Fundamental Ekonomi Indonesia
Indonesia akan jauh dari episentrum resesi ekonomi global 2023. Fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dan kuat serta resilien dibandingkan saat resesi 2008/2009. Tetap fokus pada kekuatan ekonomi domestik.
Pandemi Covid-19 yang menyebabkan resesi ekonomi dunia tahun 2020 telah meninggalkan warisan masalah bagi perekonomian global saat ini.
Hal ini wajar karena dunia tidak siap diterpa musibah kemanusiaan yang datang tiba-tiba dan sangat menakutkan. Berbagai kebijakan harus dikeluarkan secara kilat di sektor kesehatan, sektor riil, termasuk kebijakan fiskal dan moneter. Tak jarang kebijakan yang diambil penuh dengan risiko, bahkan mungkin tak terukur. Yang penting selamatkan dulu manusianya, urusan ekonomi dinomorduakan.
Tak terbantahkan, kebijakan yang supercepat dengan fokus utama pada nyawa manusia telah berhasil menjinakkan pandemi Covid-19. Dunia sekarang sudah merasa tenang dan lega karena pandemi Covid-19 sudah bisa dikatakan telah berakhir, aktivitas fisik dan sosial kembali normal.
Dengan lantang kita bisa mengatakan pandemi Covid-19 telah kita kalahkan. Namun, sayangnya, ketika perekonomian dunia pulih tahun 2021 dan berlanjut tahun 2022, timbul masalah baru yang tak terduga, di luar prediksi kita semua, dan ternyata rumit juga, serta dilema dalam mitigasinya.
Baca juga : Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Inflasi tinggi negara maju yang permanen
Disrupsi rantai pasok, gangguan suplai, serta gangguan distribusi barang dan jasa ternyata menghiasi pemulihan perekonomian dunia. Akibatnya inflasi merangkak naik signifikan, cenderung tak terkendali dan liar.
Semula kenaikan inflasi dianggap wajar dan normal, seiring pemulihan ekonomi, karena adanya kenaikan permintaan barang dan jasa. Pemerintah dan regulator dunia, khususnya bank sentral di dunia, menganggap dan meyakini tren kenaikan inflasi hanya bersifat sementara dan akan kembali normal dengan sendirinya.
Faktanya, keyakinan ini ternyata salah besar. Tengok saja Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Tren inflasi naik terus-menerus dan bersifat permanen. Kondisi ini semakin kompleks dan bencana perekonomian semakin nyata karena meletusnya perang Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022, yang kita tidak pernah tahu kapan berakhirnya.
Gangguan suplai dan produksi semakin menjadi-jadi dan meluas, krisis energi dan pangan semakin nyata, yang menyebabkan kenaikan inflasi semakin tidak tertahankan. Dalam empat puluh tahun terakhir, inflasi AS dan Eropa memecahkan rekor tertinggi, masing-masing sekitar 9,1 persen (Juni 2022) dan 10,6 persen (Oktober 2022).
Inflasi supertinggi dan tak terkendali, serta sulit dijinakkan, pada akhirnya terpaksa direspons dengan jamu pahit kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan signifikan oleh sebagian bank sentral di dunia, yang dipelopori oleh AS, diikuti Eropa, dan sebagian besar negara berkembang.
Antibiotik suku bunga dengan dosis tinggi selama lebih dari dua tahun memang berhasil mematahkan tren kenaikan inflasi, inflasi mulai turun terbatas. Namun, efek buruknya lebih mengkhawatirkan, yaitu perekonomian global di ambang resesi.
Suku bunga tinggi sangat membebani perekonomian dunia dan dunia usaha, serta menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan. Beban bunga pinjaman tinggi menohok sektor riil, sektor perbankan, dan debitor, termasuk individu masyarakat yang sangat bergantung pada kartu kredit.
Jatuhnya tiga bank di AS (Silicon Valley Bank/SVB, Signature Bank, dan First Republic Bank) adalah contoh nyata dari dampak negatif kenaikan signifikan suku bunga acuan bank sentral AS dari 0,25 persen menjadi 5,00 persen.
Tingginya suku bunga acuan AS mengakibatkan peningkatan suku bunga kredit perumahan, yang kemudian menyebabkan tingkat pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR) turun signifikan. Bahkan lebih rendah dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 tahun 2020.
Suku bunga tinggi sangat membebani perekonomian dunia dan dunia usaha, serta menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.
Penurunan kinerja sektor properti AS ini harus disikapi hati-hati karena pertumbuhan private residential fixed investment turun secara signifikan, mendekati kondisi seperti krisis finansial global 2009.
Berkaca dari pengalaman ini, peluang AS akan mengalami resesi semakin mengancam di tahun 2023. Selain itu, sinyal yang bisa dijadikan leading indikator resesi ekonomi AS adalah kurva imbal hasil (yield) obligasi AS (US Treasury) yang sudah mengalami inverted, dengan yield obligasi AS tenor 2 tahun lebih tinggi daripada tenor 10 tahun.
Dalam kondisi normal, seharusnya yield obligasi tenor yang lebih panjang lebih tinggi dibandingkan dengan tenor pendek durasinya. Hal ini sama dengan suku bunga deposito, untuk enam bulan pasti suku bunganya lebih tinggi dibandingkan dengan deposito satu bulan atau tiga bulan.
Probabilitas resesi AS
Lebih lanjut, berdasarkan model ekonometrika yang dibangun Tim Ekonom BRI dengan metode Markov Switching Dynamic Model pada Juli 2022 menunjukkan bahwa probabilitas AS mengalami resesi ekonomi tahun 2023 sebesar 80 persen. Sembilan bulan kemudian, kami hitung ulang berdasarkan perkembangan data terakhir (April 2023), ternyata probabilitas AS resesi meningkat menjadi 91 persen.
-
Melihat kondisi AS yang semakin sulit dan bangkrutnya tiga bank di AS, saya kira kita harus bijak menyikapinya. Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk AS akan jatuh terjerembap dalam resesi ekonomi, yang mungkin akan diikuti Eropa (bahkan ada kemungkinan resesinya lebih cepat dibandingkan AS).
Pada saat negara maju mengalami resesi, akan sulit bagi negara berkembang terhindar dari resesi ekonomi dunia. Apalagi dalam kebijakan moneternya, menaikkan suku bunga acuannya secara signifikan sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan AS, dalam rangka menjaga stabilitas nilai mata uangnya terhadap dollar AS.
Perlukah kita khawatir dengan kondisi perekonomian global saat ini? Boleh khawatir, tetapi tidak harus ketakutan luar biasa dan panik. Mengapa? Lima belas tahun lalu, ketika terjadi krisis ekonomi dan finansial global (GFC) tahun 2008/2009, Indonesia terbukti tidak terseret ke dalam resesi ekonomi; hanya mengalami pelambatan ekonomi.
Perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh positif sebesar 4,6 persen tahun 2009 dari 6,0 persen tahun 2008.
Jika kita kilas balik kondisi GFC 2008/2009, kebangkrutan Bank Lehman Brothers daya rusaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan kolapsnya SVB dan kawan-kawan.
Hal ini dapat dilihat dari kapitalisasi pasar (market capitalization) yang hilang, untuk Lehman Brothers diperkirakan sebesar 8 triliun dollar AS. Adapun SVB dan Signature Bank, kapitalisasi pasar yang hilang hanya 300 miliar dollar AS.
Baca juga : Robohnya SVB, dan Ekonomi Kita
Jika kita bandingkan keduanya, sangat jelas ukuran kerusakannya sangat dahsyat pada kebangkrutan Lehman Brothers, kapitalisasi pasar yang hilang hampir 27 kali lipat dari hilangnya kapitalisasi pasar SVB dan Signature Bank.
Lebih jauh, kita lihat dari indikator persepsi risiko yang diwakili oleh credit default swap (CDS) dari lima bank besar di AS (Bank of America, Citi Group, JP Morgan, Wells Fargo, dan Morgan Stanley). Kekhawatiran dan ketakutan jatuhnya Lehman Brothers (GFC 2008/2009) terbukti kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jatuhnya SVB.
Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dari CDS lima bank besar di AS yang melonjak signifikan saat kolapsnya Lehman Brothers, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebangkrutan SVB dan kawan-kawan.
Indonesia resilien
Fakta-fakta tersebut telah membuka nalar sehat kita, bahwa jika AS mengalami resesi tahun 2023, dampak negatifnya kemungkinan besar tidak akan separah krisis ekonomi global 2008/2009, kecuali ada bank besar yang kolaps di AS, sekelas Lehman Brothers.
Indonesia akan jauh dari episentrum resesi ekonomi global 2023. Fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih sehat dan kuat serta resilien dibandingkan kondisi 15 tahun lalu, pada saat resesi ekonomi global 2008/2009.
.
Keyakinan Indonesia bisa terlepas dari resesi ekonomi diperkuat oleh Markov Switching Dynamic Model yang dibangun/diestimasi Tim Ekonom BRI pada Juli tahun lalu.
Jika AS mengalami resesi ekonomi 2023, probabilitas Indonesia mengalami resesi ekonomi hanya 2 persen.
Menariknya, dari konsensus prediksi dari para analis/ekonom di Bloomberg (April 2023), ternyata probabilitas Indonesia mengalami resesi ekonomi sama persis, yaitu 2 persen, dengan model yang dibangun oleh Tim Ekonom BRI.
Oleh karena itu, kita tidak perlu galau dan bimbang menghadapi tahun 2023 walaupun tantangan ke depan tidak mudah dan ketidakpastiannya masih tinggi. Mari kita fokus pada kekuatan domestik perekonomian Indonesia. Kita jaga konsumsi rumah tangga agar tetap kuat dan sehat, yang menjadi motor penggerak utama perekonomian, tercatat sumbangannya sangat besar, berkisar 50-55 persen pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pemerintah dalam stimulus fiskalnya (bantuan sosial, perlindungan sosial, dana desa, dan lain-lain) harus mampu menjaga daya beli masyarakat level menengah ke bawah dan menggerakkan perekonomian lokal/daerah.
Oleh karena itu, kita tidak perlu galau dan bimbang menghadapi tahun 2023 walaupun tantangan ke depan tidak mudah dan ketidakpastiannya masih tinggi.
Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia harus diperkuat dan dibantu secara berjenjang dan berkesinambungan, terutama dari sisi pembiayaan dan pemberdayaannya.
Skema KUR yang tepat sasaran dan subsidi bunga yang efektif mendorong inklusi keuangan, dan literasi keuangan akan membuat pelaku UMKM semakin mandiri dan kompetitif. Pada saat UMKM kuat, Indonesia akan kuat menghadapi setiap badai resesi ekonomi global.
Anton Hendranata Chief Economist PT BRI (Persero) Tbk, Direktur Utama BRI Research Institute