"Megatrend 2.0" dan Celah RI Menjadi Lima Besar Dunia
“Jangan menyia-nyiakan krisis.” inilah saat Indonesia berstrategi berjuang menjadi ekonomi terbesar kelima dunia, dalam waktu sepuluh tahun. Untuk mencapai itu, perlu New Economic Grand Scenario, dan kepemimpinan.
Dunia dihadapkan pada badai paripurna ("perfect storm"), yaitu tiga “krisis” simultan: geopolitik, eksistential, dan ekonomi.
Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya dan menghasilkan beberapa megatrend yang perlu kita sikapi. Pertama, kita akan masuk masa makroekonomi global baru. Kita terbiasa dengan era makro global pasca-Perang Dunia (PD) II. Model dan prediksi ekonomi dibangun berbekal pengamatan dan data tersebut.
Namun, dengan perfect storm, perekonomian dunia akan sulit diprediksi. Negara- negara terbesar mengalami ketidakpastian. Contoh, AS setelah suku bunga acuan (FFR) The Fed naik agresif, AS ingin mengerem, tapi data ketenagakerjaan dan perkiraan target inflasi belum akan tercapai.
Inggris, tetap terancam krisis utang, banyak utang dipakai untuk membiayai perusahaan-perusahaan zombie yang membebani perekonomian.
China memiliki sistem kapitalisme sosial yang berbeda dari negara-negara liberal kapitalis di atas. Kapitalisme terpimpin ini didukung pemerintah dan Partai Komunis. Walau demikian, mulai muncul juga sinyal bahwa berbisnis dan berdagang di China tak mudah.
Contoh, adanya razia (crackdown) terhadap Alibaba, Tencent, Baidu, serta masalah-masalah utang perusahaan seperti Wanda, Evergrande, dan lain-lain. Sisi positifnya, pemerintahnya menunjukkan kemampuan mengambil kebijakan yang tak populis. Pada krisis keuangan, banyak negara terpaksa menalangi (bailout) institusi penyebab dengan alasan too big to fail.
Akan tetapi, krisis di China menunjukkan bahwa pemerintahnya mampu tidak tersandera. Jika ada produk keuangan yang dibeli masyarakat menjadi busuk, rakyatnya sendiri yang tanggung, pemerintah tidak tersandera untuk bailout.
Namun, dengan perfect storm, perekonomian dunia akan sulit diprediksi.
Gabungan triple crisis mendisrupsi rantai pasok (supply chain) dan menaikkan inflasi. Akar inflasi berbeda dari sebelumnya. Kali ini tak hanya karena turunnya suplai barang, tapi juga akibat naiknya biaya produksi dan transportasi (cost-pushed inflation). Menkeu AS, Janet Yellen, di CNN mengakui telah menganggap enteng (underestimate) inflasi kali ini.
Kedua, pergeseran valuasi korporasi. Di era internet-digitalisasi, sempat marak “capitalism without capital.” Ini adalah dunia di mana perusahaan memiliki valuasi tinggi tanpa aset fisik. Contoh, Airbnb, penyedia penginapan tanpa mempunyai aset penginapan, atau Amazon, penyedia layanan ritel tanpa memiliki toko.
Waktu penawaran saham perdana (IPO), valuasi perusahaan terbang. Dengan adanya penurunan likuiditas, maka korporasi minim real capital; Meta/Facebook, Google; bisa rontok. Perusahaan klasik, McDonalds, Coca Cola, dengan aset dan kapital-kapabilitas fisik, akan bertahan.
