Proporsional Terbuka atau Tertutup
Pilihan sistem pemilu adalah soal selera politik, kemauan elite, dan kepentingan besar yang ingin dicapai. Pada prinsip dan filosofinya, semua sistem pemilu sama-sama memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi tengah menguji materi pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional daftar terbuka dalam Undang-Undang Pemilu.
Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mengganti sistem pemilu anggota legislatif dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup (Kompas, 30/12/2022). Permohonan uji materi dilakukan sejumlah politisi dan warga negara agar Pasal 168 Ayat 2 dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sejak awal era Reformasi, penerapan sistem pemilu proporsional selalu menuai perdebatan. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem proporsional adalah sistem pemilu yang dipilih para pembuat kebijakan. Variasinya relatif terbatas: menggunakan proporsional tertutup, setengah terbuka, atau terbuka penuh.
Proporsional tertutup digunakan di Pemilu 1955 (dengan perbedaan adanya calon perseorangan), sepanjang pemilu era Orde Baru, hingga Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004 sistem proporsional ”sete- ngah” terbuka diterapkan. Proporsional terbuka (penuh) mulai diterapkan sejak adanya Putusan MK No 22-24/ PUU-VI/2008 menjelang Pemilu 2009, mengoreksi penerapan proporsional ”setengah” terbuka jadi terbuka penuh, yang berlaku hingga Pemilu 2024.
Sejak awal era Reformasi, penerapan sistem pemilu proporsional selalu menuai perdebatan.
Perdebatan atas tiga variasi sistem proporsional senantiasa muncul menjelang pemilu. Perdebatan yang sama kembali terulang dengan adanya uji materi ke MK terkait dengan varian manakah yang relevan, konstitusional, dan terbaik untuk diterapkan di Indonesia.
Semua konstitusional
Secara tekstual, teoretis, dan kontekstual, ketiga varian itu bukanlah pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). Demikian pula penggunaan sistem pemilu apa pun; proporsional (terbuka, setengah terbuka, atau tertutup), majoritarian, atau campuran; pada hakikatnya tidak melanggar UUD 1945.
Begitu pula dengan penerapan sistem kepartaian multipartai yang ekstrem atau moderat, dwipartai, presidensialisme dengan sistem mayoritas, dan sistem distrik berwakil banyak. Semua pilihan variasi sistem pemilu, baik untuk pemilu legislatif, presiden, maupun pilkada, tak melanggar asas konstitusional.
Secara filosofis, semua sistem pemilu yang tersedia saat ini adalah instrumen demokrasi untuk pergantian kepemimpinan dan kekuasaan secara damai yang tak melanggar konstitusi negara mana pun, kecuali tersirat ada pengecualian pada suatu konstitusi negara. Karena itu, pertimbangan inkonstitusional sistem pemilu sebenarnya tidak memiliki justifikasi teoretis, tekstual, kontekstual, dan substansial yang memadai.
Meskipun pada UUD 1945 Pasal 22 E disebut bahwa peserta pemilu adalah parpol, bukan berarti tak dimaknai hanya mengacu pada sistem proporsional tertutup karena pada hakikatnya makna parpol sebagai peserta pemilu mengacu pada prinsip organisasi partai, kader-kader partai, dan turunan lainnya.
Posisi individu atau orang, bukanlah calon perseorangan seperti di Pemilu 1955. Individu atau orang tetap manivestasi partai karena harus dicalonkan oleh partai, bukan atas kehendaknya sendiri. Tanpa persetujuan partai, individu tak mungkin bisa jadi calon anggota legislatif (caleg) di sistem mana pun. Ini prinsip universal yang tak perlu diperdebatkan.
Tafsir itu selaras dengan hakikat parpol menurut teori dan UU, seperti Pasal 1 Ayat 1 UU No 2/2011 tentang Parpol.
Secara lebih rinci, cakupan dan isi tentang parpol pada pasal-pasal lainnya juga menunjukkan pemaknaan parpol melingkupi organisasi, struktur organisasi, nilai, kepengurusan, dan kader. Membatasi partai hanya sebagai simbol ”lambang parpol” yang berhak dipasang di surat suara adalah bagian dari deviasi substansial karena caleg bukan merepresentasikan dirinya sendiri, melainkan wakil dua pihak, partai dan yang diwakili.
Baca juga : Antara Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup
Ini biasanya dijadikan sebagai dasar pada sistem proporsional terbuka, di mana tahapan konversi suara menjadi kursi partai dilakukan setelah ada akumulasi suara parpol dan caleg, yang kemudian dihitung dengan divisor sainte league secara bersama-sama dengan suara dari partai lain di suatu daerah pemilihan (dapil). Dengan cara seperti itu, prinsip universal berlaku, bahwa semua sistem pemilu tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi suatu negara sepanjang tidak ditegaskan secara jelas pada konstitusinya.
Problematikanya, pilihan sistem pemilu umumnya adalah soal ”selera” elite partai dan penentu UU. Dalam konteks Indonesia, ”selera” itu terkunci oleh kewenangan MK yang bersifat final dan mengikat yang menetapkan rumusan sistem pemilu di Indonesia adalah proporsional terbuka (Putusan MK No 22- 24/PUU-VI/2008, 23 Desember 2008).
Model putusan waktu itu tak memberi opsi seperti pada Putusan MK No 55/ PUU-XVII/2019 yang menyebut ada lima model keserentakan pemilu konstitusional yang bisa dipilih pembuat UU.
Dilema sistem proporsional
Reformasi kepemiluan di Indonesia hanya berputar-putar pada isu sensitif yang terus berulang, yakni sistem pemilu legislatif, ambang batas parlemen, rumus konversi suara partai menjadi kursi, dan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Padahal, secara sistem pemilu, ketiga varian sistem proporsional membawa cacat bawaan.
Perdebatan keunggulan dan kelemahan tiap-tiap varian berhubungan erat dengan implikasi dalam penerapannya. Secara teoretis ataupun praksis, cacat bawaan sistem proporsional sering disandingkan dengan cara antagonis.
Pertama, sistem proporsional dengan varian apa pun akan tetap menonjolkan peran dan fungsi parpol dalam proses kandidasi dan rekrutmen politik. Bedanya, pada proporsional ”setengah terbuka” dan terbuka, pemilih diberi ruang untuk menentukan pilihan atas dasar suara terbanyak pada urutan daftar calon partai sebagai anggota yang berhak menduduki kursi partai.
Perdebatan keunggulan dan kelemahan tiap-tiap varian berhubungan erat dengan implikasi dalam penerapannya.
Namun, yang perlu diingat, seorang calon tidak mungkin akan memperoleh kursi otomatis (seperti pada sistem majoritarian), jika partainya tak lolos ambang batas parlemen dan memperoleh kuota kursi di dapil. Pada proporsional tertutup agak berbeda karena perolehan kursi partai akan diberikan secara otomatis ke caleg nomor urut kecil yang telah didaftarkan ke penyelenggara pemilu.
Kedua, konsekuensi dari kompetisi politik, proporsional tertutup mendorong parpol bekerja dan membangun kinerja institusional. Umumnya, partai lebih ”giat” bekerja ketimbang pada proporsional terbuka, di mana caleg harus mati-matian memperoleh dukungan suara, selain agar memperoleh suara terbanyak, juga harus mendongkrak suara partai agar memperoleh kuota kursi. Partai tak ubahnya event organizer.
Data Pemilu 2009, 2014, dan 2019 menunjukkan fenomena itu. Partai menyerahkan dana kampanye ke calon yang jumlahnya mayoritas (93 persen), sisanya bersumber dari dana kampanye partai. Modal partai jadi jauh lebih sedikit dan calon harus berjuang dengan pola perjuangan masing-masing.
Proporsional terbuka juga mendorong terjadinya kompetisi yang berat, liar, pada intrapartai dan antarpartai. Bahkan, terjadi deviasi jaringan kerja antarcaleg yang tak linear dengan pola koalisi yang dibangun di tingkat nasional. Partai A yang berkoalisi dengan capres B, caleg dari Partai A bisa berkolaborasi dengan caleg Partai G yang berbeda koalisi capres pada suatu dapil.
Kurang bekerjanya partai pada proporsional terbuka dianggap bisa jadi kendala bagi pelembagaan parpol secara jangka panjang. Partai cenderung berorientasi pada suara, dengan membuka ruang sebesar-besarnya bagi calon yang berpotensi memperoleh suara, sehingga kader, pegiat, dan petugas partai bisa jadi tak berkesempatan jadi anggota legislatif akibat demokrasi elektoral yang berat.
Ketiga, fenomena politik transaksional. Ketiga variasi sistem proporsional sama-sama memberikan ruang politik transaksional, termasuk politik uang. Yang membedakan hanya derajat dan magnitudonya. Transaksi politik dan ekonomi proporsional terbuka jauh lebih meluas dan intens sebagai dampak dari biaya politik yang berlapis-lapis dan mahal.
Pada proporsional tertutup, ruang transaksi ”dipersempit”, mungkin terjadi pada saat penentuan urutan nomor daftar calon meski di beberapa partai sudah mulai dilakukan dengan metode kombinasi dan tak semuanya transaksi.
Pada prinsip dan filosofinya, semua sistem pemilu sama-sama memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Keempat, oligarki partai dianggap akan jauh lebih tumbuh pada proporsional tertutup manakala partai tak memiliki sistem rekrutmen dan kandidasi yang transparan. Siapa yang dekat dengan elite partai, tingkat kemungkinannya jauh lebih besar untuk memperoleh nomor urut kecil. Pada konteks itu, sebenarnya proporsional tertutup juga bisa memberikan ruang pada pengurus dan pegiat [pekerja] partai untuk memperoleh kesempatan terpilih dengan memperoleh nomor urut kecil dibandingkan dengan pada proporsional terbuka, yang mendasarkan pada ”elektabilitas, isi tas, dan probabilitas”.
Kelima, dari sisi keterwakilan perempuan untuk menjadi calon terpilih, peluangnya jauh lebih tinggi pada proporsional tertutup ketimbang pada proporsional terbuka. Metode pencalonan zig-zag dengan memberikan kewajiban pada nomor kecil tertentu untuk caleg perempuan hanya mungkin dilakukan pada proporsional tertutup. Artinya, peluang untuk mendorong keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen jauh lebih terbuka pada proporsional tertutup ketimbang proporsional terbuka.
Keenam, peluang ruang kompetisi dan hubungan calon dengan wakil. Pada proporsional terbuka peluang pemilih dapat mengenali calon yang akan dipilihnya, adanya ”kedekatan” calon dengan pemilih, dan oligarki partai relatif berkurang. Sebaliknya, pada proporsional tertutup, kecenderungan memilih ”kucing dalam karung” dan tingginya oligarki partai sudah terbukti pada penerapan sistem ini di era sebelumnya.
Ketujuh, tingkat kompatibilitas dengan sistem yang lain. Proporsional terbuka pada desain pemilu serentak seperti Pemilu 2019 menimbulkan keruwetan dan kompleksitas teknis penyelenggaraan pemilu. Desain pemilu serentak yang memungkinkan adanya efek ekor jas tak terjadi akibat desain surat suara pemilu yang terpisah antara pileg (DPR) dan pilpres.
Secara teknis kepemiluan, dengan proporsional terbuka hampir muskil menyatukan suara pileg dan pilpres akibat banyaknya partai dan nama kandidat yang harus tertera di surat suara. Sebaliknya, dengan proporsional tertutup, itu sangat mungkin diterapkan sehingga selain menghemat juga mempermudah teknis penyelenggaraan. Di tingkat pileg (DPRD provinsi dan kabupaten/kota) juga bisa disatukan di satu lembar kertas suara, dengan sisi berbeda.
Sebaliknya, dengan proporsional tertutup, itu sangat mungkin diterapkan sehingga selain menghemat juga mempermudah teknis penyelenggaraan.
Opsi keputusan MK
Pada prinsip dan filosofinya, semua sistem pemilu sama-sama memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pembelajaran dari praktik pemilu di dunia dan juga Indonesia, tak ada sistem pemilu yang sempurna.
Pilihan sistem pemilu adalah soal selera politik, kemauan elite, dan kepentingan besar yang ingin dicapai. Pertanyaannya, apakah MK akan memutus dengan cara menolak gugatan uji materi pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional daftar terbuka dalam UU Pemilu ataukah akan membuat terobosan hukum baru, seperti pada Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 dengan memberikan opsi bahwa semua sistem pemilu memiliki visibilitas yang sama, bergantung pada kemauan pembuat UU (DPR dan pemerintah).
Moch NurhasimDirektur Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan-DKP BRIN