Karena Gus Mus adalah kiai sesepuh NU, maka kiai-kiai dan tokoh-tokoh NU hadir. Karena Gus Mus seorang tokoh bangsa, pejabat lokal dan birokrat pun hadir. Karena Gus Mus pegiat budaya, para seniman veteran pun hadir.
Oleh
Alissa Wahid
·3 menit baca
Menjelang Ramadhan 2023, saya mendapat permintaan yang istimewa: membuka pameran lukisan karya Gus Mus. Pameran ini diberi tajuk ”Lansekap Gus Mus” yang diselenggarakan di Galeri OHD Magelang, Jawa Tengah. Sebagai tipe orang rasional yang sering kali kesulitan mencerna karya seni yang sarat pesan abstrak, ini sungguh sebuah tantangan. Namun apa daya, yang meminta adalah Gus Mus, sahabat ayah saya Gus Dur. Saya pun tak kuasa menolak.
Menurut kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo,”Lansekap Gus Mus”menunjukkan panorama sosok Gus Mus yang berlapis-lapis. Di sisi lain, tajuk ini juga menggambarkan bagaimana Gus Mus memandang dunia dan kehidupan, terutama kehidupan bangsa. Wawasan Gus Mus memang sangat luas, mengikuti pergaulannya yang juga sangat luas. Karena itu, lukisan dan puisi-puisinya pun memiliki spektrum yang luas.
Pameran ini menghadirkan berbagai lukisan karya Gus Mus. Sebagiannya adalah kaligrafi, memuat ayat-ayat Tuhan dalam ekspresi yang indah, memasuki ruang kesadaran kita akan keagungan Tuhan secara halus. Sangat kontras dengan cara lain mengekspresikan ayat-ayat Tuhan yang menakutkan karena sarat kekerasan dan mengindahkan kemanusiaan liyan, sebagaimana kita lihat dalam beberapa insiden intoleransi.
Di hari pembukaan pameran, Gunung Merapi memutuskan untuk memuntahkan abu ke arah Magelang. Namun, itu ternyata tidak menyurutkan kehendak para tamu yang ingin hadir, utamanya untuk menghormati Gus Mus. Ratusan orang dari berbagai latar belakang pun hadir di sana menunjukkan bagaimana Gus Mus adalah penyedia ruang perjumpaan.
Karena Gus Mus adalah seorang kiai sesepuh NU, maka kiai-kiai dan tokoh-tokoh NU hadir. Karena Gus Mus adalah seorang tokoh bangsa, pejabat lokal dan birokrat pun hadir. Karena Gus Mus adalah pegiat budaya, para seniman veteran pun hadir.
Gus Mus memang seorang tokoh yang piawai merajut persaudaraan. Semua orang diterimanya dengan hati dan sikap terbuka, tanpa ada pembedaan dan batasan. Bahkan kepada mereka yang memusuhinya tanpa sebab, seperti netizen yang menghinanya lalu menyesal dan sowan, Gus Mus pun membuka pintu rumah dan hatinya dengan kasih sayang.
Gus Mus mengejawantahkan gambaran kita tentang kyai, ulama khas Indonesia yang tidak hanya alim (berilmu) tetapi juga arif bijaksana. Seorang ulama adalah seorang sosok yang menguasai ilmu agama Islam, cenderung konservatif dalam pandangan, pemikiran dan perilakunya. Ulama digambarkan sebagai orang yang melihat kehidupan sepenuhnya dengan pandangan Islam yang baku. Sebagian ulama bahkan menjadi cenderung kaku, tidak ”mengakui” realitas kontekstual dari pandangan kehidupan ini, sepenuhnya merujuk pada sumber-sumber primer agama Islam dalam membangun kehidupannya.
Agak berbeda dengan gambaran kita tentang kiai. Nilai-nilai ketuhanan tidak hanya berbentuk verbal tetapi menjelma menjadi laku utuh. Mereka adalah pemandu utama bagi umat dalam meniti kehidupannya. Warga masyarakat sowan, meminta pandangan, meminta jalan keluar persoalannya, meminta doa, bahkan meminta suwuk untuk berbagai sisik-melik kehidupan mereka, ada ataupun tidak ada kaitannya dengan ibadah. Seakan-akan para kiai dan nyai punya kesaktian untuk menyelesaikan segalanya. Para kiai dan nyai memenuhi harapan ini dengan penuh kasih sayang karena umat adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dititipkanNya kepada mereka.
Gus Mus adalah kiai. Menariknya, dalam kalibernya, saat ini barangkali hanya Gus Mus yang meniti jalan sunyi menjadi kyai yang demikian terbuka pada dunia seni budaya. Ini tampak dalam pembukaan pameran lukisan di Magelang yang masih bisa dinikmati sampai tanggal 12 Juni 2023 ini. Budayawan-budayawan senior seperti Butet Kartaredjasa dan Sosiawan Leak ”berlomba-lomba menjadi santri Gus Mus” karena meyakini Gus Mus menerima mereka apa adanya: dengan keberagaman latar belakang agama ataupun kelompok, bahkan dengan gaya hidup yang benar-benar seperti langit dan bumi dengan gaya hidup kiai.
Di tengah praktik keberagamaan yang semakin konservatif dan rigid, Gus Mus adalah oase. Praktik keberagamaan yang rigid menganggap seni budaya (apalagi tradisi lokal) sebagai sesuatu yang tidak sesusai dengan ajaran agama dan kadang dianggap mengancam kemurnian agama.
Sikap ini bahkan sudah tidak lagi bersifat pasif menolak terlibat dengan ritual tradisi, tetapi ofensif menyerang acara-acara atau praktik ritual keagamaan kelompok yang menjalankannya. Misalnya kasus penendangan sesajen di Gunung Semeru dan perusakan ornamen ritual Sedekah Laut.
Dalam iklim keberagamaan sedemikian, sosok Gus Mus menjadi titik temu yang istimewa. Gus Mus menjadi titik temu antara praktik beragama dan praktik tradisi budaya, melalui karya seni tulis dan lukisnya. Gus Mus juga menjadi titik temu antarmasyarakat agamis, bahkan dengan kelompok spiritualis non-agama. Mengikuti ucapan Gus Dur, Gus Mus adalah wajah Islam ramah, bukan Islam marah.
Tentu saja, Gus Mus bukan manusia sempurna. Sebagaimana pengakuan yang diungkapkan di berbagai kesempatan, Gus Mus merasa memiliki hampir semua yang dimiliki Gus Dur kecuali keberanian dalam sepak terjang, terutama keberanian untuk bergerak dalam perlawanan terhadap hal-hal yang dipersoalkan bangsa. Gus Mus, dengan karakternya yang halus, memilih untuk membersamai, mengayomi dan menemani mereka yang merasa kecil, lemah atau dilemahkan.
Termasuk di dalamnya, para pegiat seni budaya yang dalam kehidupan mainstream bangsa ini semakin terdesak budayanya oleh budaya agama yang semakin mendominasi. Entah sampai kapan.