Selain harus dibuka ke publik, persoalan pilihan-pilihan pengembangan energi terbarukan yang akan dibiayai JETP juga harus pula menjangkau komunitas-komunitas masyarakat yang selama ini tidak terjangkau listrik.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·4 menit baca
Setiap aktivitas manusia memerlukan energi. Kebutuhan manusia terhadap energi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas. Singkat kata, persoalan energi adalah persoalan hajat hidup orang banyak. Konsekuensinya, setiap kebijakan terkait dengan energi akan berpengaruh terhadap kehidupan publik.
Seiring dengan terjadinya krisis iklim, muncul desakan yang cukup kuat dari masyarakat internasional agar negara-negara di dunia mulai melakukan transisi energi. Negara-negara di dunia didesak untuk secepat mungkin meninggalkan energi fosil, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim, dan menggantikannya dengan energi terbarukan.
Indonesia adalah salah satu negara, yang masih sangat tergantung dengan energi fosil, tak luput dari desakan kuat masyarakat internasional untuk segera melakukan transisi energi. Sebagai negara yang masih sangat tergantung pada energi fosil, Indonesia tentu memerlukan dana yang sangat besar untuk memenuhi desakan transisi energi itu.
Tahun lalu, ada secercah harapan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi. Di sela-sela KTT G20, Indonesia berhasil menggalang komitmen pendanaan untuk transisi energi dari negara-negara G7. Komitmen itu tertuang dalam JETP (Just Energy Transition Partnership). Negara-negara G7 akan memobilisasi pendanaan untuk transisi energi Indonesia senilai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310,4 triliun. Sebelumnya, Afrika Selatan juga mendapatkan komitmen pendanaan melalui mekanisme JETP ini.
Awal tahun ini, pemerintah sudah meluncurkan Sekretariat JETP. Sekretariat ini, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, akan menjadi pusat informasi, perencanaan dan koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek JETP seperti yang diinstruksikan oleh Tim Gugus Tugas.
Membuka informasi
Seperti dikemukakan sebelumnya, energi adalah persoalan hajat hidup orang banyak sehingga kebijakan apa pun terkait energi, termasuk transisi energi akan berdampak bagi kehidupan publik. Pertanyaannya adalah apakah Sekretariat JETP sudah melibatkan publik sudah dalam pengambilan kebijakan mengenai transisi?
Langkah awal untuk melibatkan publik adalah membuka informasi seluas-luasnya terkait rencana transisi energi dalam skema JETP. Para penggiat lingkungan hidup di Indonesia sudah sejak awal mendesak pemerintah untuk membuka informasi publik terkait skema JETP ini.
Langkah awal untuk melibatkan publik adalah membuka informasi seluas-luasnya terkait rencana transisi energi dalam skema JETP.
Setelah mendapatkan desakan publik itu, akhirnya Sekretariat JETP pada awal bulan Juni ini, di sebuah hotel bintang di Jakarta, mulai melakukan dialog dengan masyarakat. Ini tentu sebuah kabar yang menggembirakan. Publik berharap ini awal bagi keterbukaan informasi dan pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan transisi energi.
Acara dialog itu diawali dengan paparan dari Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Sekretariat JETP yang kemudian dilanjutkan dengan dialog dengan peserta. Sayangnya, dalam acara dialog itu pemerintah masih menutupi informasi krusial terkait JETP. Informasi krusial yang masih ditutupi itu adalah komposisi pembiayaan transisi energi dalam JETP yang berbasiskan utang luar negeri.
Pertanyaan tentang komposisi pendanaan transisi energi yang berbasiskan utang luar negeri dalam skema JETP di Indonesia harus dibuka ke publik. Publik, sebagai pembayar pajak, yang akan membiayai setiap rupiah yang digunakan untuk membayar utang baru, wajib mengetahui utang luar negeri yang dibuat pemerintah meskipun itu utang dengan bunga rendah.
