Pada 16 Rajab 1444 H atau Selasa (7/2/2023) ini, Nahdlatul Ulama genap berusia satu abad. Tekad dicanangkan untuk lebih berperan di tingkat nasional dan global.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Sejak pendiriannya oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri, Nahdlatul Ulama mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, 81,1 persen responden meyakini NU di usia seabad akan makin berkontribusi besar pada perkembangan dan kemajuan bangsa.
Upaya menjunjung toleransi antarumat beragama juga dicatat publik sebagai salah satu kiprah terpenting NU disampaikan oleh 76,7 responden.
Mayoritas responden, sebanyak 73,4 persen, juga menilai peran NU dalam menjunjung kebinekaan dan toleransi sudah optimal.
Data jajak pendapat Litbang Kompas ini mengukuhkan kiprah dan kontribusi NU selama ini, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dalam menjaga dan memelihara toleransi serta kebinekaan. Peran itu makin krusial di tengah ancaman radikalisasi dan intoleransi, yang akhir-akhir ini diperparah meluasnya hoaks gegara banjir informasi.
Kebinekaan bagi Indonesia sudah menjadi keniscayaan, seiring semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika, yang bermakna ’berbeda-beda tetapi tetap satu juga’, yakni Indonesia. Semboyan ini mudah dihafalkan, tetapi perlu upaya ekstra untuk mewujudkannya.
NU, dengan kekuatan pemahaman agama, kematangan dan keluasan ilmu para kiai dan tokoh mereka, serta jaringan di seantero Indonesia, setia menjaga keindonesiaan. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, harus berhadap-hadapan dengan mereka yang berhaluan berbeda.
Sebut saja kiprah guru bangsa dari NU yang juga presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sikap-sikap Gus Dur sejatinya berusaha mendudukkan perkara dalam hal bagaimana menjalankan Islam. Namun, kerap kali ditanggapi dan direspons berbeda oleh sebagian publik.
Salah satu yang populer dari Gus Dur ialah pernyataan ”Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Kita serap ajarannya, bukan budayanya”. Pernyataan ini ibarat melawan sebagian arus yang dalam satu kurun sedang tren, tetapi sebenarnya salah kaprah.
Soal betapa Gus Dur kontroversial diakui kiai senior pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, KH Mustofa Bisri. Dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Koridor, Gus Mus, panggilan Kiai Mustofa, menulis, ”Gus Dur tokoh kontroversial 24 karat. Sikap orang terhadapnya pun, kecuali yang terbiasa bersikap tawassuth wal i’tidaal (di tengah-tengah), terbagi dua. Kelompok yang mencari pembenaran, dan kelompok yang menilai negatif”.
Begitulah Gus Dur, begitu pula NU. Demi menjaga kebinekaan, keberagaman, dan toleransi di Indonesia kita, tokoh-tokoh NU senantiasa menyuarakan pendapat secara lugas dan bersikap tegas, dengan tetap menggunakan pendekatan musyawarah, sesuai kultur yang tumbuh di negeri ini.