Agama dalam Arsitektur Negara-Bangsa
Berdasarkan hasil survei dan sejumlah indikator pembangunan bangsa, hasilnya menguatkan asumsi bahwa agama belum berkontribusi maksimal mendongkrak indeks kualitas kehidupan publik. Butuh peta jalan keterlibatan agama.
Ada sebuah pertanyaan sederhana, tetapi tidak mudah untuk dijawab: bagaimana menjelaskan rendahnya korelasi antara kuatnya peran agama di satu sisi dan rendahnya kualitas kehidupan publik di sisi lain?
Pertanyaan ini bukan hanya relevan bagi Indonesia, melainkan juga gejala umum di banyak negara yang mayoritas warganya menegaskan vitalitas peran agama di ruang publik tetapi tak memiliki kualitas kehidupan yang baik.
Merujuk pada hasil survei Pew Research Center (2020), Indonesia (bersama Filipina) menempati urutan tertinggi sebagai negara yang mayoritas penduduknya (96 persen) menempatkan agama sebagai faktor penting dalam kehidupan publik. Selanjutnya ada Kenya (95 persen), Nigeria (93 persen), Afrika Selatan (84 persen), Tunisia (84 persen), Brasil (84 persen), dan seterusnya.
Di papan tengah ada Meksiko (55 persen), Argentina (55 persen), Ukraina (50 persen), Bulgaria (50 persen), Yunani (53 persen), AS (44 persen), Israel (48 persen), Korea Selatan (45 persen), Slowakia (45 persen), dan lain-lain. Papan bawah ditempati sejumlah negara maju—yang sekuler—seperti Swedia (9 persen), Inggris (20 persen), Perancis (15 persen), Australia (19 persen), Belanda (22 persen), Jerman (37 persen), Jepang (39 persen), Spanyol (22 persen), Kanada (26 persen), dan lain-lain.
Baca juga :Refleksi Seabad Nahdlatul Ulama
Baca juga : Hamka, Muhammadiyah, dan Integrasi Bangsa
Belum kontributif
Apa yang bisa dibaca dari data di atas? Pertama, ternyata tidak ada korelasi antara tingkat kemajuan sebuah negara dan kuat-lemahnya peran agama di negara dimaksud. Kecuali AS yang berada di papan tengah, hampir semua negara sekuler mendominasi daftar negara maju. Dengan data ini, negara-negara sekuler menjadi lebih percaya diri terhadap keputusan mereka untuk menyingkirkan agama dari ruang publik.
Bahkan, data ini bisa saja digunakan sebagai senjata untuk ”mengambinghitamkan” agama sebagai faktor penghambat kemajuan sebuah bangsa.
Ambil saja sejumlah indikator pembangunan bangsa, seperti indeks persepsi korupsi. Merujuk hasil survei Transparency International 2022, Indonesia bersama Brasil menempati peringkat ke-96 dari 180 negara. Filipina di peringkat ke-117, Kenya (128), Nigeria (154), Afrika Selatan dan Tunisia—masih lebih baik—di peringkat ke-70. Di papan atas bertengger sejumlah negara maju-sekuler, seperti Denmark, Finlandia, Selandia Baru (ketiganya di peringkat ke-1), Swedia (4), Inggris (11), Perancis (22), Australia (18), Kanada (13), dan seterusnya.
Bagaimana dengan pembangunan di sektor lain seperti indeks pembangunan manusia? Berdasarkan data yang dirilis UNDP, lagi-lagi, negara-negara religius menempati urutan tengah-bawah dari total 191 negara; Indonesia di urutan ke-114, Filipina 116, Kenya 152, Nigeria 189, dan seterusnya. Di sisi lain, lagi-lagi, sejumlah negara sekuler menempati peringkat atas: Swiss (1), Norwegia (2), Eslandia (3), Australia (5), Denmark (6), Swedia (7), Jerman (9), Belanda (10), dan seterusnya. Sejumlah negara yang dikuasai oleh rezim totaliter bahkan menempati urutan terbawah, seperti Afghanistan (180) dan Sudan Selatan (191),
Data di atas baru menyangkut dua indikator pembangunan bangsa. Belum lagi jika kita melihat indikator lain, seperti indeks kebahagiaan, usia harapan hidup (life expectancy), gizi buruk dan tengkes, tingkat kematian ibu melahirkan, perkawinan usia dini, dan sebagainya. Jika kita kaji secara lebih saksama, hasilnya akan menguatkan asumsi bahwa agama belum menyumbangkan kontribusinya secara maksimal dalam mendongkrak indeks kualitas kehidupan publik. Tidak seperti di banyak negara sekuler, di negeri ini agama masih ”bertungkus-lumus” dengan berbagai persoalan dekadensi kehidupan publik.
Satu-satunya sektor kehidupan publik yang mendapatkan banyak sentuhan agama adalah politik. Namun, sentuhan agama lebih banyak bekerja di tingkat simbolik ketimbang substantif. Akibatnya, agama lebih banyak dijadikan sebagai alat politik untuk memenangi gelaran politik elektoral (pemilu). Di sinilah politik identitas banyak dieksploitasi oleh para pialang politik untuk memenangi pertarungan elektoral.
Menurut data Indikator Politik Indonesia, sebanyak 59,1 persen pemilih kita menegaskan bahwa agama menjadi faktor penting di Pemilu 2019. Pada Pilkada DKI 2017, penggunaan agama sebagai senjata politik elektoral bahkan lebih ”mematikan” lagi. Gerakan 212 adalah produknya. Gerakan ini berhasil mengagregasi 500.000 orang di kawasan Monas. Residu pilkada ini berlanjut di Pilpres 2019 yang membelah masyarakat atas dasar identitas keagamaan.
Tidak seperti di banyak negara sekuler, di negeri ini agama masih ”bertungkus-lumus” dengan berbagai persoalan dekadensi kehidupan publik.
Narasi dikotomik
Selain tiadanya korelasi antara agama dan kehidupan publik, faktor kedua adalah kuatnya narasi dikotomik di masyarakat kita; bahwa agama hanya berurusan dengan ibadah dan kehidupan akhirat; agama tak punya urusan dengan kehidupan dunia. Kuatnya narasi dikotomik semacam ini seolah hendak menegaskan sekularitas Indonesia, minimal mengisolasi agama dari urusan publik.
Dalam konteks ini, agama dipaksa untuk ”tahu diri” agar tak mengintervensi berbagai kebijakan publik, seperti perbaikan gizi, pengurangan tengkes dan kemiskinan, mitigasi bencana, terlebih urusan olahraga dan kesenian!
Agama dianggap tak punya relevansi, kewenangan, atau otoritas untuk mengurai berbagai persoalan bangsa. Agama hanya boleh ”bermain” di ruang privat warga bangsa, seperti ibadah, kawin-cerai, sengketa waris, dan semacamnya.
Persoalannya, Indonesia adalah negara religius yang mayoritas penduduknya (87 persen) memeluk agama Islam. Bagaimana mungkin agama yang dipeluk mayoritas warganya dibiarkan idle terhadap perbaikan kualitas kehidupan negara-bangsa? Mengapa agama dibiarkan hanya mengurusi kehidupan privat dan ukhrawi? Tentu saja ini sebuah absurditas berpikir yang harus diakhiri jika kita tak menghendaki agama hanya sebatas entitas simbolik di tengah kompleksitas kehidupan negara-bangsa.
Tentu saja sekularisme sebagai jalan banyak negara maju bukanlah pilihan tepat bagi negara yang menganut prinsip ”negara bukan-bukan” ini. Pilihannya adalah merelevansikan agama agar jadi kontributor penting dalam perbaikan kehidupan publik. Caranya adalah menggali energi transformatif nilai-nilai agama yang sejalan dengan isu-isu kebijakan publik seperti kesehatan dan perbaikan gizi, pembangunan manusia, ekonomi, kebahagiaan dan kesejahteraan (state of well-being), dan semacamnya.
Di sisi lain, kita perlu mereduksi keterlibatan agama dalam dunia politik praktis. Kita harus menjadi bangsa yang cerdas untuk belajar dari pengalaman ketika agama diseret terlalu jauh ke dalam politik praktis. Masyarakat kita jadi sensitif, mudah terprovokasi oleh hal remeh-temeh, dan terjebak dalam fragmentasi politik identitas dan kebencian. Yang harus terus dikembangkan dari keterlibatan agama di dunia politik adalah politik demokrasi, kebangsaan, kenegaraan, dan kemanusiaan. Di luar itu, narasi agama dan politik praktis terbukti sangat beracun (toxic) bagi masyarakat kita. Energi produktif agama menjadi terbuang secara percuma.
Kita harus menjadi bangsa yang cerdas untuk belajar dari pengalaman ketika agama diseret terlalu jauh ke dalam politik praktis.
Peta jalan
Agar agama mampu merelevansikan diri dengan kebutuhan bangsa, tak ada pilihan lain kecuali mereposisi agama sebagai faktor pengungkit (enabling factor) bagi terjadinya transformasi sosial (Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, 1995). Bangsa ini beruntung memiliki NU dan Muhammadiyah yang turut membantu program-program pembangunan bangsa. Namun, keduanya punya keterbatasan untuk mengakses dan mengeksekusi sejumlah program transformasi sosial akibat persoalan regulasi dan nomenklatur kebijakan publik.
Apa yang dilakukan oleh kedua ormas terbesar itu sebenarnya adalah menerjemahkan dan mengonversi norma atau doktrin agama dalam bentuk program- program pemberdayaan di berbagai bidang; sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Ke depan, kerja-kerja pemberdayaan perlu dijustifikasi oleh tafsir keagamaan yang lebih ekstensif dan otoritatif lagi.
Program Keluarga Berencana (KB) di masa Orde Baru sebenarnya menjadi salah satu contoh terbaik relevansi agama bagi pembangunan negara-bangsa. Melalui sinergi resiprokal antara lembaga pemerintah (BKKBN) dan sejumlah tokoh masyarakat dan agamawan (MUI), program KB bisa disosialisasikan dengan baik ke masyarakat.
Sayangnya, keterlibatan agama dalam program KB dianggap sebagai pemanfaatan agama untuk kepentingan politik Orde Baru. Selain itu, ada sejumlah kalangan internal yang menolak kebijakan KB dengan dalih agama (pula!).
Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah peta jalan terukur dan terstruktur tentang keterlibatan agama dalam pengembangan sejumlah kebijakan publik. Kementerian-kementerian kita bisa mengidentifikasi program-program yang memiliki arsiran kuat dengan agama dalam rangka mengakselerasi tercapainya program-program dimaksud. Tentu saja Kementerian Agama sangat potensial jadi leading sector untuk mengorkestrasikan kerja-kerja transformatif.
Jika agama masih dikehendaki tetap relevan bagi perbaikan kualitas kehidupan publik, kita harus mengambil energi transformatifnya, bukan politik simboliknya. Inilah yang dikehendaki Sir Muhammad Iqbal dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, Reconstruction of Religious Thought in Islam (1989), sebagai mengambil api Islam, bukan abunya, untuk melakukan kerja-kerja transformatif dan pemberdayaan.
Masdar HilmyGuru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya