Saat ini parpol perlu didesak menerapkan aturan main internal yang demokratis. Tujuannya menguatkan peran partai dan membongkar elite partai yang bisa mengatur jalannya negara melalui politik kartel.
Oleh
Bivitri Susanti
·1 menit baca
Bayangkan, dalam sebuah acara berkemah, Anda diminta membuat kue untuk seluruh peserta. Resepnya terkenal lezat dan bergizi. Rasa serakah muncul, Anda ingin menikmatinya dengan hanya seorang sahabat. Dengan sengaja, Anda memberi campuran pewarna makanan berwarna ungu, karena Anda tahu, dari semua peserta perkemahan, hanya Anda dan sahabat Anda yang tak berpantang melahap makanan berwarna ungu. Dengan kekuasaan dan sumber daya membuat kue yang Anda dapatkan dari seluruh peserta perkemahan, Anda sengaja membuat kue yang hanya bisa dinikmati oleh Anda dan sahabat Anda.
Dalam konteks korupsi, itulah yang dinamakan state capture corruption atau korupsi sistemik. Contoh korupsi via kebijakan: kasus KTP elektronik, yang telah menyeret beberapa pembuat kebijakan ke penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi saat membahas anggaran. Begitu pula dengan kebijakan tentang benih lobster yang belakangan membuat bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dibui. Juga kebijakan tentang harga sawit yang tengah menyeret beberapa orang ke meja hijau.
State capture corruption adalah manipulasi prosedur oleh pejabat, politisi, perusahaan milik negara ataupun swasta, maupun individu di luar pemerintahan agar kebijakan dibuat untuk menguntungkan mereka (Hellman, Jones, dan Kaufmann, 2000). Kebijakan—dalam bentuk undang-undang, peraturan, bahkan juga putusan pengadilan—yang seharusnya dibuat untuk kepentingan umum, dibuat untuk kepentingan gerombolan sendiri. Ada pula istilah regulatory capture apabila yang disoal adalah peraturan yang disandera (captured), ada pula label court capture jika pengadilan yang disandera. Definisi state capture lebih luas mencakup segala segi aspek penyelenggaraan negara.
Kebijakan yang dimanipulasi mungkin saja tidak berujung pada tindak pidana korupsi. Sebab, memanipulasi tindak pidana korupsi membutuhkan pemenuhan unsur pelanggaran pasal dan pembuktian yang sifatnya sangat teknis hukum. Bisa jadi, keuntungan yang diraih bukan berupa transfer kekayaan, melainkan keistimewaan yang nantinya akan menghasilkan keuntungan. Misalnya dalam kasus pemutihan izin-izin perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, yang sebenarnya melanggar hukum, tetapi dibuat menjadi legal dengan adanya UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya (Greenpeace Indonesia dan The Tree Map, 2021). Prinsipnya, kebijakan apa pun yang sengaja disandera untuk keuntungan segerombolan aktor adalah sebuah kebobrokan politik yang harus dibenahi.
Siapa bisa menyandera negara melalui kebijakan? Tak lain, aktor-aktor politik formal penentu kebijakan. Penyumbang utama aktor formal adalah partai-partai politik, baik anggotanya langsung maupun yang terafiliasi dengannya. Dalam hal korupsi via kebijakan, semua partai yang anggotanya memegang kekuasaan, baik sebagai anggota dewan maupun kepala daerah dan pejabat lain hasil pemilihan, tercatat pernah tersangkut kasus korupsi. Sebab, korupsi pada dasarnya selalu soal jaringan pemegang kekuasaan yang berkomplot untuk mencuri uang warga. Korupsi tak mengenal partai politik. Apa pun warna jaketnya, yang penting ia bersepakat membuat kue yang hanya bisa dinikmati oleh kelompok mereka sendiri.
Masalahnya ada pada politik kartel di Indonesia (Slater, 2004; Ambardi, 2009), yaitu cara berpolitik yang bersandar pada kerja sama antarpartai dan antara partai dan pemerintah, bukan untuk berkompetisi secara sehat, melainkan untuk mengambil keuntungan secara curang (Katz dan Mair, 1995). Karena itu, gagasan perombakan partai politik sangat penting untuk dibicarakan. Bukan dalam hal soal membubarkan mereka seperti isu yang menghangat setiap ada pimpinan partai yang tertangkap, melainkan tentang memaksa partai politik untuk memiliki aturan main internal yang demokratis. Tujuannya, menguatkan peran partai dalam pendidikan politik dan membongkar elite partai yang bisa mengatur jalannya negara ini melalui politik kartel.
Selain aktor pengambil kebijakan, proses pengambilan kebijakan juga harus dirombak agar tak menjadi lahan subur bagi penyandera kebijakan. Kewajiban partisipasi bermakna dan akuntabilitas mutlak diterapkan. Semua proses pengambilan keputusan beserta seluruh dokumen dan rekaman proses juga harus dibuat setransparan mungkin untuk mencegah manipulasi. Yang terpenting, benturan kepentingan harus diberantas. Mestinya, semua pemegang jabatan publik wajib mengungkapkan ke publik semua jabatan yang berpotensi menimbulkan situasi benturan kepentingan.
Kartel politik wajib segera dibongkar dan proses pembuatan kebijakan dibuat terang benderang sebelum semua sumber daya dan tanah air habis dikeruk untuk pemegang kekuasaan yang serakah.