Indikator Dini Alternatif
Sektor-sektor dalam negeri berbasis mobilitas, baik manufaktur maupun jasa, tetap berpotensi memberi dukungan bagi upaya mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi,
Di tataran makro, pemerintah dan bank sentral memerlukan informasi dini sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan suku bunga acuan. Untuk itu, diperlukan adanya indikator dini yang dapat membantu melihat ke depan melebihi cakrawala kasatmata.
Permasalahannya, pengguna indikator dini di atas menggunakan hubungan di antara variabel ekonomi yang teorinya dibangun di masa lalu. Ketika itu, perekonomian dalam situasi relatif stabil tanpa guncangan yang berarti.
Pandemi Covid-19 dan konflik Ukraina-Rusia memberi guncangan besar pada bekerjanya perekonomian global. Ini karena perilaku para pelakunya sudah berubah atau bergeser.
Akibatnya, pengambil kebijakan perlu melakukan improvisasi, termasuk di antaranya dengan mempertimbangkan indikator dini alternatif yang sebelumnya jarang digunakan.
Untuk itu, diperlukan adanya indikator dini yang dapat membantu melihat ke depan melebihi cakrawala kasatmata.
Indeks pembelian manajer pengadaan sektor manufaktur (Purchasing Managers’ Index/PMI) sangat potensial untuk menjadi kandidat karena mengandung komponen ekspektasi ke depan. Indeks ini juga dapat menjadi penghubung aspek mikro-makro ekonomi.
Improvisasi The Fed
Contoh terkini adalah keputusan bank sentral AS (The Fed) pada 14 Juni 2023 untuk mempertahankan suku bunga acuan di tingkat 5 persen setelah dalam sepuluh kali pertemuan sebelumnya selalu menaikkan suku bunga acuan. Namun, The Fed juga menggunakan kata-kata bersayap yang memberi sinyal tetap diperlukan kenaikan suku bunga acuan di masa depan. Hal ini karena inflasi masih berada di tingkat 4 persen dan belum kembali ke 2 persen.
Tampaknya faktor penting kali ini adalah perkembangan indikator dini PMI yang sebelumnya tidak digunakan sebagai dasar pertimbangan. Besaran PMI pada Mei dan Juni 2023 berturut-turut kembali ke zona kontraksi pada 48,5 dan 46,3. Padahal, PMI pada bulan April sebelumnya berada di zona ekspansi 50,2.
Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perekonomian AS akan terlalu awal memasuki resesi. Dalam situasi ini, pihak hawkish bersikeras agar The Fed tetap dengan kebijakan menaikkan suku bunga acuan sampai inflasi turun ke 2 persen. Sementara pihak dovish berpendapat, The Fed sudah terlalu berlebihan.
Argumen The Fed untuk pemberhentian sementara kenaikan suku bunga acuan adalah data penciptaan kesempatan kerja yang menunjukkan perekonomian AS sudah mulai mendingin. Tingkat pengangguran pada bulan Mei mencapai 3,7 persen, tertinggi sejak Oktober 2022.
Jumlah penganggur bertambah sebanyak 440.000 orang menjadi 6,1 juta penganggur. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi AS melambat ke 1,1 persen pada triwulan I-2023 dari 2,6 persen pada triwulan sebelumnya.
Satu titik cerah adalah indeks PMI China yang naik tipis antara April dan Mei sehingga masuk zona ekspansi.
Pemulihan global juga masih tersendat akibat pertumbuhan sektor produksi China yang masih di bawah ekspektasi walaupun ada perbaikan. Sebagai ilustrasi, produksi industri tumbuh 5,6 persen pada bulan April, jauh di bawah prediksi 10,9 persen. Aktivitas belanja konsumen tumbuh 18,9 persen, di bawah angka 21,9 persen yang diprediksi oleh Bloomberg.
Ini terjadi walaupun masyarakat mulai kembali mengunjungi pusat perbelanjaan dan restoran. Satu titik cerah adalah indeks PMI China yang naik tipis antara April dan Mei sehingga masuk zona ekspansi.
Sementara angka PMI naik dari 49,5 ke 50,9. Produksi mencapai level yang tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir. Selain itu, waktu pengiriman menjadi semakin pendek karena pemasok mempunyai persediaan yang cukup.
Baca juga: Interaksi Ekspektasi dan Dilema Kebijakan
Dampak dari situasi pertumbuhan di kedua lokomotif ekonomi dunia tersebut terlihat dari data PMI untuk sektor manufaktur dunia. Sejak Maret sampai April 2023, indeks PMI global sektor manufaktur berada di 49, masih di bawah 50, yaitu batas antara ekspansi dan kontraksi. Besaran indeks ini pada bulan Mei tetap berada di zona kontraksi 49,6.
Faktor kompensasi yang mempertahankan momentum pemulihan dunia adalah sektor jasa, terutama karena pulihnya mobilitas masyarakat setelah Covid-19 dinyatakan sebagai endemi. Indeks PMI global sektor jasa sejak Februari 2023 terus berada di zona ekspansi. Indeks global sektor jasa ini naik dari 54,20 pada bulan April ke 54,40 pada Mei.
Indeks dollar AS, ekspor, dan harga minyak
Transmisi situasi global pada perekonomian dalam negeri terjadi melalui ekspor. Ekspor melibatkan proses produksi dan investasi yang membutuhkan keputusan di depan. Dengan demikian, kegiatan ekspor mengandung elemen ekspektasi. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan ekspor Indonesia yang terimbas situasi dunia yang masih dalam ketidakpastian.
Ekspor melibatkan proses produksi dan investasi yang membutuhkan keputusan di depan.
Situasi ini menyebabkan perkembangan ekspor dapat dijadikan indikator dini alternatif perkembangan pemulihan global, selain data PMI. Secara tahunan, ekspor kembali mencatat pertumbuhan positif tipis pada bulan Mei sebesar 0,96 persen setelah mengalami pertumbuhan negatif pada bulan Maret dan April.
Di sisi lain, pertumbuhan tahunan impor melonjak menjadi 14,35 persen pada bulan Mei setelah mencatat minus 22,32 persen pada bulan sebelumnya. Konsekuensinya adalah pada surplus neraca dagang walaupun masih tetap terhitung surplus selama 37 bulan berturut-turut. Surplus pada Mei sebesar 0,44 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan dengan 3,9 miliar dollar AS pada bulan sebelumnya.
Baca juga: Relasi Dollar AS dan Harga Minyak
Perkembangan di atas menunjukkan dampak global terhadap indeks dollar AS dan harga minyak yang ditransmisikan pada perekonomian dalam negeri. Indeks dollar AS melemah dari 104 ke bilangan 102. Ini berdampak pada nilai rupiah per dollar AS. Rupiah dapat bertahan di kisaran Rp 14.800-Rp 14.900 per dollar AS setelah sempat menyentuh Rp 15.000. Namun, penguatan lebih lanjut belum terjadi karena ekspektasi positif dari surplus neraca dagang yang mengecil tidak cukup kuat.
Sisi positifnya, perkembangan dunia tersebut membuat harga minyak dunia relatif lebih stabil. Brent, misalnya, bergerak di kisaran 74-75 dollar AS per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di kisaran 69-70 dollar AS per barel.
Ada dua kekuatan yang bermain di pasar yang membuat harga minyak bergerak di rentang lebih sempit. Peluang resesi di AS dan dunia membuat harga minyak Brent tidak dapat bertahan lama di atas 80 dollar AS. Berita tercapainya kesepakatan batas pagu defisit anggaran antara Gedung Putih dan The House di AS membuat peluang resesi mengecil.
Sisi positifnya, perkembangan dunia tersebut membuat harga minyak dunia relatif lebih stabil.
Perkembangan ini berpotensi menstabilkan, bahkan meningkatkan permintaan minyak dunia sehingga harga minyak Brent tidak dapat berada di bawah 70 dollar AS per barel. Implikasinya, harga bahan bakar minyak dalam negeri dapat diturunkan. Pertamax, misalnya, harganya turun dari Rp 13.300 ke Rp 12.500 per liter.
Dengan demikian, sektor-sektor dalam negeri berbasis mobilitas, baik manufaktur maupun jasa, tetap berpotensi memberikan dukungan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Ini dapat dijadikan target antara bagi kebijakan berorientasi pertumbuhan dan penciptaan kesempatan kerja.
Prospeknya terlihat dari indeks PMI Indonesia yang merupakan gabungan antara sektor manufaktur dan jasa. Kendati angkanya turun signifikan dari 52,7 pada April ke 50,3 pada bulan Mei, itu tidak sampai masuk dalam zona kontraksi.
*Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia