Semua mata kini tertuju ke Oman, menanti kabar tentang hasil perundingan antara AS dan Iran dengan mediasi Oman, yang membahas program nuklir Iran.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Perkembangan di Timur Tengah, khususnya terkait isu nuklir Iran, saat ini mengingatkan kembali pada situasi awal tahun 2015 terkait bocornya berita tentang adanya komunikasi Amerika Serikat dan Iran dengan mediator Kesultanan Oman. Kala itu, komunikasi AS-Iran dengan mediasi Kesultanan Oman pada awal tahun 2015 mengantarkan tercapainya kesepakatan nuklir AS-Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 14 Juli 2015.
Kesepakatan tersebut dikenal dengan sebutan kesepakatan P5+1, yakni kesepakatan Iran dengan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu AS, China, Rusia, Inggris, Perancis, plus Jerman. Kesepakatan P5+1 itu kemudian dianulir oleh Presiden AS Donald Trump pada tahun 2018.
Sejak tampilnya Joe Biden, yang berasal dari Partai Demokrat, sebagai penguasa baru di Gedung Putih pada Januari 2021, muncul harapan baru akan dihidupkannya lagi kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Kesepakatan tahun 2015 itu dicapai saat Partai Demokrat berkuasa di Gedung Putih, dengan Barack Obama sebagai presiden dan Biden sebagai wakil presiden. Biden dianggap bagian dari tim yang mengambil keputusan atau menyetujui kesepakatan nuklir Iran tahun itu.
Namun, Biden ternyata tidak mudah menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran tersebut. Betul, perundingan isu nuklir antara Iran dan negara 5+1 dimulai sejak bulan April 2021 atau tiga bulan setelah Biden menghuni Gedung Putih. Namun, jalannya perundingan ternyata tidak mulus sehingga perundingan nuklir Iran terakhir ini macet total.
Hal itu tidak terlepas dari situasi geopolitik Timur Tengah tahun 2021 dan 2022 yang berbeda secara signifikan dari situasi geopolitik Timur Tengah tahun 2015. Situasi geopolitik Timur Tengah tahun 2021 dan 2022 tidak membantu tercapainya kembali kesepakatan nuklir Iran. Pengaruh Israel tahun 2021 dan 2022 sangat kuat di Timur Tengah.
Israel adalah negara yang paling menentang kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Negara itu juga menentang keras upaya Biden menghidupkan lagi kesepakatan tersebut.
Pada tahun 2021 dan 2022, hegemoni Israel cukup kuat menyusul tercapainya Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) pada tahun 2020. Kesepakatan Ibrahim adalah kesepakatan damai Israel dengan sejumlah negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga berhasil melakukan pertemuan rahasia dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di kota Neom, Arab Saudi, pada November 2020.
Faktor kuatnya pengaruh Israel tersebut membuat Biden menjadi tidak mudah menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Pemerintah AS terpaksa mengakomodasi aspirasi Israel dan sejumlah negara Arab untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, di antaranya misalnya, Iran harus menghentikan intervensi ke beberapa negara Arab, seperti di Suriah, Irak, Yaman, Lebanon, dan Palestina. Iran juga harus menghentikan proyek pengembangan rudal balistik.
Iran tentu menolak syarat-syarat tersebut. Itu yang membuat sampai saat ini gagal tercapai kesepakatan baru terkait isu nuklir Iran.
Kondisi geopolitik di Timur Tengah berkembang di luar dugaan dan berubah lagi secara signifikan menyusul tercapainya kesepakatan normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi.
Namun, kondisi geopolitik di Timur Tengah berkembang di luar dugaan dan berubah lagi secara signifikan menyusul tercapainya kesepakatan normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi dengan mediasi China pada Maret 2023. Normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi itu tentu memberi dampak negatif kepada Israel atau, dengan kata lain, melemahkan hegemoni Israel. Iran adalah musuh bebuyutan Israel di Timur Tengah.
