“Bandwagon Effect” dalam Politik
Dalam politik, efek bandwagon punya sisi negatif. Tak banyak orang yang mau kritis mengevaluasi gagasan atau kualifikasi seorang kandidat politik sebelum mereka memutuskan untuk mendukungnya.
Bandwagon effect adalah efek ikut-ikutan pada sesuatu yang sedang menjadi tren. Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk menjelaskan fenomena ikut-ikutan yang terjadi dalam pemilihan politik di Amerika. Dalam perkembangannya, bandwagon effect tak hanya berlaku untuk fenomena politik, tetapi juga untuk fenomena lain seperti tren fesyen, kecantikan, turisme, hingga perilaku seseorang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tak jarang ulah para pemengaruh (influencer) di media sosial (medsos) jadi menguatkan fenomena bandwagon effect ini. Tak sedikit pula orang ikut-ikutan meniru apa yang ngetren itu. Pokoknya sesuatu yang viral dan menjadi perbincangan publik kecenderungannya banyak ditiru. Apakah itu tren terkait dengan penampilan diri, gaya hidup, maupun perilaku tertentu. Lewat beragam platform medsos aneka tren itu sengaja diciptakan agar diikuti banyak orang.
Sesuatu yang bisa jadi tren dapat berupa apa saja. Bisa model pakaian, potongan rambut, cara berdandan, penggunaan bahasa atau kata-kata tertentu, hingga perilaku tertentu yang kadang aneh dan nyleneh. Dalam politik, hasil survei elektabilitas misalnya, bisa jadi dapat menciptakan tren dukungan pada sosok kandidat tertentu yang diikuti oleh para pendukung lainnya yang ikut-ikutan.
Baca juga: Balkanisasi Demokrasi Digital
Pengaruh survei politik
Dalam politik, tak jarang tren tertentu sengaja diciptakan. Soal elektabilitas seorang kandidat misalnya, lewat perangkat survei politik kandidat presiden dalam Pemilu 2024 yang dilakukan sejumlah lembaga survei menghasilkan pemeringkatan kandidat. Tak jarang hasil survei mampu menggiring opini publik pada sosok kandidat tertentu. Tak jarang pula masyarakat ikut-ikutan mendukung sosok yang elektabilitasnya tinggi.
Dalam survei terbaru tentang cawapres 2024, sejumlah lembaga survei seperti Indopol, LSI Denny JA, Indonesia Political Opinion, Lembaga Survei Nasional, Survei Kompas, Indikator politik Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan beberapa lembaga survei lain telah memunculkan tiga kandidat kuat capres, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anis Baswedan.
Hasil dari beberapa lembaga survei masih fluktuatif, masih berubah-ubah. Namun dari hasil beberapa lembaga survei tersebut telah dijadikan rujukan dalam memberi dukungan. Termasuk munculnya tindakan ikut-ikutan dalam dukungan politik mengikuti yang lagi tren. Dalam kaitan ini semakin terjadi kesenjangan hasil survei antara sosok yang satu dengan yang lain maka akan semakin besar pula kemungkinan dukungan ikut-ikutan tertuju pada kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Ketika seseorang melihat hasil survei yang menunjukkan bahwa suatu kandidat atau partai politik mendapatkan dukungan yang luas dan populer, mereka mungkin cenderung mengikuti arus dan mendukung juga. Mereka mungkin merasa bahwa banyak orang lain telah memilih kandidat tersebut sehingga mereka merasa lebih aman atau yakin untuk mengikuti dukungan tersebut. Fenomena ini dapat memicu efek bandwagon di mana individu mengikuti tren umum daripada melakukan evaluasi yang lebih mendalam terhadap pilihan mereka sendiri.
Ketika seseorang melihat hasil survei yang menunjukkan bahwa suatu kandidat atau partai politik mendapatkan dukungan yang luas dan populer, mereka mungkin cenderung mengikuti arus dan mendukung juga.
