Tanggung Jawab pada Masa Depan Anak Bangsa
Agar pencegahan gagalnya pertumbuhan anak efektif, semua perkara tadi perlu koordinasi, kolaborasi dan komunikasi yang teguh.
Pasca-kejuaraan sepakbola dunia kemarin mungkin sejumlah anak memimpikan jadi seperti Mbappe, Messi, atau bintang Maroko Hakim Ziyech. Namun mana mungkin main di Piala Dunia, jika fisik lemah dan kekurangan gizi masih menghantui masyarakat?
Sebagaimana ditulis Harian Kompas (9/12/2022), selain sulitnya menjangkau pangan bergizi, lebih dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang (68 persen populasi), tak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Tak pelak, kita pun menjadi sangat prihatin dengan masa depan anak-anak bangsa.
Urusan gizi memang perkara penting yang belum dipahami banyak orang. Akibat kekurangan gizi, masyarakat bukan hanya terancam pertumbuhan fisiknya, tetapi kita juga sulit mencetak generasi bangsa yang sehat dan cerdas.
Baca juga :Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi
Problem malnutrisi
Data Kompas (25/7/2022) menunjukkan, pada 2021 seba- nyak 24,4 persen anak Indonesia mengalami tengkes (stunting). Angka tertinggi ada di tujuh provinsi, yakni NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, NTB, dan Aceh.
Angka itu sejalan dengan yang terjadi secara global. Menurut Pascale Vonaesch (2018), satu dari setiap empat anak balita di dunia mengalami tengkes. Akibatnya, anak mudah sakit, lambatnya perkembangan psikomotor anak, dan meningkatnya angka kematian anak.
Bukan hanya tengkes. Menurut catatan lembaga PBB untuk ibu dan anak (UNICEF), di samping tingginya angka kejadian tengkes pada jutaan anak dan remaja Indonesia, negeri kita juga masih terancam jutaan kejadian anak kurus (wasting). Ditambah 'beban’ ekstra ketika terjadi juga kegemukan dan obesitas pada jutaan anak lain.
Secara umum semua itu termasuk malnutrisi. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), malnurisi merujuk pada kurangnya, berlebihnya, atau tak seimbangnya asupan energi dan/atau nutrisi atau gizi (nutrient).
Ada tiga kelompok malnutrisi. Pertama, kurangnya nutrisi (undernutrition) termasuk wasting (berat badan lebih rendah dari standar untuk ukuran tinggi tertentu), dan tengkes (tinggi di bawah standar bagi umur tertentu). Jika tengkes berjalan kronis akibat kurang gizi dan infeksi kronis, wasting merupakan sebuah bentuk malnutrisi yang bisa berbahaya pada anak dan terjadi dalam tempo singkat (akut).
Selain tengkes dan kurus, ada pula anak yang berat badannya rendah dibanding umur yang seharusnya (underweight). Ketiganya jadi penyebab gagalnya pertumbuhan anak di dunia.
Kedua, pada malnutrisi terkait micronutrient, salah satunya adalah kurangnya konsumsi vitamin dan mineral esensial (seperti zat besi, iodine, vitamin A) yang penting bagi produksi sejumlah enzim, hormon dan berbagai zat yang dibutuhkan bagi tumbuh-kembangnya anak.
Ketiga adalah jenis kelebihan berat dan obesitas yang digolongkan sebagai penyakit tidak menular terkait diet (diet-related noncommunicable diseases), seperti penyakit jantung, stroke, diabetes dan kanker tertentu.
WHO memperkirakan pada 2016 tak kurang dari 155 juta balita menderita tengkes, sementara 41 juta balita kelebihan berat badan.
Lingkaran setan gizi buruk
WHO memperkirakan pada 2016 tak kurang dari 155 juta balita menderita tengkes, sementara 41 juta balita kelebihan berat badan. Masalahnya, ada 45 persen kematian balita (sekitar tiga jutaan) di dunia berkaitan dengan undernutrition, dan kebanyakan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Sementara, di negara-negara itu angka kelebihan berat badan dan obesitas terus naik.
Memang malnutrisi merupakan problem kesehatan masyarakat yang membawa dampak amat besar pada kesehatan semua. Ini merupakan faktor risiko meningkatnya penyakit dan kematian di dunia, dan menghasilkan gangguan perkembangan kognitif, kemampuan fisik, buruknya prestasi di sekolah, dan rendahnya produktivitas.
Repotnya, malnutrisi sangat bersahabat dengan kemiskinan. Malnutrisi menyebabkan kemiskinan, walakin kemiskinan juga mengakibatkan malnutrisi. Bagai lingkaran setan.
Yang penting dicatat, ada banyak hal lain yang turut menyebabkan tingginya angka gizi buruk, seperti minimnya pengetahuan (literasi), praktik pengasuhan anak yang salah, pemberian makan anak yang tak memadai, kesalahan pola makan saat hamil (sehingga bayi yang dilahirkan kurang berat badan), dan diet ngawur di masa remaja.
Semua itu diperparah kenyataan adanya sekitar 55 juta orang di seluruh negeri (22 persen penduduk) yang masih mempraktikkan buang air besar sembarangan, mengakibatkan tingginya penyakit diare dan gizi buruk di masa kanak-kanak.
Sejatinya, menurut para ahli, perkara gizi sudah harus dikelola bahkan sejak anak dalam kandungan, yakni pada 1.000 hari pertama kehidupan seseorang, mulai saat konsepsi (terciptanya) janin dalam kandungan hingga ia berumur dua tahun. Itulah masa emas hidup seorang anak, yang amat menentukan masa depan kesehatan mereka.
Belakangan, sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa masa emas itu berlanjut sampai dengan periode sebelum anak masuk sekolah. Penelitian Marina Roberts dan kawan-kawan di jurnal Nutrients (Februari 2022) menunjukkan pentingnya gizi seimbang selama 1.000 hari kedua kehidupan anak.
Studi Marina Roberts dan kawan-kawan itu meneliti dampak intervensi nutrisi terhadap perkembangan kognitif anak usia dini (preschool-age).
Mereka merangkum sejumlah besar eksperimen di wilayah perkotaan (urban) dan pedesaan (rural) berbagai negara maju dan negara berpenghasilan rendah sampai menengah, termasuk India dan Indonesia, pada periode 2004-2020.
Agar pencegahan gagalnya pertumbuhan anak efektif, semua perkara tadi perlu koordinasi, kolaborasi dan komunikasi yang teguh.
Studi ini di antaranya menyimpulkan jika anak menerima asupan yang ditambahi zat besi dan beragam nutrien esensial, maka akan terjadi perbaikan kemampuan kognitif pada anak usia pra-sekolah, 2-6 tahun. Bahkan, bagi anak dalam kondisi cukup gizi sekali pun, peningkatan konsumsi ikan akan banyak menghasilkan perbaikan daya kognitif mereka.
Para ahli tahu, tengkes di dunia terutama karena miskinnya nutrisi dan infeksi berulang pada saluran cerna, sebab usus yang meradang membawa berbagai perubahan patologis di saluran cerna anak, sehingga terjadi gangguan penyerapan makanan, vitamin dan mineral.
Perkara ini jelas berhubungan juga dengan daya beli pangan seimbang, kondisi politik dan ekonomi tempat anak hidup.
Walakin, seandainya daya beli masyarakat kita untuk beli pangan bergizi meningkat pun —yang menurut Kompas tertinggi dibandingkan sejumlah negara di Asia Tenggara lain — penulis melihat adanya persoalan penting lain yang harus dibenahi. Yakni, rendahnya literasi gizi dan kesehatan, serta beredarnya mitos yang salah di sebagian masyarakat kita.
Saya ingat ketika bekerja untuk UNICEF beberapa tahun silam, ada informasi bahwa di sebagian daerah di Indonesia masih terdapat berbagai mitos seperti anak perempuan dilarang makan nanas, atau keharusan membuang kolostrum (ASI yang pertama keluar) segera setelah ibu melahirkan.
Betapa disayangkan, zat yang bagaikan emas 24-karat (dengan kandungan protein, mineral, enzim, dan antibodi yang tinggi) bagi bayi itu justru disia-siakan.
Ini masih ditambah kebiasaan tak berdasar: menambahkan minuman lain di samping ASI. Padahal satu di antara penyebab tengkes pada anak adalah rendahnya angka menyusui eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan.
Meski begitu, memperbaiki nutrisi sendiri hampir bisa dipastikan tak akan cukup. Banyak studi menunjukkan, usaha menggenjot perbaikan nutrisi mesti diintegrasikan dengan intervensi peningkatan kualitas air, sanitasi dan kebersihan (water sanitation and hygiene/WASH) seperti disarankan Sophie Budge dkk (Nutrition Reviews, 2019).
Guna mengakhiri kemiskinan, perbaikan lingkungan dan pengurangan kesenjangan; mesti diperhatikan hal-hal terkait penyebab penyakit di tempat anak hidup dan bermain (termasuk kontaminasi tinja hewan peliharaan), higiene pengasuhan anak dan praktik-praktik pemberian makanan, perbaikan air minum, WASH dan pendidikan nutrisi.
Selain itu, perubahan kebiasaan/perilaku, di samping faktor- faktor terkait nutrisi seperti menyusui yang kontinu dan perba- ikan kualitas dan kuantitas diet.
Agar pencegahan gagalnya pertumbuhan anak efektif, semua perkara tadi perlu koordinasi, kolaborasi dan komunikasi yang teguh. Terjalin dalam berbagai sektor (multisektoral), dengan penekanan pada kebijakan WASH dan nutrisi di tingkat lokal (desentralisasi), semua berfokus pada bayi dan anak.
Upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini sudah dilakukan pemerintah, tetapi masih perlu ditingkatkan.
Jalan keluar
Diakui memang tak mudah menuntaskan urusan yang berkaitan dengan ratusan juta penduduk. Di tengah keterbatasan yang ada, tampaknya solusi yang paling masuk akal adalah melibatkan semua pemangku kepentingan; mulai dari politisi, komunitas, dunia usaha, hingga agamawan. Upaya melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini sudah dilakukan pemerintah, tetapi masih perlu ditingkatkan.
Untuk itu, setidaknya ada tiga pendekatan partisipatif yang dapat dilakukan. Pertama, melalui kebijakan politik yang dilakukan secara sistematis lewat partisipasi para pemimpin politik, mulai dari kementerian, pemimpin daerah, hingga RW/RT, dan pimpinan legislatif.
Di antaranya adalah dengan menerbitkan undang-undang (UU) atau peraturan baru, atau memperbaiki UU dan aturan yang sudah ada, yang pasal-pasalnya menetapkan kebijakan terkait perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat.
Bila perlu dapat pula didirikan badan khusus multisektoral yang mengelola perkara kesehatan dan gizi. Politisi dapat dilibatkan, misalnya dengan mewajibkan kader partai politik untuk ikut menyebarkan pesan perbaikan gizi di daerah pemilihan masing-masing.
Kedua, mobilisasi sosial dengan menggandeng para kepala dinas terkait, lembaga agama, pemimpin agama, tokoh masyarakat, media, LSM, sekolah, akademisi, dan sebagainya.
Agar pencegahan gagalnya pertumbuhan anak efektif, semua perkara tadi perlu koordinasi, kolaborasi dan komunikasi yang teguh.
Mobilisasi sosial juga dilakukan di tingkat komunitas dengan menggerakkan masyarakat hingga ke ujung negeri. Tujuannya, untuk membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menyiapkan generasi yang sehat dan kuat, antara lain melalui makanan yang bergizi dan pemberian ASI sampai dua tahun usia anak.
Pendekatan ketiga adalah komunikasi publik. Komunikasi publik ini bertujuan mengubah perilaku masyarakat secara efisien dan dilaksanakan misalnya bersama tokoh lokal, para ibu, ayah, dan sesepuh keluarga dalam banyak komunitas.
Dalam komunikasi publik ini, kita perlu memanfaatkan para influencer media sosial atau pemimpin opini (opinion leader) di dunia digital, dalam penyebaran pesan-pesan kesehatan dan gizi pada para pengikut mereka.
Semua itu bukan untuk menggantikan berbagai program yang telah dijalankan pemerintah, tetapi melengkapi, agar pesan publik terkait gizi dan kesehatan bisa menjangkau lebih banyak orang. Sebab, masa depan generasi depan bergantung pada kita semua.
Syafiq Basri Assegaff Dokter dan Pengajar di LSPR Communication & Business Institute, Jakarta.