Value korporasi akan bergeser kembali pada profitabilitas, dan investasi perlu berhati-hati (prudent). Menjamurnya korporasi “tanpa kapital” berdampak pada nilai tambah (added value) yang semakin kecil. Dua hal masih menjadi kunci, yaitu semikonduktor dan teknologi pendukung demokrasi (contoh: Twitter)
Ketiga, meruncingnya kompetisi teknologi. Dulu negara adu militer, sekarang lomba teknologi. Contoh, China menerapkan kebijakan transfer teknologi. Lalu, AS memblokir akses Huawei pada semikonduktor untuk melumpuhkan 5G-nya. Sedangkan TSMC berinvestasi di pabrik tercanggihnya di Arizona untuk Apple. Belum lagi kompetisi supremasi kecerdasan buatan. Kontrol atas produksi chip menjadi kunci. AS akan berusaha mempertahankan kedaulatan dan supremasi teknologinya.
Keempat, pergeseran sosial -kultural. AS sedang menghadapi polarisasi politik domestik. Di sisi lain, sanksi AS pada China menaikkan nasionalisme China. Jika China berhasil menjadi negara terkaya, dunia akan multipolar. Strategic alignment negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar akan sulit. Dunia yang dulunya dicirikan dengan globalisasi, akan bergeser dengan ciri deglobalisasi, disertai dengan naiknya populisme, ultranasionalisme, dan proteksionisme.
Kelima, transformasi politik luar negeri. Saat Donald Trump menjadi presiden AS, hubungan AS dengan dunia sempat renggang. Tapi adanya perang Rusia- Ukraina, banyak negara maju mendekatkan diri pada AS.
China mempunyai aset kestabilan internal melalui solidifikasi kekuatan Xi Jinping. Kekuatan ekonominya naik, tercermin dari tingginya devisa China yang mencapai level tertinggi sembilan tahun terakhir, serta Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt & Road Initiative)-nya.
Ini terjadi di kala Jepang dan Korea mengalami berbagai tantangan. Sehingga, China akan makin berpengaruh di Asia dan di negara-negara berkembang.
Dunia yang dulunya dicirikan dengan globalisasi, akan bergeser dengan ciri deglobalisasi, disertai dengan naiknya populisme, ultranasionalisme, dan proteksionisme.
Keenam, militer yang tidak hanya invasif, tapi menghancurkan. Pada peperangan sebelumnya, pendekatannya konvensional. Saat ini pendekatannya modern jarak jauh, dengan drone dan misil. Juga akan berkembang tataran peperangan angkasa (Space war) dengan konsekuensi yang kritikal pada kehidupan. Pendekatan ini lebih meluluhlantakkan.
Banyak yang ingin membantu Ukraina. Tetapi secara kelayakan, apakah ada kemampuan untuk rekonstruksi?
AS, utang pemerintah sudah pada tingkat 123 persen dari PDB dan ketimpangan sedang tinggi. Uni Eropa sedang disibukkan dengan harga pangan dan energi, serta ancaman krisis utang. Institusi multilateral seperti Bank Dunia dan IMF juga disibukkan menangani krisis akibat pandemi Covid-19.
Ketujuh, dulu kita mengenal negara adidaya, kedepan dunia mungkin akan melihat individu adidaya. Contoh, Elon Musk, kritik konvensional melihat dia menghancurkan valuasi Twitter. Tapi kontrol Twitter memiliki kekuatan menentukan benar dan salah. CEO dan CFO Twitter diberhentikan, tapi dewan auditnya tetap.
Tata kelola (governance) berdemokrasi di dunia digital tak hanya diatur negara, tapi bisa diatur individu adidaya. Belum lagi kemampuan Tesla di bidang robotik dan perekonomian luar angkasa (Space economy). Perusahaan-perusahaan kembali beriklan di Twitter. Individu adi -daya bisa banyak bermunculan dan menggeser fungsi negara.
Bekal pertumbuhan ekonomi Indonesia
Pertama, selama tujuh tahun terakhir, di bawah kepresidenan Joko Widodo, Indonesia mengalami banyak perubahan.
