Kebijakan pemotongan upah untuk meringankan beban pengusaha justru mengorbankan pekerja. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang, seharusnya kebijakan ketenagakerjaan dapat menjadi perisai bagi pekerja.
Oleh
NABIYLA RISFA IZZATI
·3 menit baca
Hukum ketenagakerjaan dalam sejarahnya muncul untuk melindungi hak-hak pekerja yang tertindas akibat revolusi industri. Namun, belakangan ini kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung bergerak ke arah sebaliknya.
Kemunculan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2023 (Permenaker 5/2023) yang melegalkan perusahaan padat karya tertentu berorientasi ekspor melakukan pemotongan upah pekerja hingga 75 persen adalah contoh terbaru dari tendensi salah arah aturan ketenagakerjaan yang tidak lagi protektif terhadap kepentingan pekerja. Jika tidak segera dikoreksi, kebijakan seperti ini akan makin menekan posisi pekerja yang rentan dalam sebuah hubungan kerja.
Pekerja adalah pihak yang berada dalam posisi lemah dalam sebuah hubungan kerja. Pemberi kerja, yang memiliki kuasa ekonomi jauh lebih besar, menempatkan pekerja pada posisi subordinasi yang seringkali tidak punya pilihan selain menerima kondisi kerja apa pun yang ditetapkan pengusaha.
Atas dasar itulah, sudah sewajarnya hukum ketenagakerjaan dirancang protektif terhadap pekerja. Alasannya, hukum ketenagakerjaan secara teoretis ada untuk mengoreksi ketidakseimbangan kekuasaan antara pekerja dan pengusaha.
Hukum ketenagakerjaan secara teoretis ada untuk mengoreksi ketidakseimbangan kekuasaan antara pekerja dan pengusaha.
Tujuan utama hukum ketenagakerjaan seyogianya adalah memastikan hak-hak dasar pekerja, seperti upah yang adil dan layak, jam kerja yang wajar, serta melindungi pekerja dari ekploitasi dan diskriminasi. Pengusaha, di sisi lain, tetap akan mendapatkan manfaat dari hukum ketenagakerjaan karena aturan yang memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi pekerja akan menciptakan konsdisi yang stabil dan aman bagi bisnis untuk beroperasi. Ini menjadi fungsi selanjutnya dari hukum ketanagerjaan, yakni membantu mencegah konflik dan perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha.
Problem Permenaker 5/2023
Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Beleid ini memberikan pemakluman bagi perusahaan dengan kriteria tertentu untuk melakukan penyesuaian besaran upah pekerja hingga 75 persen dari besaran upah yang biasa diterima.
Secara normatif, kebijakan ini dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Pertama, kebijakan ini berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan jo Undang-Undang Cipta Kerja terkait upah minimum, apabila besaran upah setelah dipotong ternyata di bawah UMP/UMK di daerah tersebut.
Kedua, Peraturan Pemerintah 36/2021 tentang Pengupahan mengatur limitasi alasan pemotongan upah yang diperkenankan oleh hukum, yakni: untuk pembayaran denda, ganti rugi, uang muka upah, dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan kepada pekerja, utang atau cicilan utang pekerja, dan/atau kelebihan pembayaran upah. Artinya, ”terdampak perubahan ekonomi global” sebenarnya tidak termasuk alasan yang diperbolehkan untuk melakukan pemotongan upah.
Kementerian Ketenagakerjaan rasanya menyadari pertentangan ini sehingga tidak penggunaan frasa ”pemotongan upah” dalam Permenaker 5/2023, melainkan ”penyesuaian upah”. Ini adalah taktik yang sebelumnya pernah dilakukan dalam Permenaker 2/2021 yang juga melegalkan ”penyesuaian upah” dengan alasan pandemi Covid-19.
Akrobatik istilah ini pada akhirnya tetap berujung kepada legalisasi pemotongan upah dengan alasan di luar yang diperbolehkan oleh PP Pengupahan dan juga pembayaran upah di bawah UMP/UMK. Di lapangan, hal ini justru berpotensi mengakibatkan konflik hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja yang merasa hak normatifnya terlanggar.
Sebagian besar serikat pekerja/buruh di sektor industri padat karya juga sudah menyatakan menolak Permenaker 5/2023. Mereka menyebut bahwa sebelum ada peraturan ini pun, praktik pemotongan upah sudah kerap terjadi di industri padat karya. Permenaker ini hanya akan menjadi tambahan justifikasi dan karpet merah bagi pengusaha untuk melakukan pemotongan upah pekerja.
Mencegah PHK?
Kementerian Ketenagakerjaan berdalih bahwa Permenaker 5/2023 dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasan ini sebenarnya cukup problematik jika dipandang dari kacamata hukum ketenagakerjaan yang seharusnya protektif terhadap pekerja. Sebab, dalam hal ini, kebijakan yang diambil pemerintah untuk meringankan beban pengusaha justru mengorbankan pekerja yang merupakan mata rantai terlemah dalam hubungan kerja.
Padahal, masih banyak pilihan kebijakan lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meringankan beban pengusaha dan mencegah PHK. Pemerintah bisa memberikan insentif pengurangan pajak kepada pengusaha, misalnya. Bisa pula memberlakukan pengurangan biaya energi, listrik, maupun pengaturan tarif pembelian impor bahan baku material yang lebih menguntungkan bagi pengusaha. Namun, alih-alih mempertimbangkan pilihan-pilihan kebijakan tersebut, pemerintah memilih menyasar low hanging fruit melalui pemotongan upah pekerja.
Kementerian Ketenagakerjaan baiknya memikirkan dan meninjau ulang rasio dan implikasi dari terbitnya permenaker ini. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang, seharusnya kebijakan ketenagakerjaan dapat menjadi perisai bagi pekerja, alih-alih menjadi justifikasi untuk mengambil hak dasar pekerja untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UGM; Mahasiswa Doktoral Queen Mary University of London