Angka sebagai Tujuan
Saat angka ukuran ditetapkan sebagai tujuan, manusia akan cenderung mengakali dan membuatnya menjadi sebuah permainan untuk disiasati aturannya.
Pada September 2022, Bank Dunia mengumumkan perubahan angka batas kemiskinan internasional dari 1,9 dollar AS ke 2,15 dollar AS. Akibat perubahan ini, beberapa pejabat di Indonesia “protes” ke Bank Dunia karena menaikkan batas pendapatan untuk kategori masyarakat miskin itu (Liputan6, 2023; CNBC Indonesia, 2023).
Dalam berita itu dikatakan: “Ketika dinaikkan menjadi 3 dollar AS, mendadak 40 persen orang (Indonesia) menjadi miskin."
Pernyataan ini tentu kurang tepat, karena jumlah nyata orang miskin tidak akan bertambah atau berkurang jika standar kemiskinan menggunakan 1,9 dollar AS atau berapa saja. Yang 40 persen itu banyak orang Indonesia yang pendapatannya di bawah 2,15 dollar AS dan itu masuk dalam definisi miskin yang baru.
Sama seperti fenomena di atas, kita umumnya memang biasa setelah mengangkakan suatu keadaan, kemudian menjadikan angka sebagai tujuan dan fokus pada angka itu semata, sementara keadaan nyata yang diangkakan itu sendiri sering terabaikan.
Baca juga: Sudah Tidak Relevan, Saatnya Garis Kemiskinan Dievaluasi
Mengangkakan
Manusia telah lama menggantungkan pada intuisi untuk membuat keputusan dalam berbagai sisi kehidupan. Intuisi atau sering disebut perasaan dapat menjadi cara mudah sekaligus cepat untuk membuat pertimbangan dan keputusan. Namun, walau intuisi kadang membuahkan keputusan yang tepat untuk masalah sederhana, sering juga membuahkan keputusan yang keliru dan, akibatnya, menghasilkan keadaan akhir yang buruk.
Oleh karena itu, manusia modern memodelkan berbagai masalah atau fenomena dalam perumusan kuantitatif. Berbagai keadaan diungkapkan menjadi suatu besaran bilangan. Seperti kemiskinan di atas diterjemahkan ke dalam angka. Bahkan hal-hal lain yang abstrak dan subyektif seperti panas, peluang, kepandaian, kebahagiaan, antibodi, dan selera musik juga diangkakan manusia.
Dengan mengangkakan kumpulan informasi, benak manusia dan algoritma mampu membaca serta mengungkap pola yang mungkin sulit dikenali jika disajikan dalam bentuk kualitatif. Berdasar hasil kajian tersebut, manusia kemudian membuat pertimbangan dan keputusan yang terbebas dari intuisi atau perasaannya.
Masalahnya, semakin seseorang merasa semakin menguasai bidang keilmuannya, mereka kebanyakan cenderung hanya mengandalkan quantitative reasoning atau nalar kuantitatif (Kriek et al, 2011). Kemudian, manusia cenderung menomorduakan nalar kualitatif.
Sama seperti saat manusia mengandalkan intuisi semata, kecenderungan mengandalkan nalar kuantitatif semata juga dapat merugikan. Ini karena kenyataannya tak semua faktor atau keadaan dapat diterjemahkan menjadi bilangan secara sempurna. Parahnya, yang kerap terjadi, manusia kemudian menjadi terlalu fokus mengejar atau mengutak-atik angka indikator semata dan lupa arti nyata di baliknya.
Perilaku mengejar angka indikator seperti di atas telah dicermati oleh ekonom Charles Goodhart. Amatan yang sekarang dikenal sebagai Dalil Goodhart ini menyatakan bahwa saat sebuah ukuran dijadikan tujuan, maka ia tak dapat menjadi ukuran yang baik lagi (Stumborg et al, 2022), karena manusia akan mengakali sistem itu agar menguntungkan dirinya atau dirinya kelihatan baik dalam ukuran itu.
Parahnya, yang kerap terjadi, manusia kemudian menjadi terlalu fokus mengejar atau mengutak-atik angka indikator semata dan lupa arti nyata di baliknya.
Kecuali itu, saat sebuah ukuran digunakan untuk dasar memberikan imbalan dari suatu unjuk kerja, kita sebenarnya memberikan suatu insentif untuk memanipulasi ukuran tadi guna memperoleh imbalan. Akibatnya, dalam posisi tertekan, manusia dapat melakukan suatu tindakan walau mungkin tindakan itu akan mengorbankan keseluruhan sistem.
Sebagai ilustrasi, saat di zaman kolonial, pemerintah India-Inggris memberikan imbalan bagi warga yang berhasil menangkap ular kobra, maka kemudian banyak warga India berternak ular kobra. Demikian pula saat perusahaan paku di Soviet diminta meningkatkan jumlah produksi paku, maka mereka membuat paku ukuran kecil sehingga jumlahnya tinggi. Menghadapi itu, indikator banyak paku kemudian diganti menjadi berat produksi paku yang dihasilkan. Maka, kemudian pabrik paku membuat paku ukuran besar dan berat.
