Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat perlu segera direvisi karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor. Sementara itu, tahun 2023 adalah tahun politik menjelang pemilu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sudah sebulan lebih, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dikeluarkan, tetapi belum dibahas di DPR.
Saat perppu itu dikeluarkan, pada 30 Desember 2022, DPR sedang reses. Namun, mulai 10 Januari, sidang Dewan sudah dibuka, tetapi perppu belum kunjung dibahas. Padahal, pada 16 Februari nanti DPR memasuki reses kembali.
Sementara Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Ayat (3), jika tidak mendapatkan persetujuan, maka perppu itu harus dicabut.
Mengapa DPR tidak segera membahasnya? Apakah perppu ini tidak memenuhi unsur kegentingan? Apakah DPR telah kehilangan fokus atau sense of crisis karena sudah sibuk mempersiapkan pemilu yang tinggal tersisa waktu setahun?
Perppu Cipta Kerja merupakan perbaikan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Semangatnya melakukan reformasi struktural untuk memperbaiki daya saing dan iklim investasi di Indonesia, ketenagakerjaaan, pemberdayaan koperasi dan UMKM, serta percepatan proyek strategis nasional. Karena itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat dan terserak digabungkan dan diubah dengan cara sapu jagat atau metode omnibus.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai UU Cipta Kerja cacat formil sebab metode omnibus yang digunakan belum diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). UU Cipta Kerja pun dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu tetap berlaku, tetapi harus dilakukan perbaikan paling lama dua tahun sejak putusan MK dikeluarkan, 25 November 2021.
Pemerintah dan DPR menetapkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU P3. Metode omnibus telah menjadi salah satu metode pembentukan UU yang pasti, baku, dan standar. Kini, tinggal DPR menakar apakah perppu ini masuk dalam kategori kegentingan memaksa dan substansinya bermanfaat bagi negeri ini untuk menghadapi persaingan global yang kian sengit ini.
Pemerintah menilai kegentingan dari tiga aspek, yaitu global, nasional, serta limitasi putusan MK. Perang Rusia-Ukraina yang belum jelas kapan berakhir serta perkiraan sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi adalah aspek global yang genting. Tren penurunan rasio investasi dan penyerapan tenaga kerja, ditambah dengan tren pengurangan tenaga kerja pada tahun 2022 akibat dampak krisis global, adalah beberapa ancaman tingkat nasional.
Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pun perlu segera direvisi karena menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor. Sementara itu, tahun 2023 adalah tahun politik menjelang pemilu.
Kini tinggal DPR untuk menyikapinya. Dalam hukum, dikenal prinsip minus malum dan maximum bonum. Dalam mempertimbangkan sesuatu, bisa menimbang mana yang memiliki efek negatif paling kecil atau efek positif terbesar.