Publik tentu berharap setiap pembiayaan terkait mitigasi GRK, termasuk transisi energi dalam skema JETP lebih didominasi hibah dari negara-negara maju. Pendanaan transisi energi berbasiskan utang luar negeri sejatinya bertentangan dengan cita-cita JETP, transisi energi berkeadilan. Hal ini bukan saja terkait dengan persoalan beban utang Indonesia, melainkan juga terkait dengan tanggung jawab atas jejak ekologi yang dibuat oleh negara-negara maju yang sekarang menjadi donor dari skema JETP.
Negara-negara maju yang sekarang menjadi negara donor dalam JETP adalah negara-negara yang lebih dahulu dan secara masif mencemari atmosfer dengan GRK. Tidak adil rasanya apabila untuk membayar dosa ekologi itu, mereka kembali menjerat negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dengan utang baru yang mengatasnamakan transisi energi.
Bukan hanya itu, dari sisi lingkungan hidup, publik di Indonesia memiliki pengalaman buruk terkait dengan jebakan utang luar negeri. Sejak era Orde Baru, berbagai jebakan utang luar negeri berbanding lurus dengan perusakan alam di Indonesia. Setiap dollar utang luar negeri yang dibuat akan membawa konsekuensi pelonggaran berbagai izin lingkungan hidup untuk menarik investasi. Apakah utang untuk transisi energi dalam JETP ini juga akan membawa dampak penghancuran alam yang sama?
Persoalan keadilan
Bukan hanya persoalan keterbukaan informasi dan keterlibatan publik yang masih menjadi hambatan untuk kebijakan transisi energi yang adil dalam JETP. Persoalan pilihan-pilihan pengembangan energi terbarukan yang akan dibiayai JETP pun juga menyisakan persoalan keadilan.
Salah satu target lainnya dalam JETP adalah mempercepat pemanfaatan energi terbarukan sehingga porsinya mencapai setidaknya 34 persen dari seluruh pembangkit listrik (bauran energi pembangkit listrik) di Indonesia pada 2030.
Paparan Kementerian ESDM dalam dialog JETP dengan masyarakat sipil awal Juni 2023 mengungkapkan bahwa pemerintah akan membangun super grid ketenagalistrikan untuk mengembangkan energi terbarukan.
Konsekuensi dari pengembangan super grid ketenagalistrikan ini adalah pengembangan energi terbarukan akan diarahkan kepada proyek-proyek skala besar. Proyek-proyek skala besar, termasuk energi terbarukan, akan membawa dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat. Dari persoalan konflik agraria sampai konflik yang berbasiskan ekologis. Artinya, proyek-proyek energi terbarukan berskala besar yang akan dibiayai skema JETP justru akan membawa potensi ketidakadilan baru bagi masyarakat.
Ironisnya, Kementerian ESDM sama sekali tidak menyinggung pembangunan mini grid berbasiskan energi terbarukan di komunitas-komunitas masyarakat yang selama ini tidak terjangkau listrik. Padahal, pembangunan mini grid berbasiskan komunitas selain memiliki risiko yang kecil dari sisi sosial dan ekologi dibandingkan pembangunan proyek-proyek energi terbarukan skala besar juga akan menghadirkan keadilan dalam pembangunan. Dengan melupakan pengembangan energi terbarukan di akar rumput, satu pintu lagi transisi tak berkeadilan di buka dalam JETP.
Pemerintah berencana meluncurkan proyek-proyek yang didanai JETP pada pertengahan Agustus 2023. Masih ada beberapa bulan lagi bagi pemerintah untuk berbenah. Pemerintah perlu mengubah paradigma pengelolaan transisi energi dalam JETP. Tanpa perubahan paradigma, cita-cita JETP mewujudkan transisi energi berkeadilan hanya akan menjadi sekadar mimpi yang tak pernah terwujud dalam kenyataan.