SDM Riset, Kolaborasi, dan Ambisi Negara Maju
Kolaborasi antarperguruan tinggi dan industri sangat penting sehingga pengetahuan tidak hanya untuk menciptakan pengetahuan ("knowledge for the sake of knowledge"), tetapi juga hilirisasi ilmu.
Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan negara-negara di dunia tidaklah sama.
Solow (1957) memperkenalkan model pertumbuhan ekonomi di mana, menurut dia, kunci dari tingkat kesejahteraan negara adalah akumulasi moda fisik melalui investasi.
Dengan dipelopori oleh Romer (1986), model ini telah dikembangkan menjadi model pertumbuhan endogen dengan memasukkan modal manusia (human capital), learning by doing, atau riset (R&D). Implikasi menarik dari model Solow adalah sangat mungkin bagi negara-negara yang masih tertinggal untuk mengurangi, bahkan menyusul, ketertinggalannya dari negara-negara maju (Barro dan Xala-i-Martin {2004}).
Baca juga: Saatnya Membangun Manusia
Berkaitan dengan R&D, pada terbitan 12 Juni 2023, harian The South China Morning Post memuat artikel menarik.
Disebutkan, Universitas Sun Yat-sen, China, yang mempunyai peringkat ke-267 versi QS, ternyata menyalip Universitas Oxford dalam hal kontribusi terhadap total keluaran riset global. Menurut Nature Index, Universitas Sun Yat-sen menghasilkan 22 persen lebih banyak keluaran riset dunia dibandingkan dengan Universitas Oxford yang menduduki peringkat keempat universitas di dunia.
Dalam pengukurannya, indeks tersebut menekankan pada riset yang berkualitas tinggi dan kolaborasi antarinstitusi, termasuk industri.
Pengalaman 1990-an
Artikel di atas mengingatkan pengalaman kami tahun 1990-1994 ketika jadi mahasiswa pascasarjana ilmu ekonomi di satu universitas swasta Ivy League di Amerika Serikat.
Kami tinggal di asrama mahasiswa (graduate center). Semua sibuk. Satu-satunya interaksi adalah ketika berada di dapur bersama, memasak atau menghangatkan makanan.
Mereka mendapat beasiswa dari pemerintahnya hanya untuk dua tahun pertama, untuk bertahan (survive) di ujian kualifikasi. Setelah lolos ujian kualifikasi, mereka bisa mendapat beasiswa sebagai teaching assistant dari universitas.
Para profesor yang mempunyai hibah penelitian dari institusi riset dan industri juga merupakan sumber beasiswa bagi para mahasiswa pascasarjana ini melalui research assistantship.
Dari interaksi ini kami mengetahui bahwa mereka kebanyakan berasal dari China, Korea Selatan, dan India yang pemerintahnya berambisi menjadi negara maju dengan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) riset yang unggul, melalui learning by doing.
Baca juga: Pelembagaan Riset dan Inovasi Perguruan Tinggi untuk Hilirisasi
Mayoritas mereka mengambil sains dan teknologi. Sementara itu, teman-teman yang berasal dari ilmu sosial dan humaniora fokus pada perilaku mikro masyarakat.
Banyak di antara mereka menjadi asisten riset di lembaga penelitian sosial dan humaniora antardisiplin, Population Studies and Training Center, di Brown University.
Di departemen kami, tahun 1990-an adalah masa di mana model pertumbuhan Solow mengalami kebangkitan baru.
Salah satu variannya adalah model R&D. Kemajuan teknologi atau pengetahuan merupakan alasan utama mengapa jumlah output yang lebih besar dapat diproduksi dengan sejumlah tertentu barang modal dan tenaga kerja.
Untuk dapat menangkap hal ini, model pertumbuhan Solow perlu dimodifikasi. Pertama adalah memasukkan sektor R&D ke dalam model. Kedua adalah memodelkan produksi teknologi baru yang dipisahkan dari produksi barang-barang konvensional.
Kolaborasi riset
Fenomena lain terjadi pada lembaga pemeringkatan internasional, misalnya QS. Pembobotan jauh lebih berat ke reputasi akademis dibandingkan dengan sitasi dan H-index yang dihitung dari publikasi ilmiah.
Untuk seni dan humaniora, bobot reputasi akademis adalah 60 persen, reputasi tempat kerja 20 persen, sitasi karya ilmiah 10 persen, dan untuk H-index 10 persen. Sementara itu, dalam urutan yang sama, untuk sains berturut-turut bobotnya adalah 40 persen, 20 persen, 20 persen, dan 20 persen.
