Selain hak buruh, hak pengusaha harus dipastikan tercukupi. UU melindungi setiap warganya, dan itu juga berlaku bagi pihak pengusaha dalam menjalankan usaha. Buruh dan majikan harus bersinergi dan saling menguntungkan.
Oleh
Abdul Kadir Riyadi
·3 menit baca
Tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buruh (May Day). Entah demi memanfaatkan momentum atau karena tradisi tahunannya sudah demikian, Hari Buruh selalu ”dirayakan” dengan demonstrasi oleh para buruh. Yang diperjuangkan juga sama, hak-hak buruh yang dianggap masih kurang.
Dalam sejarahnya, Hari Buruh lahir dari gerakan melawan ketidakadilan yang dialami pekerja, seperti beban kerja yang tidak seimbang dengan upah yang dibayarkan, dan seterusnya. Seiring waktu, semangat ini melahirkan spirit persatuan sehingga muncullah perserikatan buruh yang kemudian memiliki kekuatan untuk melindungi hak buruh.
Salah satu keberhasilan yang sangat krusial ialah diterimanya tuntutan jam kerja buruh menjadi delapan jam sehari di Amerika yang kemudian diterima secara internasional setelah ditetapkan kongres di Geneva, Swiss, tahun 1866.
Dalam konteks Indonesia, undang-undang secara tegas melindungi hak buruh. Meski demikian, tentu saja masih banyak kekurangan dalam pengaplikasiannya di lapangan. Jika dilihat dari sudut pandang buruh, kesejahteraan menjadi tuntutan yang tak akan pernah selesai. Di sisi lain, bagaimana dengan hak-hak majikan?
Salah satu yang ramai diperdebatkan adalah terkait omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja, dan UU Nomor 6/2023 sebagai penggantinya. Terjadi pro-kontra begitu memanas dan memicu banyak sekali aksi unjuk rasa di kalangan buruh.
Bagi buruh, kebijakan yang akan diterapkan sangat merugikan buruh, seperti terkait durasi hari libur (Pasal 79) dan kontrak kerja (Pasal 59). Pemerintah sendiri mengklaim bahwa kebijakan baru yang akan diterapkan justru akan memperlebar jalan investasi baru dengan dirampingkannya regulasi-regulasi yang sebelumnya membebani perusahaan.
Dinamika sosial yang akan terus ada adalah pro-kontra jika ada sebuah kebijakan baru terutama yang berskala nasional. Jika kebijakan yang ada selama ini begitu berfokus pada hak buruh, seharusnya hak majikan tak boleh diabaikan pula.
Pada kenyataannya, perusahaan yang ada di Indonesia, baik skala besar maupun kecil, memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Pungutan liar yang masih merajalela dan belum tuntas hingga sekarang hanya salah satunya.
.
Di media sosial, ada beberapa pengusaha yang curhat tentang dilema membuka usaha di area tertentu. Kebijakan yang ada, perusahaan wajib memprioritaskan warga lokal untuk menjadi pekerja agar menekan angka pengangguran di wilayah tersebut. Namun, masalahnya, tidak semua warga lokal memenuhi kriteria kemampuan yang ditetapkan perusahaan.
Ini tentu dilematis. Perusahaan sudah membuka lapangan pekerjaan, bahkan tidak jarang sampai membuka pelatihan kerja untuk meningkatkan kualitas kemampuan warga sekitar. Di sisi lain, masih banyak warga lokal yang sulit diajak untuk meningkatkan kemampuannya dan meminta pekerjaan yang mudah, tetapi bergaji besar. Menyenangkan buruh, mencekik majikan.
Kesejahteraan bersama
Selain hak buruh, hak pengusaha harus dipastikan tercukupi. UU melindungi setiap warganya, dan itu juga berlaku bagi pihak pengusaha dalam menjalankan usahanya, termasuk menghadapi pungutan liar, premanisme, dan ancaman kejahatan lain. Payung hukum tidak boleh hanya melindungi buruh semata.
Selain itu, majikan juga memiliki kewajiban vertikal yang tidak bisa dianggap remeh bebannya, seperti pajak tahunan dan administrasi lainnya. Jika ada yang tidak sesuai, tentu berdampak pada nasib perusahaan, juga buruh itu sendiri.
Pihak buruh ataupun majikan harus bersinergi dan saling menguntungkan
Pihak buruh ataupun majikan harus bersinergi dan saling menguntungkan. Pekerja yang bekerja dengan baik dan memuaskan tentu haknya akan dipenuhi secara otomatis sebab kurang atau buruknya hasil pekerja juga merugikan perusahaan itu sendiri.
Majikan juga harus menyadari jika hak dan fasilitas buruh dipenuhi dengan baik, itu juga berarti meningkatkan produktivitas yang juga pada akhirnya meningkatkan margin keuntungan perusahaan.
Hari Buruh harus dijadikan sebagai momentum untuk refleksi bersama, baik oleh buruh maupun majikan, bahwa selalu ada hak setelah kewajiban terlaksana, dan batas-batas harus dihormati bersama.