Pada awal periode pertama, subsidi bahan bakar minyak (BBM) “menyandera” pembangunan. Sehingga tahun 2015, Presiden mengambil langkah berani mencabut subsidi BBM dan mengalihkan dananya untuk investasi pembangunan, seperti infrastruktur, logistik, pertanian, perumahan rakyat, dan pekerjaan umum. Hasilnya kita sudah menikmati. Strategi penguatan investasi untuk pembangunan masa depan ini harus diperkuat dan diteruskan.
Kedua, Indonesia sedang menikmati tingkat reputasi internasional tertinggi. Tak hanya telah membawa misi perdamaian, dengan berkunjung ke Ukraina dan Rusia. Kita telah berhasil dengan baik menjadi presiden dan tuan rumah G20, dan akan menjadi presiden ASEAN. Indonesia bukan lagi “invisible giant,” tetapi negara besar beraset reputasi internasional.
Ketiga, Jokowi juga presiden pertama yang memulai mengeksekusi pemindahan ibukota untuk menggeser pembangunan yang sebelumnya Java-centric, menjadi Indonesia-centric. Ditambah kebijakan "membangun dari pinggiran", ini mencerminkan visi pembangunan Indonesia yang berkualitas dalam kerangka NKRI.
Kita telah berhasil dengan baik menjadi presiden dan tuan rumah G20, dan akan menjadi presiden ASEAN. Indonesia bukan lagi “ invisible giant,” tetapi negara besar beraset reputasi internasional.
Keempat, reputasi baik Indonesia juga sudah mulai direspons dunia. Salah satunya, November lalu, sebagai wujud persahabatan, Uni Emirat Arab menghadiahi Masjid Raya Sheikh Zayed Solo, dan juga diberitakan akan membangun Masjid Presiden Joko Widodo di Abu Dhabi.
Kelima, di kala banyak negara terancam krisis utang — sekitar 15-20 negara “masuk ICU” IMF akibat gagal bayar utang—, gonjang-ganjing dan gonta-ganti pemimpin, atau luluh lantak karena salah urus pemimpinnya; Indonesia justru berhasil menghadirkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini antara lain karena kemampuan pemerintah dalam mengelola fiskal yang berhati-hati (prudent) dan kemampuan Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan.
"What’s next"
Pertama, dengan deglobalisasi dan krisis pangan-energi, pemerintah perlu meningkatkan ketahanan pangan di dalam negeri. Bahkan perlu fokus swasembada pangan dan proses yang menyokongnya, tak hanya pada bahan pokok seperti beras, tapi juga bahan lain dan industri -industri pendukung pangan.
Kedua, Indonesia sudah semakin memiliki tata kelola dan kelembagaan yang bagus, sehingga pemerintah bisa optimal dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk optimalisasi dan mengejar pertumbuhan berkualitas.
Ketiga, dalam kebijakan industri, adanya strategi membangun industri baterai secara terintegrasi. Cadangan nikel kita terbesar di dunia. Selain itu, kita surplus tenaga kerja. Industri baterai nikel bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Pengembangan industri baterai ini memanfaatkan dua keunggulan kompetitif Indonesia, dan perlu dibangun di daerah- daerah ekonomi khusus luar Jawa. Dengan demikian, kita punya pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkualitas.
Dunia lagi dilanda krisis. Seusai PD II, Winston Churchill berpidato, “Jangan menyia-nyiakan krisis.” Kita harus jeli, inilah saatnya Indonesia berstrategi berjuang menjadi ekonomi terbesar kelima dunia, dalam waktu sepuluh tahun. Indonesia diprediksi berbagai lembaga masuk lima besar perekonomian dunia di 2030.
Saat ini, kita sudah negara dengan PDB ketujuh terbesar dunia diukur dari paritas daya beli (purchase power parity), sementara dilihat dari PDB nominal urutan ke-17 dunia. Perjuangan menjadi top 5 tak mudah. Untuk mencapai itu, perlu New Economic Grand Scenario, dan kepemimpinan yang terbukti mampu.
Dato' Sri Tahir Pendiri Grup Mayapada