Menguji Vitalitas Demokrasi
Vitalitas demokrasi harus mampu melahirkan indeks kehidupan warga yang lebih baik. Revitalisasi demokrasi penting digaungkan agar energi para elite politik tak hanya fokus pada upaya pemenangan pertarungan elektoral.
Pergelaran demokrasi elektoral (pemilu) yang sudah diselenggarakan berkali-kali di negeri ini harus diuji aspek teleologisnya terus- menerus agar vitalitasnya tetap terjaga dan sejalan dengan tujuan demokrasi itu sendiri.
Tujuan dimaksud ialah demokrasi untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan kenyamanan setiap warga negara, tanpa kecuali. Demokrasi tidak boleh berhenti hanya sebagai alat legitimasi para pemimpin terpilih untuk kekuasaan sembari melupakan cita-cita berbangsa dan bernegara.
Mekanisme dan akuntabilitas demokrasi harus menghasilkan peningkatan indeks kehidupan yang lebih baik. Bukannya demokrasi kita gagal menciptakan indeks kehidupan yang lebih baik, berbagai capaian infrastruktur publik di era Joko Widodo justru menahbiskan keandalan sistem demokrasi ini.
Namun, harus ada reorientasi fokus demokrasi yang melampaui capaian fisik dan infrastruktur publik yang dalam bahasa UUD 1945 disebut sebagai ”memajukan kesejahteraan umum” (public goods).
Oleh karena itu, pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki para elite politik, terutama bakal calon anggota legislatif dan eksekutif, tentang ”kesejahteraan umum” masih perlu diuji kelayakannya. Dengan pengetahuan dan kompetensi politik yang mumpuni pun belum menjamin suksesnya pemenuhan kesejahteraan umum.
Terlebih dengan latar belakang yang sangat bervariasi (artis, pengusaha, agamawan, birokrat, dan lain-lain), penyamaan persepsi dan frekuensi di kalangan bakal calon anggota legislatif dan eksekutif menjadi conditio sine qua non di tengah rendahnya kepuasan rakyat atas kinerja anggota legislatif-eksekutif kita.
Baca juga : Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
Demokrasi bukan tujuan
Persoalannya, profil dan realitas demokrasi kita sekarang ini memang demikian. Mentereng dan megah di kulit permukaan (prosedural), tetapi keropos di isi (substansi).
Pergelaran politik elektoral menyisakan banyak persoalan mendasar, baik menyangkut proses elektoralnya, terlebih terkait peruntukan demokrasi pascapemilu (sebagian pengamat menyebutnya sebagai ”cacat bawaan demokrasi”).
Akibatnya, tugas utama para elite politik setelah terpilih untuk menjamin terciptanya kesejahteraan umum sering terabaikan akibat terlalu dominannya aspek proseduralisme dalam lanskap demokrasi kita.
Bahwa demokrasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan, sudah menjadi pengetahuan umum.
Pertanyaannya, demokrasi itu untuk apa? Inilah pertanyaan sederhana, tetapi harus terus digemakan menjelang Pemilu 2024. Pertanyaan ini pula yang diajukan Stein Ringen dalam bukunya, What Democracy is For (2007). Menurut Ringen, demokrasi bukan sekadar sarana meneguhkan sebuah pemerintahan yang sah.
Lebih dari itu, demokrasi harus menghadirkan kehidupan warga yang bahagia, sejahtera, aman, dan nyaman (human security and well-being).
Memang berbagai studi mengandaikan korelasi yang mutualistis antara demokrasi dan peningkatan taraf kesejahteraan hidup warga (Owen et al, 2008; Norris, 2012; Dorn et al, 2019). Rasionalitasnya, mekanisme demokrasi (pemilu) menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi pemilih sekaligus mampu melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Selanjutnya, pemerintahan jenis ini diasumsikan dapat menjalankan berbagai layanan publik yang baik (public service delivery) demi terciptanya kesejahteraan umum.
Meski demikian, memberikan kepercayaan penuh kepada demokrasi tanpa sikap cadangan juga merupakan sikap yang gegabah. Hal ini lantaran demokrasi tak jarang menghasilkan pembusukan, kerusakan, dan sejumlah ”cacat bawaan” lainnya. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) sejumlah kepala daerah hasil pilkada menegaskan paradoks ini.
Selain itu, rendahnya tingkat kesejahteraan umum barangkali merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai (unfinished business) dalam demokrasi kita. Ini menjadi tugas mendesak para elite terpilih pascapemilu untuk memenuhi seluruh bentuk kesejahteraan umum yang adil, merata, tepat sasaran.
Pendek kata, demokrasi kita tidak boleh berhenti hanya sekadar business as usual.
Pendek kata, demokrasi kita tidak boleh berhenti hanya sekadar business as usual. Dengan alokasi anggaran yang cukup besar, mestinya vitalitas demokrasi harus mampu melahirkan indeks kehidupan warga yang lebih baik. Dengan demokrasi, masyarakat mestinya lebih bahagia, sejahtera, aman, nyaman, sehat, dan panjang usia.
Bahwa ada perubahan lanskap infrastruktur publik (penambahan ruas jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, dan sebagainya) memang harus kita syukuri sebagai capaian demokrasi. Meski demikian, demokrasi tak boleh berhenti pada aspek materialisme semata (tangible goals). Ia juga harus menjangkau intangible goals (kesejahteraan umum).
Hemat energi
Revitalisasi demokrasi penting digaungkan agar energi para elite politik tidak hanya terfokus pada upaya pemenangan pertarungan elektoral semata.
Ada pertarungan yang jauh lebih bermakna, tetapi sangat berat dan menguras energi: melabuhkan nilai-nilai baik demokrasi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua warga masyarakat. Jangan sampai pertarungan elektoral yang temporal dan pendek itu menghabiskan seluruh energi mereka hingga mengabaikan tujuan demokrasi itu sendiri, baik yang bersifat tangible maupun yang intangible goals.
Penghematan energi sepanjang proses demokrasi jadi penting mengingat yang terjadi sering kali justru sebaliknya: para elite boros energi di awal, tapi ”loyo” di pertengahan dan ”mati lemas” di akhir masa jabatan.
Terlebih bagi mereka yang telah membelanjakan logistik politik terlalu banyak sepanjang pertarungan elektoral, energi mereka niscaya hanya terkuras untuk mengembalikan biaya politik yang telah mereka investasikan. Akibatnya, mereka terjebak perilaku korupsi yang merugikan keuangan negara.
Menguji vitalitas demokrasi bertujuan untuk mendekatkan jarak antara proses kontestasi elektoral dan peningkatan berbagai indeks kehidupan warganya. Pemilu diselenggarakan bukan sekadar untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin mereka sesuai aspirasi.
Lebih dari itu, pemilu diselenggarakan agar kesejahteraan umum bagi semua warga bisa terwujud. Jangan sampai porsi terbesar demokrasi dihabiskan hanya untuk menjalani proses kontestasi elektoral dan melupakan aktualisasi kesejahteraan umum.
Bekerjanya mekanisme demokrasi yang baik sebenarnya dapat dijelaskan melalui teori Trias Politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Masing-masing memiliki tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Namun, fungsi Trias Politika yang telah terlembagakan sering terbengkalai akibat munculnya paradoks, ironi dan/atau ”cacat bawaan” demokrasi yang dapat mengeroposkan kualitas demokrasi dari dalam (Dahl, 2000). Bahaya semacam ini yang harus menjadi perhatian kita semua dalam perjalanan demokrasi kita.
Jangan sampai porsi terbesar demokrasi dihabiskan hanya untuk menjalani proses kontestasi elektoral dan melupakan aktualisasi kesejahteraan umum.
Suplemen demokrasi
Guna mengatasi pengeroposan demokrasi, diperlukan suplemen energi untuk memastikan demokrasi tetap berjalan di atas relnya, yakni memberi sentuhan teknokrasi kepada dunia politik dan demokrasi kita.
Dalam pengertian, demokrasi harus mengintegrasikan berbagai pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan penyediaan layanan publik (public service delivery) dalam sebuah kebijakan publik untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Termasuk dalam konteks ini kemampuan memetakan masalah, merumuskan base-line kebijakan, menentukan skala prioritas, mengeksekusinya secara terukur dan terstruktur, serta mengevaluasi secara berkala.
Baca juga : Tantangan Demokrasi
Adalah tanggung jawab parpol untuk membekali para kadernya dengan pengetahuan teknokratik yang memadai tentang konsep kesejahteraan umum dan strategi pencapaiannya. Pembekalan ini kemudian diterjemahkan melalui program pendidikan dan pelatihan yang sistematis-berjenjang di kalangan kader yang hendak bertarung di pentas elektoral, legislatif maupun eksekutif.
Hal ini dimaksudkan agar mereka memiliki tingkat adaptabilitas yang baik ketika terpilih sebagai pejabat publik. Di tangan mereka, realisasi kesejahteraan umum sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 benar-benar dipertaruhkan.
Masdar HilmyGuru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya