Strategi Pembangunan Kita
Ada terobosan menarik dalam detail rencana kerja transformasi Indonesia menuju 2045. Selain program wajib belajar 12 tahun, jaminan gizi, juga peningkatan partisipasi kelompok rentan sebagai aktor dalam pembangunan.
Tahun-tahun politik bertarget jangka pendek dewasa ini tak boleh menyurutkan kita berpikir tentang nasib jangka panjang bangsa.
Sesuai dengan tugasnya, inilah yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dengan judul Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, Bappenas menggelar apa yang disebut Visi dan Misi Indonesia Emas 2045 melalui perubahan pendekatan pembangunan dengan, antara lain, ”transformasi menyeluruh”.
Hal ini ditekankan karena reformasi tidak lagi memadai. Maka, transformasi bertujuan ”mewujudkan pembangunan yang kompetitif, didorong produktivitas yang inklusif dan berkelanjutan”.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa meski kemajuan telah dicapai, ”struktur ekonomi masih berbasis sektor bernilai tambah rendah dan sebagian tenaga kerja di sektor pertanian dan jasa dengan produktivitas rendah”. Ini relatif diatasi dengan hilirisasi produk sumber daya mineral, ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas itu dari 800 juta dollar AS pada 2015 menjadi 6 miliar dollar AS pada 2022.
Pada saat yang sama, rata-rata total factor productivity (TFP) Indonesia rendah: minus 0,66 pada 2005-2019. China pada kurun yang sama 1,60 dan Korea sepanjang 1971-1995 adalah 1,61. Ini dijelaskan oleh fakta bahwa 56,3 persen tenaga kerja di Indonesia lulusan sekolah menengah pertama ke bawah.
Baca juga : Kesinambungan Pembangunan
Oleh karena itu, tak mengherankan jika sepanjang 2010-2022, 98,92 persen tenaga kerja hanya terserap di usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski merupakan 99,99 persen dari total pelaku usaha pada 2019, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) ”hanya” mencapai 60,51 persen.
Untuk menemukan tesis-tesis yang memberikan penjelasan dan tambahan seperlunya, saya membatasi telaah pada aspek asumtif dalam rancangan awal pembangunan jangka panjang di atas.
Narasi kecil di atas narasi besar
Tentu, sebagai sebuah rancangan pembangunan jangka panjang, naskah ini berisi narasi besar apa yang disebut Visi Indonesia Emas 2045. Di bawah judul ”Transformasi Indonesia”, didaftar bidang-bidang yang akan diubah: sosial, ekonomi, dan tata kelola.
Guna menjamin keberhasilan transformasi, naskah ini mensyaratkan adanya dua hal pokok: ”landasan transformasi” dan ”kerangka implementasi”-nya. Supremasi hukum, stabilitas makro, dan ketangguhan diplomasi adalah komponen-komponen ”landasan transformasi”. Sementara, pembangunan kewilayahan yang merata dan berkualitas, sarana dan prasarana berkualitas dan ramah lingkungan, serta kesinambungan pembangunan adalah komponen-komponen ”implementasi transformasi”.
Dengan menjadikan 2025 sebagai base line, melalui program transformasi itu, diutarakan apa yang akan dicapai pada 2045. Yang penting adalah stabilitas ekonomi makro, dari pergerakan persentase rasio pajak terhadap PDB dan tingkat inflasi, masing-masing dari 10,0-12,0 menjadi 18,0-22,0 dan 2,5±1 jadi 2,0±1.
Sementara, dalam konteks ”transformasi tata kelola”, dinyatakan bahwa indeks sistem pemerintahan berbasis elektronik dan pelayanan publik masing-masing meningkat dari 2,3 menjadi 5,0 dan 3,9 menjadi 5,0. Dan, dalam konteks ”transformasi ekonomi”, dinyatakan bahwa persentase biaya logistik menurun menjadi 9,0 dari 23,2.
Dari sekian banyak, penulis memilih bidang-bidang tertentu di dalam program narasi besar transformasi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 ini. Sebab, dengan pilihan bidang-bidang tadi, kita masih melihat tesis tentang peranan negara di dalam benak Bappenas. Dalam arti kata lain, tesis ini mengungkapkan bahwa Bappenas tidak terpengaruh gagasan Friedrich von Hayek.
Sebagaimana kita ketahui, dalam artikelnya yang berpengaruh, ”The Use of Knowledge in Society” (1945), Hayek dengan pedas mengkritik sistem perencanaan terpusat. Dipengaruhi gagasan invisible hand Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776), Hayek menyatakan, perencanaan (planning) adalah kompleks keputusan yang saling terhubung (interrelated decisions) atas penjatahan sumber daya yang tersedia.