Untuk teknologi: 40 persen, 30 persen, 15 persen, dan 15 persen. Untuk rumpun ilmu kesehatan: 40 persen, 10 persen, 25 persen, dan 25 persen. Sementara untuk ilmu sosial dan manajemen: 50 persen, 30 persen, 10 persen, dan 10 persen.
Reputasi akademis di atas mencerminkan pentingnya kolaborasi antarperguruan tinggi dan industri sehingga pengetahuan tidak hanya untuk menciptakan pengetahuan (knowledge for the sake of knowledge), tetapi juga hilirisasi ilmu.
Reputasi akademis nilainya akan tinggi jika mempunyai kolaborasi dengan universitas-universitas di dunia dalam mobilitas dosen serta mahasiswa untuk berpartisipasi dalam joint research yang membantu mencari pemecahan masalah-masalah dunia.
Mereka ini kemudian turut berperan dalam kebangkitan perekonomian negara masing-masing melalui hilirisasi ilmu ke industri dan membangun SDM nasional ala triple-helix.
Penandatanganan nota kesepakatan bersama hanya merupakan formalitas awal saja dari suatu proses kolaborasi. Apakah kemudian akan berkembang ke arah implementasi, tergantung kemampuan ice breaking dari kimiawi pihak-pihak yang terlibat, termasuk kemampuan naratif, negosiasi, dan persuasi.
Kembali ke pengalaman kami pada 1990-an. Setelah mahasiswa pascasarjana menyelesaikan pendidikan, mereka tak langsung pulang, tapi mengambil post-doc di berbagai universitas dan industri untuk memperkuat jejaring riset internasional. Setelah post-doc, ada yang menjadi diaspora karena mendapat tenor, ada juga yang kembali ke negara masing-masing.
Mereka ini kemudian turut berperan dalam kebangkitan perekonomian negara masing-masing melalui hilirisasi ilmu ke industri dan membangun SDM nasional ala triple-helix.
Kolaborasi menjadi lebih mudah karena sudah saling mengenal dan percaya (faktor budaya). Persahabatan terjadi baik karena sebagai teman seperjuangan pada saat menjadi mahasiswa pascasarjana, post-doctoralfellow, dan mobilitas melalui berbagai program cuti akademis (sabbatical leave).
Pembiayaan kolaborasi
Proses implementasi kolaborasi dipermudah dengan keberadaan lembaga pembiayaan.
Berbagai yayasan internasional dan lembaga penyandang dana di sejumlah negara seperti National Science Foundation (NSF) dan National Institute of Health (NIH) di AS, Australian Research Council (ARC), dan Newton Foundation di Inggris.
Di Indonesia, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga mulai terlibat dalam pembiayaan seperti ini.
Indonesia juga sudah mulai mengikuti international best practice. Misalnya, program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merupakan langkah awal memperkenalkan perguruan tinggi Indonesia ke dunia internasional.
Dalam hal mobilitas dosen, sudah ada fasilitasi kerja sama antara konsorsium universitas antara dua negara—misalnya Australia-Indonesia, Singapura-Indonesia, dan lain-lain—untuk mobilitas internasional, baik dari Indonesia ke luar negeri (outbound) maupun sebaliknya (inbound).
Baca juga: Pendidikan Tinggi dan Ketimpangan
Pengalaman di atas terjadi di berbagai universitas terkemuka di seluruh dunia. Sesuai dengan prediksi catching-up model Solow dan Romer, hasilnya baru akan terlihat dua atau tiga dekade kemudian.
Jika produk domestik bruto (PDB) digunakan sebagai ukuran besarnya perekonomian, saat ini PDB Amerika Serikat masih yang terbesar di dunia dengan 23 triliun dollar AS dalam harga konstan 2021. China di tempat kedua dengan 18 triliun dollar AS, disusul India 3 triliun dollar AS di tempat ketiga.
Sementara Korea Selatan menjadi produsen gadget elektronik terkemuka dunia. Ekonom institusi keuangan Goldman-Sachs, Daly dan Gedminas (2022), meramalkan PDB China akan melampaui AS pada 2035. Sementara India akan menyusul AS pada 2075.
Bagi Indonesia yang beraspirasi jadi negara maju di 2045, pengalaman di atas merupakan ilustrasi bagaimana negara-negara lain mempercepat proses memanjat learning curve.
Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia