Gelombang pengeroyokan ”online” ini mulai tampak kira-kira enam bulan yang lalu. Mencerminkan zaman global kita, yang rawan konflik.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Dengan kemajuan teknologi, ada kemajuan sosial. Semua orang setuju, kan? Termasuk di Bali. Termasuk perihal pengeroyokan. Dahulu, sampai akhir Orde Baru, jika orang dikeroyok di ”Pulau Dewata” ini, terjadi di jalan. Hingga babak belur.
Kini tukang keroyok tetap beroperasi, tetapi di internet. Lebih canggih! Apalagi di antaranya terdapat perempuan! Selain itu, tidak banyak berbeda: tetap ada gelombang-gelombangnya; dan orang yang dikeroyok kadang-kadang adalah penjahat nyata, kadang-kadang penjahat imajiner. Dan pada umumnya orang luar.
Gelombang pengeroyokan online ini mulai tampak kira-kira enam bulan yang lalu. Mencerminkan zaman global kita, yang rawan konflik. Apakah ulah musuhnya, yang pertama dijadikan sasaran amarah para pengeroyok gaya baru ini adalah orang Rusia. Dampak perang Ukraina tampaknya.
Mereka konon tidak tahu diri, tidak menghormati adat, tak mau atau tak bisa bayar, berbisnis penyewaan motor, tak mau berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Pokoknya mereka pengacau.
Menariknya, berselang beberapa bulan—apakah karena senjata makan tuan atau karena susah membedakan siapa warga Rusia dan siapa orang Australia—ada gelombang pengeroyokan baru; yang kini lebih merupakan keroyokan online terhadap para ”bule yang umum, siapa saja”. Menarik, kan?
Gara-gara Putin dan Biden, bule-bule yang bermusuhan satu sama lainnya kini bersatu dalam ”kebuleannya” di mata penduduk lokal. Lalu bersama-sama dikeroyok melalui berbagai koaran netizen. Karena tak pakai helm, kencing di tempat suci, memaki-maki polisi, dan lain-lain.
Semua tuduhan itu bisa jadi adalah benar, tetapi dengan catatan: peristiwa-peristiwa kecil yang sebenarnya terpisah-pisah di atas kini ditampilkan secara serentak di layar media sosial. Medsos menjadi ajang pengeroyokan.
Gejala ini tidak mengherankan: orang-orang bule sudah lama turun derajat. Kini kian rendah derajatnya: sudah lama tidak dipanggil ”tuan”; tidak lagi disebut ”tamiu” (tamu) seperti 40 tahun yang lalu; tidak lagi juga dipanggil ”orang bule”, penamaan yang diimpor dari Jakarta 25 tahun lalu. Kini cukup disebut sebagai ”bule” saja, yaitu penyandang albino, tanpa predikat ”orang”.
Jadi makhluk apa? Menarik, kan? Pantas menjadi kajian para sosiolog berkepala botak.
Apakah bule-bule Bali zaman sekarang ini memang lebih ”jahat” daripada pendahulunya. Tidak! Sebenarnya orang bule zaman dulu, meskipun lebih sedikit jumlahnya, sering lebih ”jahat” perilakunya. Patologi sosial dunia Barat saat itu menyerang masuk Bali secara serentak dengan pariwisata.
Para hippies pantai Kuta tak segan tampil high akibat mengonsumsi obat dan jamur terlarang. Umum mengetahuinya. Ada yang lebih berat lagi: para paedofil yang merambah pantai-pantai Bali Utara mencari korban di wilayah tertinggal.
Dengan berlalunya waktu, sirkulasi uang bertambah dan di antara para hippies di atas tak sedikit yang ”naik pangkat”, menjelma menjadi pedagang. Pedagang rambut untuk wig ibu-ibu Paris; pemborong cincin besar untuk para jagoan ghetto-ghetto hitam Amerika dll.
Mereka bahkan melahirkan ”beach fashion” Kuta beach yang kini merambah dunia, dan mencari ”furniture” ekspor hingga ke Solo dan Jepara. Alhasil, betapa pun busuk perilaku ”bule” tertentu, tak ada medsos untuk mengangkat perilakunya yang miring. Mereka merajai medan, dan kala itu, bukanlah mereka yang dikeroyok secara fisik.
Lalu apa yang terjadi. Apa latar belakang pengeroyokan bule di medsos dan media pada umumnya sekarang ini? Amat sederhana. Dipayungi oleh ”pariwisata budaya” gagasan Orde Baru, yang selama puluhan tahun meninabobokan orang dengan seruan tentang keadiluhungan adat dan agama, kuasa atas perekonomian Bali telah bergeser dari pengusaha setempat ke pemilik modal besar tak jelas juntrungannya.
Pemilik modal dan komisaris perusahaan ini bisa saja, bahkan wajib, mengaku diri sebagai penyanjung budaya Bali. Tetapi ujung-ujungnya mereka tidak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah laba. Duit!
Reaksi masyarakat bisa dipahami. Merasa dihantam, dipojokkan, direduksi pada peran pekerja pariwisata yang ”wajib” berkebudayaan Bali. Ada saja sebagian dari masyarakat Bali yang bereaksi dengan merangkul seruan identitas sebagai sarana perlawanan.
Singkatnya, Bali bisa jadi tetap surga, tetapi kini sudah ditimpa kutukan modernitas mutakhir: penyakit identitas kini bercokol juga di Bali. Hati-hati bermedsos ke depannya....