Bahkan, pada saat pandemi Covid-19, demi mencapai angka 100.000 tes setiap hari sampai April 2020 yang dicanangkan Pemerintah Inggris, kebijakan ini mendorong banyak tes yang tak terverifikasi juga dimasukkan dalam data. Dapat dilihat bahwa saat angka ukuran sudah ditetapkan sebagai tujuan, manusia akan mengakali dan membuatnya menjadi sebuah permainan untuk disiasati aturannya. Manusia akan memanfaatkan akalnya untuk mencari berbagai cara guna mencapai angka indikator itu.
Kemudian yang baru saja heboh terkait penerapan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 yang merepotkan sekaligus membebani bukan saja dosen tetapi juga tenaga administrasi perguruan tinggi. Menanggapi ini, Rimawan Pradiptyo dan Nofie Iman dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan tepat menggarisbawahi bahwa dalam peraturan baru itu digunakan indikator kuantitatif performa atau keberhasilan pada luaran dan, bahkan, masukan di sistem perguruan tinggi untuk pengukuran.
Konsekuensinya, lanjut Pradiptyo dan Iman, perguruan tinggi serta akademisinya diukur keberhasilannya berdasar masukan, seperti penyerapan anggaran, dan luaran, seperti kehadiran (sidik jari) dan pencatatan aktivitas dosen. Sementara mahasiswa kami sudah dipercaya menunjukkan kehadirannya cukup melalui aplikasi komputer, kami dosen harus membuktikan kehadirannya dengan sidik jari. Sekali lagi, ini karena angka kehadiran telah dijadikan tujuan, bukan kehadiran sesungguhnya, apalagi, mutu pembelajaran dan iklim akademik yang diwujudkannya.
Baca juga: Prahara Sijali, Nestapa Dosen Indonesia
Selain itu, pada saat awal, angka hasil kuantifikasi suatu keadaan itu merupakan syarat perlu. Artinya, jika sebuah masyarakat sejahtera, maka angka kemiskinan harus rendah. Jadi, angka indikator kemiskinan rendah itu merupakan sebuah syarat perlu kesejahteraan sebuah negara.
Namun, setelah angka dijadikan tujuan, kemudian manusia cenderung tersesat dalam benaknya, yakni mereka kemudian membalikkan pernyataan tadi menjadi: jika angka kemiskinan rendah, maka masyarakat sejahtera. Angka kemiskinan rendah yang semula merupakan syarat perlu, berubah menjadi syarat cukup.
Di pendidikan, juga sama: jika nilai Ujian Nasional atau Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) tinggi, maka pendidikan bermutu baik. Kemudian di pendidikan tinggi, jika Indeks Prestasi (IP) lulusan tinggi, maka perguruan tinggi bermutu baik. Padahal ini semua merupakan kesesatan logika, kekeliruan dari syarat perlu menjadi syarat cukup, yang pada kenyataannya justru menelurkan berbagai tindakan tercela seperti penipuan, siasat, atau akal-akalan untuk sekadar membuat angka terlihat baik.
Keragaman pertimbangan
Fenomena indikator menjadi tujuan ini menjadi bermasalah di dunia pendidikan yang pada dasarnya memang memiliki tujuan abstrak, seperti misalnya passion for learning atau kasmaran belajar. Karena sulit dikuantifikasikan dan diukur itu, maka unsur utama dan nilai berharga seperti kekasmaranan belajar secara sistematik sering diabaikan dalam praktik pengukuran pendidikan. Konsekuensinya, sistem pendidikan juga tak merasa perlu mengembangkan serta membelajarkan kecakapan mendasar dan nilai-nilai mulia yang kualitatif karena toh tak akan pernah diukur.
Maka, tahapan di atas telah menciptakan sebuah resep atau peta jalan penghancuran pendidikan: 1) pada mulanya, sistem pendidikan tak mengukur nilai-nilai berharga; 2) kemudian, sistem pendidikan menghargai angka-angka indikator yang terukur semata; 3) ujungnya, pelajar dan masyarakat menghargai angka yang diukur semata. Klimaksnya, bangsa itu secara bertahap akan lupa pada tujuan pendidikan paling utama dan mulia guna menciptakan kebudayaan yang diimajinasikannya.
Baca juga: Kebudayaan dan Pendidikan
Oleh karena itu, pertama, ukuran dan nalar kuantitatif harus diterapkan secara berhati-hati serta harus didampingi dengan berbagai pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan. Kedua, nilai-nilai kemanusiaan yang sulit dikuantifikasi tak boleh dijadikan sebagai pewajaran untuk mengabaikannya. Ketiga, Dalil Goodhart tidak absolut, maka apabila angka indikator ditetapkan pada jenjang yang tepat, bukan di masukan atau luaran, ia dapat berguna.
Iwan Pranoto, Dosen Matematika di Institut Teknologi Bandung