Namun di sisi lain juga muncul underdog effect, yakni ketika pemilih cenderung mendukung kandidat atau partai yang dianggap sebagai pihak yang lemah atau kurang populer. Pemilih mungkin merasa simpati terhadap kandidat atau partai yang dianggap tidak diuntungkan atau diabaikan oleh mayoritas. Mereka mungkin merasa terinspirasi oleh semangat perlawanan dan harapan bahwa underdog dapat mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan yang tidak terduga.
Contoh underdog effect dalam politik adalah ketika seorang kandidat atau partai yang semula dianggap tidak memiliki peluang menang yang tinggi, tetapi kemudian berhasil memperoleh dukungan dan momentum yang kuat. Hal ini dapat memicu gelombang dukungan dari pemilih yang merasa terinspirasi oleh semangat perlawanan dan ingin mendukung kandidat atau partai yang dianggap underdog.
Efek pemengaruh
Pengaruh medsos dalam urusan dukung-mendukung dalam kontestasi politik tak bisa diangap enteng. Melalui sejumlah akun medsos sejumlah pemengaruh (influencer) itu meyakinkan orang lain bahwa sang kandidat tertentu adalah calon terbaik. Kontribusi para pemengaruh dalam mempengaruhi opini publik kini sangat kuat.
Dalam konteks medsos, ulah para pemengaruh itu menjadi rujukan. Ketika teman-teman dekat, sahabat, kelompok, atau komunitas ikut tren tertentu, kecenderungannya anggota kelompok yang lain juga ikut. Adanya tekanan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar dapat memicu seseorang terjerat ikut-ikutan. Tren yang sedang ramai diperbincangkan banyak orang juga bisa membuat seseorang latah untuk mengikuti tren tersebut demi dianggap ngetren.
Adanya tekanan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar dapat memicu seseorang terjerat ikut-ikutan.
Faktor Fear of Missing Out (FoMO) juga ikut memengaruhi. Fenomena social anxiety yang disebut dengan FoMO ini dapat menyebabkan seseorang merasa kurang gaul kalau belum ikutan apa yang lagi tren di medsos. Akibatnya, banyak orang yang latah dan tak mempertimbangkan dengan bijak atas perilaku ikut-ikutan yang dilakukan. Tak sedikit orang yang anut grubyuk tanpa punya pendirian.
Sesungguhnya tak semua bandwagon effect itu untuk sesuatu yang buruk atau negatif. Banyak perilaku positif seperti maraknya gerakan ikut berdonasi dan membantu sesama merupakan contoh aktivitas efek bandwagon yang positif. Beragam kampanye positif tentang banyak hal bisa menjadi tren bagus yang layak diikuti banyak orang. Peran para pemengaruh dalam menyampaikan pesan-pesan positif agar menjadi tren sesungguhnya sangat penting.
Dalam politik, efek bandwagon punya sisi negatif. Tak banyak orang yang mau kritis mengevaluasi gagasan atau kualifikasi seorang kandidat politik sebelum mereka memutuskan untuk mendukungnya. Dalam hal ini, pilihan politik dapat menjadi kurang rasional dan lebih didasarkan lebih kepada tekanan sosial atau tren populer. Untuk itu, penting untuk melakukan riset, mengevaluasi gagasan, dan kualifikasi calon sebelum membuat keputusan politik.
Baca juga: Disonansi Kognitif Pemilih
Baca juga: Medan Riset dan Jajak Pendapat di Indonesia
Efek bandwagon seringkali digunakan dalam kampanye politik sebagai strategi untuk membangun citra popularitas dan mendapatkan dukungan yang lebih luas. Kandidat atau partai politik tertentu dapat menggunakan poling yang menunjukkan popularitas mereka yang tinggi untuk mencoba meyakinkan pemilih potensial bahwa mereka adalah pilihan yang paling disukai atau paling kuat.
Mengikuti suatu tren sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan oleh manusia. Namun, efek bandwagon bisa merugikan jika kita tidak selektif dalam mengikuti tren tersebut. Efek bandwagon yang muncul berkaitan kontestasi politik bisa jadi dapat menciptakan penyesalan di kemudian hari. Ingat, kontestasi politik itu tak serupa seperti orang beli kucing dalam karung.
Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang