut hanya 3 mil dari garis pantai yang sudah tidak relevan. Sehingga, banyak kapal asing bebas hilir-mudik di tengah lautan lepas di antara wilayah Indonesia yang sudah merdeka. Dalam melihat masalah tersebut, Djuanda mendapatkan masukan pengamatan yang tajam dari Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum laut internasional dan diplomat, tentang perlunya penegakan kedaulatan wilayah perairan Indonesia.
Baca juga: Visi Mochtar tentang Indonesia
Setelah ditetapkan, deklarasi tersebut mendapat kecaman dari publik internasional yang datang bertubi-tubi dari negara-negara Barat yang memiliki kekuatan maritim besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan terutama juga oleh Belanda karena kapalnya acapkali melintas di Indonesia. Namun, Djuanda tidak goyah, bahkan ia mengirimkan delegasi khusus ke Geneva guna memperjuangkan agar Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara kepulauan pada 1958. Dari dalam negeri, Deklarasi Djuanda menjadi inspirasi menghasilkan kebijakan turunan lainnya seperti wawasan Nusantara, yakni cara pandang melihat kesatuan wilayah, budaya, dan jati diri bangsa serta mampu menggunakan posisi internasional baik secara geografis dan politik secara seimbang.
Akhirnya, setelah berjuang selama hampir 25 tahun, forum internasional mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) pada konvensi hukum internasional United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Keputusan UNCLOS juga menambah lebar wilayah bagi negara kepulauan, Indonesia mendapatkan manfaat tersebut, rentang wilayah perairan laut dari 3 mil menjadi 12 mil wilayah. Selain itu, negara kepulauan juga mendapat hak atas pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil dari bibir pantai.
Makna Nusantara
Deklarasi Djuanda menghasilkan banyak perubahan dalam kebijakan dunia maritim Indonesia dan internasional. Transformasi tersebut mendorong pemerintah menetapkan Deklarasi Djuanda sebagai Hari Nusantara setiap tanggal 13 Desember melalui Keputusan Presiden 126 tahun 2001.
Jika merujuk kepada keputusan yang ditandatangani oleh Presiden Megawati tersebut, makna Nusantara tidak disebutkan secara spesifik, tetapi artinya lebih dekat kepada keadaan geografis yang memiliki gugusan pulau melimpah. Terminologi tersebut sangat lekat pada Sumpah Palapa Gadjah Mada ketika ingin mewujudkan visi Majapahit menyatukan pulau-pulau di negeri seberang.
Makna kata Nusantara tidak tunggal hanya dari perspektif tersebut melainkan kaya akan sudut pandang. Dalam penelitian Hans Dieter-vans (2017), Nusantara memiliki banyak makna seperti kesatuan budaya dilihat dari kemiripan linguistik penggunaan bahasa Melayu di antara negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Timor-Timur, dan mungkin juga sampai Taiwan bagian selatan. Hans, juga melihat bahwa di Asia Tenggara ada fenomena menjamurnya penggunaan nama Nusantara dalam ranah bisnis, organisasi pemuda, dan organisasi keagamaan. Menariknya, pemerintah Indonesia juga menetapkan ibukota negara yang baru dengan nama Nusantara pada 2021.
Deklarasi Djuanda menghasilkan banyak perubahan dalam kebijakan dunia maritim Indonesia dan internasional.
Fenomena tersebut memiliki relasi historis yang panjang selaras dengan penelitian Anthony Reid (2011). Ia menjelaskan bahwa wilayah Nusantara dengan istilah “tanah di bawah angin” karena musim seminya hampir sepanjang tahun, merupakan kesatuan unit meskipun memiliki perbedaan seperti dalam aspek budaya, geografis antara pedalaman dan kepulauan serta sistem sosial kemasyarakatan.
Selain itu, relasi jaringan wilayah di Nusantara semakin solid karena proses perdagangan global yang sudah massif terbentuk mencapai puncaknya pada abad ke-16, sebelum kekuasaan kolonial datang. Para pedagang maritim dari Nusantara menggunakan laut guna menjual produk lokal seperti pala, lada dan cendana sehingga mencapai pasaran global di Eropa, Asia Timur, dan Afrika.
Baca juga: Memandang Kedaulatan Maritim Indonesia
Laut memang menjadi salah satu pilar utama dalam sejarah peradaban di wilayah Nusantara. Laut menjadi sarana untuk aktivitas ekonomi bagi para pedagang sehingga dapat berdagang ke negara lain dan bertemu dengan kebudayaan baru. Namun, samudera juga menjadi media para pelancong dari negeri lain untuk datang, tidak hanya membawa kepentingan politik dan ekonomi, tetapi juga menyebarkan kebudayaan. Tidak heran Denys Lombard (2008), meskipun menyebut dengan istilah Nusa Jawa, tetapi menyadari bahwa konsep tersebut memiliki keterkaitan dengan ruang yang lebih besar, yakni Nusantara sebagai tempat persilangan atau titik temu kebudayaan besar seperti China, India, Arab bahkan bangsa dari Eropa untuk kemudian juga turut datang.
Nusantara yang diapit dua Samudera Pasifik dan Samudera Hindia adalah ruang kesatuan geografi, politik, dan budaya, yang sudah hidup melalui sejarah panjang dan membentuk warisan dan tradisi pengetahuan yang unik.
Tantangan aktual
Makna Nusantara memiliki relasi historis yang kuat bagi negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Relasi ini bukan hanya romantisme masa lalu, tetapi dapat menjadi modal menjawab tantangan aktual yang sedang terjadi. Dalam peringatan hari Nusantara dapat menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk menjawab krisis yang sedang terjadi sama ketika Djuanda menetapkan deklarasi guna tantangan zaman.
Selama satu tahun ke depan, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai ketua ASEAN, dengan membawa modal historis Nusantara sebagai pengikat soliditas guna mencari solusi dari berbagai masalah yang terjadi.
Pertama, konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam dengan China. Bahkan, Kapal-kapal China juga kerap masuk sampai ZEE Indonesia. Akar permasalahannya adalah tidak tercapainya kesepakatan teritorial wilayah perairan masing-masing negara di Laut China Selatan.
Konflik puncaknya adalah ketika China menetapkan Undang-Undang Penjaga Pantai atau China Coast Guard Law (CCGL) pada 22 Januari 2021. Undang-undang tersebut mengklaim sebagian China Laut Selatan adalah teritorial negaranya dan dapat menggunakan kekuatan hukum dan militer pada kapal asing yang melintas pada wilayah tersebut (Kompas, 9 Maret 2021).
Indonesia dengan momentum kesuksesan G20 dapat menjadi modal menyakinkan negara ASEAN dan China guna melakukan dialog yang konstruktif. Laut adalah sumber kemakmuran bersama dan simpul penghubung relasi sejarah yang sudah dibangun ribuan tahun lalu antara Nusantara dan China.
Indonesia dengan momentum kesuksesan G20 dapat menjadi modal menyakinkan negara ASEAN dan China guna melakukan dialog yang konstruktif.
Kedua, laut sebagai modal utama bagi negara-negara Asia Tenggara juga mengalami krisis perubahan iklim yang tajam. Dalam laporan Mckinsey Global Institute (2020) bahwa negara-negara Asia Tenggara mengalami perubahan cuaca dan kelembaban yang ekstrem sehingga akan meningkatkan permukaan air laut karena curah hujan tinggi yang terus terjadi setiap tahun. Kondisi tersebut sangat menurunkan jumlah tangkapan ikan yang menjadi salah satu komoditas utama negara-negara Asia Tenggara.
Selain itu, beberapa daerah pantai di Asia Tenggara, salah satunya ada di Pesisir Pantai Utara Jawa, mengalami tingkat abrasi yang cukup parah sehingga mengancam tempat tinggal dan pendapatan keluarga nelayan kecil sehingga mereka dalam posisi lemah dalam perubahan iklim. Indonesia sebagai pemimpin perlu mendorong komitmen dari negara-negara ASEAN guna mewujudkan Nusantara sebagai lautan yang makmur dan berkelanjutan bagi rakyatnya.
Ketiga, mimpi mewujudkan Indonesia poros maritim dunia, visi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pemerintahan periode pertama dan tertulis pada RPJMN 2014-2019. Pada periode kedua, visi tersebut berlanjut pada RPJMN 2019-2024 meskipun ada sedikit modifikasi tetapi esensinya sama menjadi pusat maritim internasional.
Namun, gebyar mewujudkan visi tersebut cenderung meredup jika dibandingkan dengan pada pemerintahan Presiden Jokowi jilid pertama (Kompas, 27 April 2022). Memang, sektor maritim sangat luas dari mulai cakupan wilayah, industri perikanan dan pengolahannya, transportasi laut dan infrastrukturnya, tata kelola pemerintahan, kekuatan alutsista pertahanan, dan diplomasi maritim.
Baca juga: Negara Kepulauan dan Benua Maritim Indonesia
Mewujudkan visi tersebut adalah tugas berat, tetapi bukan berarti tidak dapat terwujud karena kita memiliki modal sebagai negara kepulauan yang berada di jalur utama maritim internasional. Posisi strategis yang menjadi kekuatan utama dan tidak dimiliki oleh negara lain.
Melalui peringatan Hari Nusantara, pemerintah Indonesia perlu menunjukkan komitmen dan menjaga optimisme agar visi sebagai poros maritim dunia dapat terwujud karena kita punya pengalaman historis dari kerajaan Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Samudera Pasai berhasil yang berhasil menaklukkan dunia melalui kekuatan maritimnya.
Pradita Devis Dukarno, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)