Dalam waktu yang sama, situasi politik dalam negeri Israel yang semakin dikontrol kubu kanan radikal dan kelompok agama ortodoks, mengantarkan kian renggangnya hubungan AS dan Israel. Perbedaan visi AS dan Israel terkait isu perdamaian Timur Tengah semakin tajam. AS masih menginginkan solusi dua negara, tetapi Israel sudah mengabaikan solusi dua negara tersebut.
Isu reformasi lembaga peradilan Israel yang mengantarkan kubu kanan radikal dan kaum agama ortodoks semakin menancapkan hegemoni di Israel, juga mendapat kritik cukup keras dari AS.
Selain kondisi regional dan dalam negeri Israel, situasi internasional pasca-meletusnya perang Rusia-Ukraina turut mendorong AS membuka komunikasi dengan Iran. Iran turut bermain dalam perang Rusia-Ukraina dengan memasok pesawat tanpa awak (drone)ke Rusia. Diberitakan, Rusia sering menggunakan drone buatan Iran untuk menyerang sasaran Ukraina.
Semua faktor itu, minimal secara taktis, mendorong AS membuka komunikasi dengan Iran. Ini yang mengantarkan terwujudnya realitas baru di Timur Tengah saat ini, yaitu perundingan tidak langsung antara AS dan Iran dengan mediasi Oman untuk membahas semua isu, seperti isu tukar-menukar tahanan antara AS dan Iran, pencairan aset Iran yang dibekukan di luar negeri, isu intervensi Iran dalam perang Rusia-Ukraina, dan isu nuklir Iran.
Maka, diberitakan koordinator AS untuk Timur Tengah, Brett McGurk, pada awal Mei 2023 terbang ke Oman untuk membuka perundingan tidak langsung dengan pihak Iran. Dari pihak Iran, turut serta dalam perundingan tidak langsung itu adalah perunding senior nuklir Iran, Ali Bagheri Kani.
Perundingan tidak langsung antara Iran dan AS itu terus berlangsung semakin intensif di Oman sampai saat ini. Menteri Luar Negeri Oman Sayyid Badr Albusaidi, Rabu (14/6/2023), mengungkapkan bahwa AS dan Iran sudah mendekati mencapai kesepahaman secara final dalam bentuk pembebasan tahanan AS di Iran dengan imbalan pencairan aset Iran di luar negeri.
Iran menginginkan pencairan dana miliknya senilai 7 miliar dollar AS yang ditahan di beberapa bank Korea Selatan dalam beberapa pekan mendatang dengan imbalan pembebasan tahanan AS di Iran. Disinyalir ada tiga tahanan warga AS di Iran saat ini, di antaranya pengusaha asal AS, Siamak Namazi. Adapun Iran mengklaim, ada puluhan warga Iran yang ditahan di AS.
Dalam konteks isu nuklir, meskipun sampai saat ini gagal menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, AS masih berkeinginan kuat agar Iran tidak terus mengembangkan program hingga mencapai tingkat produksi senjata nuklir. Karena itu, AS menginginkan tercapai semacam kesepahaman dengan Iran, meski tidak mencapai setingkat kesepakatan seperti tahun 2015, agar Iran tidak memproduksi senjata nuklir.
Dalam kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, Iran hanya bisa melakukan pengayaan uranium hanya sampai ketingkat 3,67 persen dan pasokan uraniumnya hanya 202,8 kilogram. AS melalui kesepahaman baru dengan mediasi Oman menginginkan, Iran tetap berpegang teguh pada kesepakatan tahun 2015 itu. AS juga menginginkan Iran menghentikan suplai drone ke Rusia yang sering digunakan untuk menyerang sasaran Ukraina.
Kini semua mata tertuju ke Oman sambil berharap ada pengumuman kabar baik dari Oman terkait kesepahaman komprehensif yang akan dicapai AS-Iran.