Perguruan tinggi bukan pabrik buruh dan dosen bukan buruh perguruan tinggi. Karena itu, setiap perguruan tinggi mesti memiliki visi-misi yang jelas, tegas, serta terukur; fokus ke pendidikan, penelitian, dan inovasi.
Oleh
ACENG HIDAYAT
·4 menit baca
Belakangan ini kita disuguhi dua tulisan berkelas mengenai perguruan tinggi. Pertama, tulisan Eunike Sri Tyas Suci, dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, berjudul "Prahara Sijali" (Kompas, 2/4/2023). Kedua, karya Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, dengan judul "Buruh Dosen" (Kompas, 13/4/2023). Dari pemilihan judul saja, kedua tulisan ini memperlihatkan kualitasnya.
Kedua tulisan itu menanggapi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kredit. Peraturan ini dianggap merendahkan martabat dosen sekaligus memberatkan dosen. Konon, karena perhatian dan waktu dosen habis terpakai untuk mengurusi administrasi, berimbas pada kesulitan meningkatkan kualitas akademik pada perguruan tinggi.
Saya menganggap, bisa jadi hal tersebut merupakan salah satu penyebab eksternal rendahnya kualitas akademik perguruan tinggi di Indonesia. Namun, saya melihat ada sebab lain yang bersifat laten secara internal pada perguruan tinggi itu sendiri. Apa itu?
Pertama, perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki visi yang jelas, tegas, dan terukur. Umumnya, mereka memiliki visi dengan kalimat beranak-pinak, panjang berbunga-bunga. Mari kita lihat visi pada empat perguruan tinggi papan atas di Indonesia: Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan IPB University.
Universitas Indonesia memiliki visi menjadi pusat ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang unggul dan berdaya saing, melalui upaya mencerdaskan kehidupan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga berkontribusi bagi pembangunan masyarakat Indonesia dan dunia (https://www.ui.ac.id/tentang-ui/).
Visi UGM adalah sebagai pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan kemanusiaan, dijiwai nilai-nilai budaya bangsa berdasarkan Pancasila (https://ugm.ac.id/id/tentang-ugm/1359-visi.dan.misi).
Perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki visi yang jelas, tegas, dan terukur. Umumnya, mereka memiliki visi dengan kalimat beranak-pinak, panjang berbunga-bunga.
Adapun ITB memiliki visi: menjadi perguruan tinggi yang unggul, bermartabat, mandiri, dan diakui dunia serta memandu perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia dan dunia (https://www.itb.ac.id/visi-dan-misi).
Visi IPB University seperti yang tertulis dalam statuta: menjadi terdepan dalam memperkokoh martabat bangsa melalui pendidikan tinggi unggul pada tingkat global di bidang pertanian, kelautan, dan biosains tropika (Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 66/2013 tentang Statuta IPB).
Selain visi sesuai statuta, IPB University juga memiliki visi sesuai Rencana Jangka Panjang (RJP) 2045 sebagai berikut: yaitu menjadi techno-socio-entrepreneurial university yang terdepan dalam memperkokoh martabat bangsa melalui pendidikan tinggi unggul pada tingkat global di bidang pertanian, kelautan, dan biosains tropika. Persis dengan visi yang tercantum dalam statuta dengan tambahan frasa: ”techno-socio-entrepreneurial university”.
Di luar kedua visi itu, IPB University juga punya visi 2023-2028, yakni sebagai perguruan tinggi inovatif dan resilien dengan membangun techno-socio entrepreneurial university yang unggul di tingkat global pada bidang pertanian, kelautan, dan biosains tropika. Sama dengan visi pada RJP dengan penambahan kata ”perguruan tinggi inovatif dan resilien”.
Saya memandang beranak-pinaknya kalimat visi perguruan tinggi di Indonesia mencerminkan, pertama, keinginan perguruan tinggi berperan secara ideal dan komprehensif dalam segala lini kehidupan. Kedua, mengakomodasi ragam pemikiran para penyusunnya yang semua manusia ”tingkat dewa”.
Namun, apabila setiap anak kalimat berpetuah itu kita turunkan menjadi program kerja, maka akan dihasilkan ratusan program kerja. Apabila setiap program kerja itu memiliki indikator kinerja dan paramaternya, Anda bisa bayangkan berapa ratus indikator dan parameter yang mesti dipenuhi.
Karena saking ingin komprehensifnya sehingga perguruan tinggi kehilangan fokus dan tidak tahu apa sesungguhnya yang ingin ia capai. Perguruan tinggi menjadi kehilangan arah dan sasaran.
Mari kita tengok beberapa visi perguruan tinggi ternama di luar negeri. Institut Teknologi Massachusetts (MIT), sebagaimana tercantum di situs resminya, memiliki visi ”to make a better world through education, research, and innovation”. Kemudian, Stanford University, visinya adalah ”promoting the welfare of people everywhere”.
Cambridge UK hanya mencantumkan misi tanpa visi. Adapun misinya seperti dalam situs resminya adalah ”to contribute to society through the pursuit of education, learning and research at the highest international levels of excellence”.
Dari tiga contoh tersebut, ternyata visi-misi perguruan tinggi papan atas dunia itu sederhana, jelas, tegas, lugas, dan mengarah kepada mandat tridharma perguruan tinggi. Maka, dapat diduga program kerja perguruan tinggi tersebut akan sederhana dan terarah pada visi-misinya. Hemat penulis, itulah di antara penyebab mereka bisa maju dan berkelas.
"World Class University"
Kedua, penyebab perguruan tinggi di Indonesia sulit naik kelas karena terlalu mengejar ranking perguruan tinggi kelas dunia (World Class University/WUR). Sialnya, rezim WUR itu banyak jumlahnya, bertingkat dan berkategori juga. Dengan ragam indikator dan parameter pula. Apabila kita mengikuti empat rezim saja, seperti QSWUR, THE Impact, UIGM, dan Webometric, sudah sangat menyita waktu, perhatian, dan sumber daya.
Indikator WUR itu, terutama QS dan THE, memang bagus. Namun, itu hanya sesuai bagi budaya akademik perguruan tinggi dan kondisi sosial, ekonomi, serta budaya mereka. Kita yang serba berbeda dengan mereka, mengejar kriteria WUR itu sangat meletihkan karena kita hanya berusaha memenuhi kriterianya tanpa membangun substansi dan budayanya. Selain itu, bisa saja kriteria WUR itu tidak seiring dengan visinya dan tidak mencerminkan karya nyata perguruan tinggi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Penjajahan epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat ilmu mengenai bagimana ilmu dikembangkan melalui penelitian. Salah satu perangkat epistemologi adalah metodologi penelitian, mulai dari kerangka berpikir, pengumpulan, hingga analisis data.
Kedua, penyebab perguruan tinggi di Indonesia sulit naik kelas karena terlalu mengejar ranking World Class University (WUR).
Perguruan tinggi di negara maju menawarkan ragam metodologi sesuai dengan budaya akademik, kemajuan, kebutuhan, dan obyek riset. Lalu, oleh para dosen dan peneliti di Indonesia, metodologi itu ditelan dan dipakai secara mentah-mentah kemudian ditularkan kepada mahasiswa.
Dampaknya, ada keseragaman metodologi dan hasil penelitian. Bahkan, sudah terbentuk budaya penelitian di kalangan dosen dan mahasiswa yang menentukan terlebih dahulu metodologinya sebelum jelas obyek penelitian dan permasalahannya. Dengan demikian, bisa jadi hasil penelitian itu qualified secara metodologi tetapi nihil kemanfaatan.
Dan, se-qualified apa pun penelitian tersebut jika dilakukan dengan cara mengekor kepada metodologi yang dikembangkan pihak lain, tidak akan pernah bisa menelurkan hasil penelitian yang melampaui kualitas penelitian pendahulunya. Maksimal hanya bisa mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya.
Selain itu, keterjajahan secara metodologi akan menghasilkan penelitian dengan indeks kemanfaatan rendah.
Bagaimana seharusnya?
Pertama, setiap perguruan tinggi mesti memiliki visi-misi yang jelas, tegas, dan terukur, serta fokus kepada pendidikan, penelitian, dan inovasi.
Kedua, merdekakan dosen dari penjejahan epistemologi, lalu fokus kepada apa yang akan diteliti (ontology), temukan masalahnya, lantas apa manfaatnya (aksiologi). Metode penelitian mengikuti tujuan yang bisa dikembangkan sesuai kebutuhan.
Ketiga, penelitian mesti fokus pada persoalan realitas. Tak perlu gaya-gayaan loncat meneliti smart technology 4.0 jika kondisi kehidupan kita masih memerlukan ”stupid technology”. Lebih baik mengembangkan stupid technology tetapi bermanfaat daripada ikut-ikutan mengadopsi smart technonolgy, tetapi hanya jadi tukang analisis.
Dipastikan kita tidak akan mampu melampaui si smart technology itu. Maka, penelitian dan inovasi kita mesti down to earth mencermati persoalan realitas kehidupan lalu mencari solusinya. Di sinilah peradaban itu akan terbangun sebab penelitian dan pengembangan ilmu linked dengan realitas kehidupan.
Keempat, fokus mendidik mahasiswa tentang ilmu kehidupan (life sciences) dan keterampilan untuk hidup, bukan hanya disiapkan menjadi ”buruh”. Karena, perguruan tinggi bukan pabrik buruh dan dosen bukan buruh perguruan tinggi. Begitu kan Prof Sulis?
Aceng Hidayat, Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB; Ketua MPW ICMI Orwilsus Bogor Periode 2022-2027