Semakin tak menarik
Tulisan ini untuk memberi masukan untuk pembuatan peraturan baru bagi dosen.
Pertama, syarat minimal dosen adalah pendidikan master (S-2). Lulusan sarjana (S-1) terbaik tetapi tak mampu secara ekonomi untuk melanjutkan pendidikan master akan mencari pekerjaan yang syaratnya cukup S-1. Misalnya, di badan usaha milik negara, swasta, dan pegawai negeri sipil (PNS) di kementerian/lembaga (K/L).
Perlu ada ”kreativitas” dari pimpinan perguruan tinggi untuk merekrut lulusan sarjana terbaiknya untuk bisa menjadi dosen, misalnya dengan langsung memberi/mencarikan beasiswa S-2. Itu pun akan memunculkan masalah karena lulusan S-1 yang direkrut tidak bisa diakui statusnya sebagai dosen.
Baca juga : Mencari Skema Ideal Penataan Dosen
Padahal, beasiswa tugas belajar di perguruan tinggi umumnya adalah skema untuk dosen. Selain itu, hak yang melekat adalah sebagai tenaga kependidikan sehingga tidak berhak atas tunjangan terkait dosen. Dengan kondisi ini, sektor pendidikan tinggi akan sulit untuk mendapat talenta unggul sejak dari sarjana.
Kedua, dulu menjadi dosen adalah incaran untuk mendapat ”tiket” tugas belajar yang akan sulit didapat kalau bekerja di sektor lain. Walau di awal karier gajinya pas-pasan, dosen berharap bisa mendapatkan penghasilan yang lebih layak setelah selesai S-2 dan S-3.
Kondisi tersebut perlahan berubah dengan melimpahnya beasiswa dari luar negeri dan dalam negeri (misalnya LPDP). Akibatnya, saat ini tidak perlu menjadi dosen untuk bisa tugas belajar ke luar negeri.
Ilustrasi
Ketiga, dosen PNS, khususnya di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tidak mendapat tunjangan kinerja (tukin).
Ketika dulu belum ada tukin untuk PNS, perbandingan pendapatan dosen dengan sesama kolega di K/L dengan strata pendidikan yang sama relatif tidak jauh berbeda. Dengan demikian, pertimbangan pendapatan tidak menjadi penghalang minat menjadi dosen.
Saat ini, dengan adanya tukin untuk pegawai K/L, jurang perbedaan pendapatan bisa sangat lebar. Di awal kariernya, dosen harus bisa bertahan hidup selama beberapa tahun dengan gaji yang bisa di bawah upah minimum di daerah tertentu karena belum memperoleh tunjangan fungsional dan tunjangan profesi.
Keempat, gaya kerja dosen generasi Z berbeda dengan dosen generasi sebelumnya. Generasi Z (kelahiran 1997-2012), antara lain, mempunyai karakter fleksibel, digital native, keseimbangan pekerjaan dan kehidupan, serta multi-tasking.
Pekerjaan dosen yang seharusnya fleksibel dan inovatif saat ini cenderung administratif, monoton, dan penuh ketidakpastian (kapan bisa mendapat hibah riset, kapan bisa mendapat giliran sertifikasi, kapan publikasi bisa diterima dan dimuat, dan berapa angka kredit publikasi). Kondisi ini cenderung ”tidak klop” dengan karakter generasi tersebut.
Kegaduhan tentang jabatan fungsional telah membuka kotak pandora permasalahan dosen.
Kelima, beban kerja dosen yang berat. Dosen kadang dibebani tridarma yang melebihi batas kewajaran di atas 16 satuan kredit semester (SKS). Padahal, sesuai peraturan, normalnya tridarma beban dosen adalah 12 SKS yang setara dengan 37,5 jam per minggu.
Dengan asumsi dosen melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat sebesar masing-masing 3 SKS, maka dosen bisa mengajar dua mata kuliah berbobot masing-masing 3 SKS. Pada kenyataannya, jumlah dosen yang terbatas dan tambahan penghasilan menjadi alasan dosen ”mau” dibebani tugas yang berlebihan. Hal tersebut bisa berefek pada kesehatan mental dan fisik.
Keenam, pajak atas penghasilan dosen, khususnya dosen non-PNS di perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) dan perguruan tinggi swasta (PTS), adalah pajak progresif yang sama dengan karyawan perusahaan swasta.
Kalau dibandingkan dengan jumlah pendapatan yang sama dengan rekannya di K/L, dosen non-PNS PTN BH dan dosen PTS bisa dipotong pajak lebih besar. Jadi, secara riil pendapatannya lebih kecil.
Ilustrasi
Ketujuh, saat ini dosen hanya mempunyai satu jalur minat karier. Di negara tetangga seperti Malaysia, dosen diberi pilihan sesuai dengan minat, yaitu jalur penelitian, jalur pengajaran, dan jalur kepemimpinan.
Jalur penelitian dan jalur pengajaran untuk dosen yang tidak menjadi pengelola kampus. Jalur kepemimpinan adalah untuk dosen yang menjadi pimpinan di kampus.
Setiap jalur karier mempunyai ukuran dan beban kinerja yang berbeda. Untuk akomodasi minat yang berbeda-beda, ke depan perlu dibuka beberapa jalur minat karier dosen di Indonesia, misalnya jalur penelitian, jalur pengajaran, jalur pengabdian kepada masyarakat, dan kepemimpinan.
Kedelapan, globalisasi telah mempermudah arus barang dan jasa, termasuk dosen. Talenta unggul juga bisa punya pilihan kerja ke negara lain yang lebih memberi kepuasan dan kesejahteraan. Saat ini pun banyak dosen Indonesia yang bekerja di negara tetangga seperti Malaysia. Peraturan yang dianggap mempersulit dan tidak sesuai hakikat dosen akan berpotensi memperbanyak ”brain drain” ke negara lain.
Banyak peraturan yang harus diubah dan saling terkait.
Kesembilan, sistem kepegawaian dosen. Talenta unggul, termasuk WNI dan diaspora yang sudah menjadi dosen di luar negeri, saat ini sulit untuk menjadi dosen tetap di Indonesia dengan jabatan fungsional yang setara.
Mekanisme yang biasa untuk menjadi dosen tetap adalah melamar sebagai dosen baru. Mereka yang sudah punya kedudukan dan karier di luar negeri tentu akan enggan pindah ke kampus di Indonesia kalau harus mulai dari bawah lagi.
Akhirnya, dengan sedemikian banyak permasalahan di atas, tentu tidak mudah untuk memperbaiki ”nasib” dosen. Banyak peraturan yang harus diubah dan saling terkait. Idealnya revisi mulai dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga peraturan turunannya.
Kesempatan memperbaiki
Rencana pembuatan peraturan baru khusus untuk dosen adalah kesempatan emas untuk memperbaiki ”nasib” dosen. Adanya peraturan tersebut akan membuat profesi dosen di Indonesia menarik minat talenta unggul anak bangsa untuk berbakti untuk negeri.
Didi AchjariGuru Besar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada