Setelah dilantik sebagai Panglima TNI, Laksamana TNI Yudo Margono seyogianya mengambil sifat-sifat yang asertif untuk mencegah celah-celah yang selama ini dianggap "kecolongan" dalam konsep keamanan.
Oleh
PROBO DARONO YAKTI
·4 menit baca
Pada 19 Desember lalu Presiden Joko Widodo melantik Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Panglima TNI. Sederet pekerjaan rumah menanti perwira yang berkarier dari Akademi Angkatan Laut (AAL) tersebut. Termasuk kelanjutan dari Minimum Essential Forces (MEF), ancaman-ancaman terhadap pertahanan yang multidimensi, termasuk gejolak geopolitik yang timbul di kawasan Indo-Pasifik. Berikut deretan persoalan yang masih perlu diselesaikan oleh panglima kelahiran Madiun ini ke depan.
Pertama, sebagai Panglima TNI yang ke-22 sejak Jenderal Besar Sudirman, Yudo merupakan bagian dari TNI yang bertumpu kepada MEF. Beberapa waktu lalu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membeli multipurpose fighter F-15 dari Amerika Serikat dan jet tempur Rafale dari Prancis.
Kendati memantik pro-kontra, pembelian alutsista ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah modernisasi alutsista dari matra udara. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan yang belum memenuhi di dalam matra lain, khususnya TNI-AL yang merupakan tempat asal Yudo. Proyeksi yang masih dapat dikejar setidaknya hingga 2024 adalah rencana pengadaan kapal selam kelas Chang Bogo yang telah diproduksi di Indonesia berkat kerja sama dengan Korea Selatan.
Kedua, Yudo perlu memperhatikan keamanan perbatasan yang dianggap rentan dari berbagai macam ancaman baik tradisional dan non-tradisional. Salah satu yang menjadi lingkup keahlian Yudo di laut adalah menangkal penyelundupan barang-barang ilegal termasuk narkoba dan perdagangan manusia, yang bertitik tumpu kepada AL sebagai bagian dari Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN).
Tidak hanya penyelundupan dan perdagangan manusia, pekerjaan rumah Yudo juga memastikan bahwa perairan Indonesia bebas dari illegal, unreported, and unregulated fishing yang kerapkali terjadi. Perlu komitmen kuat dari seorang Panglima TNI yang berasal dari matra laut untuk menyatakan ketegasan sikap terkait dengan persoalan ini.
Ketiga, masih tidak jauh dari poin kedua, maka di bawah kepemimpinan Yudo juga perlu dipastikan bahwa sebagai tentara rakyat dan tentara profesional, TNI dapat menggandeng mitra-mitra yang beririsan baik di darat, laut, dan udara dalam konteks pertahanan negara.
Dalam lingkup perairan saja, untuk menghadapi persoalan-persoalan laten yang terus terjadi dan bergejolak, TNI seyogianya semakin memperkuat kemitraan dengan berbagai instansi. Ini mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan (dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea Cukai), Kejaksaan Agung RI, dan juga Badan Keamanan Laut.
Dalam persoalan Laut China Selatan, Indonesia dalam hal ini TNI, perlu mengambil posisi yang serius dalam konflik yang telah berkecamuk sejak periode pertama kepresidenan Jokowi tersebut.
Keempat, panglima sebagai pucuk pimpinan tertinggi TNI perlu menaruh perhatian kepada kegaduhan yang kerapkali ditunjukkan oleh perwira-perwiranya yang kerap berseteru dan adu statement dengan politisi. Sudah saatnya sebagai seorang panglima, Yudo dapat dengan sikap yang tenang mampu mendamaikan dan meyakinkan bahwa kemitraan antar lembaga jauh lebih penting daripada mengedepankan aspek ego-sektoral yang merugikan institusi.
Kelima, mengenai persoalan Laut China Selatan. Dalam memahami kondisi Laut China Selatan sampai saat ini, potensi ancaman dapat timbul mengingat intensitas negara-negara yang terlibat claimant-state akan membahayakan Indonesia yang memang sedari awal sudah memosisikan diri menjadi non-claimant state.
Namun dalam persoalan Laut China Selatan, Indonesia dalam hal ini TNI, perlu mengambil posisi yang serius dalam konflik yang telah berkecamuk sejak periode pertama kepresidenan Jokowi tersebut. Unjuk kekuatan perlu diadakan secara berkala di dalam perairan Natuna Utara untuk sekaligus meneguhkan eksistensi RI di wilayah terdepan Indonesia yang kerap bersinggungan dengan nelayan Vietnam dan China.
Keenam, masih dalam persoalan Laut China Selatan, Yudo perlu mempertimbangkan legasi-legasi kebijakan yang telah dibuat sejak masa kepemimpinan Panglima sebelumnya, Hadi Tjahjanto dan Andika Perkasa. Misalkan optimalisasi peran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), Komando Armada RI, dan penggunaan pangkalan militer terpadu di Pulau Natuna Besar. Ketiganya memiliki peran tidak hanya sarana gertak sambal negara lain yang memiliki indikasi mengancam, namun juga secara strategis dapat dimobilisasi sewaktu-waktu ketika terjadi kondisi kahar.
Ketujuh, terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Yudo bersama-sama dengan Kapolri perlu menyusun strategi dan pendekatan yang distingtif. Selama ini, pendekatan yang ditekankan oleh kepolisian dan militer adalah pendekatan yang dianggap humanis, kendati dunia internasional selalu berteriak bahwa Pemerintah RI merupakan pelanggar HAM.
Dalam arah yang berlawanan justru terdapat suatu inkonsistensi dari pemerintah ketika mendefinisikan OPM sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB), mengingat level yang ditimbulkan setara dengan aksi terorisme. Hal ini juga sempat diungkap oleh Jokowi pada saat pelantikan akan adanya suatu tindakan tegas terhadap KKB OPM. Pengalaman-pengalaman operasi Yudo di laut maupun menjadi komandan pangkalan di sini diperlukan untuk melokalisasi permasalahan KKB dengan pendekatan yang justru berbeda.
Terakhir, mengingat latar belakang Yudo sebagai seorang dari TNI Angkatan Laut, maka ada satu lagi pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan Yudo: komitmen Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Kendati itu bukan wewenang Yudo secara keseluruhan dan dianggap retorika politik Presiden Jokowi pada 2014, namun Yudo ketiban sampur ketika latar belakang Yudo ini dikaitkan dengan penguatan aspek-aspek pertahanan maritim.
Selama ini, pertahanan maritim dikaitkan dengan Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) dan belum ada evolusi strategi kemaritiman yang signifikan untuk menopang pertahanan negara. Besar harapan kita bahwa kepemimpinan Yudo akan memberikan angin segar bagi reformasi TNI yang semakin modern dan disegani oleh dunia internasional. Semoga.
Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga; Deputi Direktur Program Stratagem Indonesia