Ini dimungkinkan karena perencanaan tersebut didasarkan pada scientific knowledge. Akan tetapi, bagi Hayek, scientific knowledge itu bukan hanya sebagian dari bentangan yang luas, melainkan—walau tak diungkapkan Hayek—dianggap terlalu ”resmi”. Dengan mengungkapkan ini, Hayek ingin menyatakan bahwa di samping yang ”resmi” terdapat unorganized knowledge.
Dalam pandangannya, peristiwa ekonomi keseharian yang diaktori ratusan juta orang, yang justru berlaku adalah unorganized knowledge itu, yaitu pengetahuan spesifik dan saling berbeda, bahkan kontradiktif satu sama lain yang menentukan pilihan mereka dalam memutuskan. Justru pada keberagaman besar unorganized knowledge ini sebuah perencanaan terpusat jadi mustahil.
Ujungnya bisa diterka. Perekonomian harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Kelak, melalui kampanye, antara lain, Milton Friedman, gagasan Hayek ini tertopang institusi politik yang mendorong lahirnya Thatcherisme di Inggris dan Reaganomics di Amerika akhir 1970-an dan 1980-an. Serangkaian krisis ekonomi, terutama krisis finansial global 2008, berkaitan dengan ini.
Supremasi hukum, stabilitas makro, dan ketangguhan diplomasi adalah komponen-komponen ”landasan transformasi”.
Namun, saya sebenarnya lebih tertarik pada narasi kecil karya Bappenas. Yang saya maksudkan dengan narasi kecil adalah detail rencana kerja transformasi Indonesia menuju 2045. Ada tesis mendasar dalam narasi kecil itu.
Lepas dari retorika lima sasaran, 17 tujuan (pembangunan) yang diukur dengan 45 indikator utama—menggambarkan Pancasila serta tanggal dan tahun kemerdekaan kita—narasi kecil tersebut berbicara wajib pendidikan anak usia dini (PAUD) dan wajib belajar 12 tahun.
Seiring dengan itu ditekankan penguatan pengelolaan tenaga pendidik, revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi terkait industri, diversifikasi layanan pendidikan digital, diferensiasi misi perguruan tinggi, dan seterusnya.
Program ini berjalan serentak dengan penguatan pengelolaan tenaga medis, pengembangan pelayanan kesehatan primer sampai tingkat desa dan kelurahan, jaminan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, pendidikan dokter spesialis berdasarkan rumah sakit dan percepatan masa produksi dokter. Di sisi lain, dalam konteks ”perlindungan sosial adaptif”, ditekankan peningkatan partisipasi kelompok rentan dalam angkatan kerja.
Bagaimana memahami narasi kecil ini? Bab pertama disertasi Esther Duflo yang disampaikan kepada Massachusett Institute of Technology (MIT) pada 1999, ”Essays in Emperical Development Economics”, menguraikan bagaimana strategisnya pendidikan dasar, melalui pembangunan SD inpres di Indonesia pada masa Orde Baru (1967-1998), terhadap pembangunan kualitas manusia.
Ilustrasi
Sebagai unusual policy, Duflo menekankan bahwa tindakan itu bukan random, melainkan disengaja. Sebab, jika dibiarkan kepada mekanisme pasar, maka ”more affluent communities can afford to build more schools,” tulisnya.
Hasilnya, kata Duflo, kebijakan ini bukan saja mengikutsertakan kelompok penduduk termiskin, melainkan secara keseluruhan telah mendorong jumlah penduduk menyelesaikan tambahan tahun untuk pendidikan dasar.
Tambahan ini, tulis Duflo, telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah (dalam konteks tenaga kerja), lebih dari 3,8 persen bagi tiap pembangunan tambahan sekolah per 1.000 murid. Pertumbuhan ekonomi tinggi masa Orde Baru, antara lain, ditunjang oleh kualitas anak didik yang direproduksi secara masif melalui pembangunan SD inpres.
Walau tak disebut, saya memperkirakan, sebagian narasi kecil Bappenas dipengaruhi oleh Duflo. Studinya tentang SD inpres membuat Duflo mendapat Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 2019. Di sini, sebagaimana disinggung di bawah, narasi kecil berada di atas narasi besar.
Tesis manusia sang aktor
Akan tetapi, seperti telah didaftar di atas, tekanan narasi kecil Bappenas tak hanya berhenti pada rekonstruksi Duflo. Sebab, di samping pendidikan dasar dan wajib belajar 12 tahun, narasi kecil ini juga memfokuskan diri kepada kesehatan dan hal-hal terkait. Walaupun dikaitkan dengan tengkes (stunting), program ”jaminan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan” adalah terobosan. Terutama, karena ini bersimbiosis dengan program ”peningkatan partisipasi kelompok rentan dalam angkatan kerja”.
Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa melalui narasi kecil ini kian terlihat bahwa pembangunan yang dirancang Bappenas tegak pada tesis manusia secara individual adalah ”aktor”.
Dari segi konseptual, ”aktor” di sini bisa diartikan sebagai pribadi yang bukan saja bertanggung jawab terhadap diri sendiri, melainkan juga kepada masyarakat di sekitarnya. Program ”meningkatkan partisipasi kelompok rentan dalam angkatan kerja” di atas kian menguatkan anggapan ini, bahwa ”keaktoran” seseorang harus muncul dan tak terhalang oleh kelemahan fisik.
Program ”meningkatkan partisipasi kelompok rentan dalam angkatan kerja” di atas kian menguatkan anggapan ini, bahwa ”keaktoran” seseorang harus muncul dan tak terhalang oleh kelemahan fisik.
Di sinilah kita melihat konteksnya dengan kesehatan dan pendidikan layanan digital. Sementara kesehatan dan gizi memadai adalah syarat dasar membangun ”keaktoran” individual. Melek digital adalah perangkat teknikal yang harus dikuasai dalam artikulasi diri.
Bappenas, sekali lagi, tidak secara eksplisit mengungkapkan tesis tentang ”keaktoran” manusia Indonesia yang hendak didorong. Hanya saja, kita bisa menoleh kepada ekonom Dani Rodrik. Melalui bukunya, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth (2007), Rodrik memberi syarat ”an aggregation of purposeful behavior by individuals” bagi pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa.
Pandangan Rodrik ini cocok dengan konsep ”keaktoran” di atas. Bahwa pertumbuhan ekonomi adalah realisasi kolektif kumpulan manusia yang mengartikulasikan ”keaktoran”-nya. Masalahnya, bagaimana wujud konkret sang ”aktor” itu? Dalam percakapan telepon, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ekonom Joseph A Schumpeter (1883-1950).
Jadi, terutama dengan memperhatikan struktur narasi kecil di atas, pengaruh Schumpeter tampak jelas tergelar. Di dalam karyanya, Business Cycles: A Theoretical, Historical and Statistical Analysis of the Capitalist Process (1923), Schumpeter menyatakan bahwa apa yang disebut ”krisis” atau ”kemunduran” (decline) dalam ekonomi pada substansinya adalah dampak dari usaha sebuah sistem ekonomi menyesuaikan diri terhadap data baru.
Apa yang dimaksudkan dengan data di sini adalah asupan baru sebagai akibat berbagai inovasi. Mengintegrasikan inovasi ke dalam sistem inilah, menggunakan frasa yang populer dewasa ini, yang melahirkan ”disrupsi”.
Namun, siapakah sang inovator itu? Dalam bukunya yang lain, The Theory of Economic Development (1934), Schumpeter menyebutnya sebagai entrepreneur. Konsep Schumpeter tentang entrepreneur sangat spesifik. Bukan saja ia seorang kreatif dan independen (bisa dirumuskan dengan kalimat: in that he/she sets himself/herself his/her own ends), melainkan juga sekali inovasinya terintegrasi ke dalam sebuah sistem ekonomi, yang justru tercipta adalah ekuilibrium (keseimbangan). Dengan frasa terakhir ini, Schumpeter mengesankan bahwa ekuilibrium itu adalah ”pra-kemandekan” sistem ekonomi. Agar terus bergerak dinamis, entrepreneur harus tercipta secara terus-menerus.
Dalam konteks inilah kita, secara konseptual, harus melihat narasi kecil dari naskah Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 yang disusun Bappenas dan diluncurkan Presiden Joko Widodo baru-baru ini. Bahwa tujuan pembangunan adalah, dengan berbagai modifikasinya, menciptakan ”aktor” kreatif di dalam pandangan Schumpeter.
Partai-partai politik sepantasnya turut berpartisipasi memikirkan nasib jangka panjang bangsa Indonesia.
Fachry Ali Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia) dan Penasehat Menteri PPN/Kepala Bappenas