Penanganan rabies perlu fokus pada eliminasi anjing tidak bertuan dewasa ataupun anak anjing secara manusiawi dengan cara eutanasia, disertai kontrol populasi anjing bertuan yang diliarkan.
Oleh
Soeharsono, drh, PhD
·2 menit baca
Ketika kasus aktif Covid-19 mulai menurun, kasus gigitan anjing di Bali justru meningkat. Dalam tiga bulan terakhir (Januari-Maret 2023) tercatat ada 1.236 gigitan anjing di Kota Denpasar.
Akhir Desember 2022, di Legian, Badung, ada empat orang (dua di antaranya warga negara asing) digigit anjing. Hasil uji laboratorium menunjukkan, anjing yang menggigit ternyata positif rabies. Sebagai daerah wisata terkenal, berita ini tentu membuat khawatir wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Sepanjang 2022, menurut Dinas Kesehatan Bali, tercatat total 22 orang meninggal karena rabies. Di Buleleng (13), Jembrana (4), Bangli (3), Gianyar (1), dan Karangasem (1). Angka ini menunjukkan, tema World Rabies Day 2022 ”One Health, Zero Death” sudah terlampaui.
Kejadian lebih memprihatinkan terjadi di Filipina. Di Asia Magazine, Robert Herriman pada 4 September 2022 menulis, telah terjadi kematian 222 orang karena rabies sejak awal tahun hingga Agustus 2022.
Di mana letak kelemahan penanganan rabies? Pengamatan penulis terhadap kasus rabies di Bali selama beberapa tahun dan ditunjang dengan hasil lab menunjukkan banyaknya anjing liar tidak bertuan, termasuk anak anjing, yang merupakan tempat siklus rabies terjadi. Kelompok ini akan menulari anjing bertuan yang sering dibiarkan lepas di jalan. Kedua kelompok inilah yang kemudian menggigit orang.
Sebaliknya, Jatim, Jateng, DIY, dan Jabar dengan populasi anjing liar tak bertuan minim tetap bebas dari rabies. Seandainya ada selundupan anjing dari wilayah tertular ke empat wilayah ini, maka rantai penularan akan mudah putus, kemudian bebas kembali.
Menurut saya, fokus penanganan rabies perlu fokus pada eliminasi anjing tidak bertuan dewasa ataupun anak anjing secara manusiawi dengan cara eutanasia, disertai kontrol populasi anjing bertuan yang diliarkan.
Bali dengan sekitar 800 dokter hewan, ditambah mahasiswa FKH, mampu melakukan tugas ini. Anjing lain di luar kelompok ini divaksinasi massal menggunakan vaksin yang teruji. Monitoring kekebalan pascavaksinasi secara berkala diperlukan untuk menilai mutu vaksin.
Soeharsono, drh, PhDMantan Penyidik Penyakit Hewan di Bali; Pemerhati Zoonosis